Footnote

Tangis Buat Kabaena

×

Tangis Buat Kabaena

Sebarkan artikel ini
Banjir di pulau kabaena merendam pemukiman warga. foto: Abdi/FB

Sungguh, negeri ini indah belaka. Ia laksana serpihan surga yang jatuh ke bumi. Penduduknya ramah dan petarung kehidupan yang tangguh. Gunungnya tinggi, hutannya lebat dan maha kaya. Ia menjadi habitat aman bagi aneka satwa. Sungai Lakambula yang membelah pulau ini, jadi maskot kesejukan. Selalu ada rindu untuk pulang, bagi “anak-anaknya” yang merantau.

 

Negeri itu tak sekalipun iri melihat daerah lain dipoles oleh pemerintah yang menaunginya. Warganya beternak, bertani, berkebun, menyekolahkan anak-anak mereka dari hasil bumi. Jalanan tak beraspal, mereka kalem. Listrik hanya menyala 12 jam, tetap bersyukur. Bahkan, kala Sungai Lakambula meluap, anak-anak justru riang. Itu jadi tempat bermain paling menyenangkan.

 

Kenyamanan semacam itu pernah dipendarkan Kabaena, pulau kecil di barat Pulau Buton, puluhan tahun silam. Saya pernah menikmati semua kemewahan alamnya. Lahir dan menutaskan pendidikan dasar dan menengah pertama, alam adalah teman terbaik bagi kami, bocah-bocah pulau yang luasanya tak sampai 900 kilometer persegi itu.

 

Banjir di Pulau Kabaena merendam pemukiman penduduk. foto: AMR/FB

Pulang sekolah, meski masih berseragam, alih-alih menuju rumah, kami memilih menuju Sungai Lakambula. Meloloskan pakaian lalu melompat ke Lovi-cekungan kecil di dalam air yang punya kedalaman bisa sampai 2 atau 3 meter-atau ke hutan, mencari kayu bakar atau buah jambu mete yang dibawa kelelawar dan dijatuhkan di pohon-pohon yang tumbuh lebat di bantaran sungai.

Tapi itu dulu. Kisah kemudian berubah sejak tahun 2006. Entah darimana orang-orang berduit itu tahu jika pulau kami, Kabaena kaya akan mineral. Datanglah mereka berbekal sebundel izin, membawa mimpi sejahtera dibumbui sedikit tekanan, menawarkan kepada orang tua kami. Barternya, lahan-lahan berdeposit nikel dibeli. Pakai duit plus tawaran ke tanah suci. Siapa yang tak tergiur.

 

Para pemuda direkrut jadi karyawan, dengan upah yang syukur bisa standar UMR. Asal cukup beli rokok, dan kopi sudah luar biasa. Pun bila ada yang terlihat tajir, itu adalah mereka yang punya kemampuan persuasi sehingga diangkat jadi tenaga utama. Tugasnya, membujuk semakin banyak orang menjual lahannya.

 

 

Ancaman bencana ekologi menyeruak. Alam mulai menunjukan kemarahannya. Saban hujan dan sungai meluap, airnya tak lagi hanya mengikuti jalurnya menuju muara. Sesekali, air malah ikut masuk kampung dan membawa material perusak.

 

Dua hari lalu, tragedi itu berulang. Kali ini jauh lebih ironi. Hujan yang mengguyur sepanjang Sabtu (16/1) malam, jadi petaka di Minggu pagi. Tiga kecamatan di pulau itu dihajar banjir. Air bah masuk perkampungan, membawa pesan dari alam yang tengah murka.

 

Di Baliara, Kabaena Barat, pagi-pagi sudah dikelilingi air kuning pekat, yang akhirnya saat surut meninggalkan lumpur tanah liat. Bukan saja di jalan, tapi di dalam rumah-rumah warga.

Terparah ada di Kabaena Selatan. Di kecamatan itu, dua desa-Batuawu dan Pongkalaero-kebanjiran. Sesuatu yang seingat saya, tak pernah terjadi selama ini. Bilapun anak-anak sungai yang membelah kampung meluap, efeknya hanya sampai meluber ke jalan tak masuk ke rumah-rumah warga, apalagi sampai ke dapur dan kamar tidur.

Banjir merendam ppemukiman di Kabaena. Foto: AMR/FB

Ada yang menganggap terlalu prematur bila langsung menunjuk aktivitas pertambangan sebagai pemicu banjir. Tapi bahwa kontur bumi telah berubah, area resapan air berkurang, bukit sudah banyak tak berpohon dan satwa hijrah entah kemana, adalah keniscayaan. Itu tak bisa dibantah. Lingkungan sudah porak-poranda oleh keserakahan.

 

Apa yang bisa dilakukan? Dinas Lingkungan Hidup sejatinya bisa jadi benteng terakhir tempat masyarakat pulau itu berlindung dari kerusakan yang kian parah. Lembaga ini punya taji untuk “membredel” para pihak yang terbukti merusak lingkungan, dan menjadi pemicu banjir.

Instrument hukumnya jelas dan tersedia. Sila dilihat di UU 32 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 90 dan 91 bilang, pemerintah termasuk warga yang terdampak bisa mengajukan gugatan ganti rugi terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.

Penampakan salah satu wilayah kabaena dari citra satelit. foto: AMR/FB

Ada baiknya aktivitas pertambangan di daerah itu dicek. Dari dokumen Amdal-nya, Rencana Kegiatan dan Anggaran Belanja (RKAB), termasuk komitmen reklamasinya yang kabarnya nyaris tak ada yang serius melakukan penanaman kembali.

 

Semalam, saya berbincang sembari ngopi dengan seorang pejabat di Bombana. Katanya, reklamasi enggan dilakukan di lahan yang sudah mine out atau area yang dinyatakan selesai ditambang dan ditinggalkan. Alasannya, masih hendak diolah lagi. “Pemerintah bisa reklamasi mandiri karena ada dana jaminan yang diserahkan. Hanya, ini juga jadi misteri karena tidak ada yang tahu kemana itu dana disetor,” kata kawan itu.

 

DLH Bombana berniat ke Kabaena, mengecek pemicu banjir. Bila memang karena kebandelan para penambang mengelola lingkungan, maka mengirim rekomendasi ke Inspektur Pertambangan di Kementerian ESDM tak boleh ditawar lagi.

 

Jangan biarkan Kabaena terus menangis. Tanah lahir dan tempat pertama saya dikenalkan Pancasila, Islam dan cinta kasih itu tidak boleh terus berduka.

 

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)

QS : Ar-Rum, 41

***

#AMR, Penyuka Kopi

#Save Kabaena

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *