Footnote

Batu Sangia, antara Misteri dan Eksotisme

×

Batu Sangia, antara Misteri dan Eksotisme

Sebarkan artikel ini

Kami memanggilnya Ina Ate. Sementara warga desa lainnya menyebut perempuan bertubuh mungil itu, Wa Mini. Ia kakak perempuan ayah saya. Sejak kanak-kanak, saya seringkali mendengar kisahnya yang anti mainstream. Ia bisa mendadak ke hutan saat tengah malam, dan kembali sebelum fajar. “Dari Batu Sangia,” begitu jawabannya.

Perempuan mungil itu sudah dipanggil Tuhan, belasan tahun lalu. Tapi ingatan tentangnya masih melegenda di kampung kami. Kemampuan uniknya yang gemar bertualang di siang atau malam hari ke Gunung Batu Sangia, tetap sulit dinalari. Jalur ke puncak gunung itu, selain menembus belantara, juga amat terjal. Jangankan perempuan tua, anak muda pun pasti menyerah.

Batu Sangia adalah sebuah gunung yang terbentuk dari sedimentasi batu gamping. Ia serupa pasak yang kokoh berdiri di puncak ketinggian Pulau Kabaena. Bentuknya serupa Grand Canyon di Amerika. Untuk sampai di kaki gunung yang hanya memiliki ketinggian 1100 meter di atas permukaan laut itu (DPL), Anda harus berjalan kaki sekitar 5 kilometer dari Desa Tirongkotu’a, desa terdekat.

Bagi masyarakat Kabaena, gunung Batu Sangia adalah simbol kehidupan. Ada banyak petunjuk alam yang terbaca hanya dengan melihat fenomana alam melingkupi puncak batu itu. Mengunjungi Batu Sangia tidaklah mudah. Mereka yang berkeinginan naik ke gunung ini haruslah memiliki fisik prima, nafas yang stabil juga mental kuat.

Konon, Batu Sangia dulunya adalah tempat bermukimnya penduduk asli Pulau Tokotu’a atau yang sekarang ini disebut Pulau Kabaena. Saat Raja Sawerigading dari Luwuk datang menduduki Kabaena, sekitar tahun 1400-an, penduduk aslinya memilih menyingkir dan menyatu dengan alam.

Mereka kemudian menempati 7 daerah di Kabaena yang disebut sebagai Sangia, yakni Sangia Wita di Gunung Sabampolulu, Sangia Sikeli di Sikeli, Sangia Tabaro di Langkema, Sangia Wumbu Onemoito di Tanjung Mongiwa, Sangia Reteno di Balo, Sangia Lembono di Muara, dan Sangia Batu Sangia.

Menurut hikayatnya, tujuh sangia ini bersaudara dan Sangia Batu Sangia itulah satu-satunya perempuan. Daerah di sekitar Tujuh Sangia itu dipercaya sampai sekarang masih hidup. Tiap tahun, saat lebaran mereka berkumpul di Batu Sangia, karena itu adalah saudara perempuan mereka.

Untuk sampai ke Batu Sangia, kata Ilfan, ada dua cara yakni lewat jalur yang sekarang ini sudah dibuka oleh para pendaki dan penduduk serta lewat sebuah gerbang. Sayangnya, gerbang ini hanya diperlihatkan kepada orang-orang terpilih.

“Hanya ibu Wa Minii itu yang enteng sekali jika mau ke Batu Sangia. Ia seperti dituntun masuk lewat gerbang. Sayangnya, beliau sekarang sudah meninggal,” cerita Ilfan Nurdin, anggota dewan syara Lembaga Adat Tokotua kepada saya, belum lama ini.

Di puncak Batu Sangia, ada lembah yang di dalamnya punya mata air yang tak kunjung kering. Uniknya, didalam sumber air itu, segala jenis ikan laut ada.

Terlepas dari soal benar atau tidaknya hikayat itu, ada satu hal yang amat dipercaya masyarakat Kabaena tentang Batu Sangia. Seringkali, situasi alam yang terlihat di kawasan itu dikaitkan dengan apa yang akan terjadi. Seorang pelaut misalnya, cukup dengan melihat kabut yang melingkupi Batu Sangia, sudah bisa memutuskan untuk berlayar atau tidak.

“Biar gerimis, angin atau hujan di laut, kalau Batu Sangia cerah, itu berarti di laut lepas juga cerah. Tapi kalau di pantai tenang tapi Batu Sangia berkabut dan hitam, jangan coba-coba berlayar. Keras ombak dan ada badai,” tambah pejabat di kantor kecamatan Kabaena itu menukil legenda yang pernah di dengarnya.

Ketika Bombana dipimpin Bupati Atikurrahman, ia pernah sangat tertarik untuk sampai ke puncak itu. Syahdan, suatu hari, Atiku pernah berkunjung ke Tirongkotua, dan berniat ke Batu Sangia.

Kala itu, jalan usaha tadi sedang dirintis. Sang Bupati pun menunggang kuda. Sedangkan pejabat dan warga mengikutinya dengan berjalan kaki. Saat perjalanan sudah mendekati kaki gunung, kuda yang ditunggangi Atikurrahman mendadak meringkik. Ia “ngambek”, tak mau melanjutkan perjalanan.

Atiku kebingungan. Si kuda menolak untuk terus berjalan. Ia seperti dihadapkan pada kondisi tak kasat mata. “Semuanya pulang. Bupati tidak jadi sampai ke kaki gunung Batu Sangia,” kenang Abd Madjid, Kepala Desa Tirongkotua.

Saat ini, kata kepala desa, kondisi menuju kawasan Batu Sangia sudah lebih baik. Ada jalan usaha tani yang sudah dibangun agar memudahkan para petani cengkih dan jambu mete memanen hasil kebunnya. Motor sudah bisa sampai ke kaki Batu Sangia. Tak sampai 1000 meter lagi berjalan kaki.

Mereka yang sudah pernah ke puncak Batu Sangia bersaksi bila gunung ini laik masuk dalam daftar destinasi wisata. Sayangnya, kemolekannya dibiarkan merana, setidaknya sampai saya menulis kisah ini

Ironinya, meski lahir di desa itu, saya hanya selalu menikmati kemegahan Batu Sangia dari balik jendela rumah saja. Tak pernah menjelajah hutannya, apalagi mendaki puncak lalu menyaksikan Pulau Kabaena dari segala sisi. Mental saya memang tak seperti Si Bolang, kisah anak-anak pemberani dan petualang di sebuah program televisi swasta

Dua tahun lalu saya pernah ingin mencobanya. Saya minta ditemani dua anak muda di desa itu yang memang akrab dengan belantara Batu Sangia. Kami memang bisa menaklukan jalur yang bisa dicapai kendaraan. Tapi saat berjalan kaki, masalah pun datang.

Beberapa ratus meter mendekati kaki gunung, nafas sudah agak berat. Perjalanan menanjak masih lumayan jauh, sementara stok air mineral di tangan sudah kian menipis. Lebih banyak minum daripada jalan. Jadi, bagaimana boss? “Kita pulang, kalau kita terus, kecuali kalian mau pikul saya,” kecut kalimat itu.(***)

Naskah: Abdi Mahatma / Jurnalis Senior di Sultra

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *