Footnote

Perjalanan Guci

×

Perjalanan Guci

Sebarkan artikel ini

Melihat guci di dusun ini, segera terkira perjalanan yang menembus batas geografi dan kependudukan dunia saat itu. Perjalanan yang mendahului google itu.

Dari Cina, ke Polio yang terpaut ribuan mil laut. Dari daratan benua Asia yang beribu kali luasnya dibanding pulau-pulau kecil Wakatobi di tepian barat Laut Banda ini.

Dari negara berpenduduk 1,4 milyar kini, ke dusun yang tersisa 7 rumah, dan beranggota 3 kepala keluarga petani: dusun Kadatua, di lingkungan mata air Polio ini.

Para pelayar-pedagang Wakatobi menemukan guci ini di Singapura, lalu membawanya berlayar dengan perahu. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan.

Dalam perjalanan yang tak pernah diketahuinya itu, guci senantiasa menghuni palka. Hingga suatu pagi, turun di pulau.

Sebagian, yang bersama pelayar-pedagang Binongko atau Tomia, ditukar jagung, saat tiba di dusun-dusun.

Juga guci ini, penduduk dusun di lingkungan mata air Polio menukarnya dengan jagung. Satu guci untuk jagung satu loteng rumah panggung.

Ukuran satu loteng sekitar 12 meter bujur sangkar. Loteng menjadi gudang jagung tua kering. Disimpan utuh dengan kulitnya untuk menjaga kadar air. Digunakan sebagai persediaan makanan keluarga setahun.

Ada juga yang dirangkai dua atau empat buah, digantung-gantung beberapa puluh di bawah loteng, di langit-langit dapur. Dirawat untuk benih.

Pada area itulah guci berada. Di lantai dapur. Dulu.

Bagian luar guci berwarna teh, licin dan bermotif, menjadikannya terlihat kuat.

Apabila diisi air, penduduk akan berhubungan dengan mata air Polio. Setiap berhubungan dgn mata air Polio, selalu terbarukan pesan leluhur mereka untuk tidak meninggalkan dusun.

Mata air Polio terletak dalam zona inti ekosistem situs keramat alami Tindoi, Pulau Wangi-Wangi. Puncak tertinggi di Kepulauan Tukang Besi, yang tingginya 250 meter dari permukaan laut.

Hutan mengelilinginya. Asal air yang mengalir ke Dusun Tai Bete, Sandaha, Ehata, Maleko. Bahkan air dari aliran bawah tanah ke sumur dan telaga di kota yang berada di pesisir, disebut mula-mula terserap dari sini.

Maka pesan leluhur untuk jangan tinggalkan dusun ialah perintah menjaga mata air. Seterusnya menjaga hutan agar semua mata air di pulau tak kering.

Sinyal konservasi situs keramat alami Tindoi.

Akan tetapi pada guci ini bukan hanya tentang air itu. Padanya ada yang tak kita tau, yang tak terganti ember plastik. Saat itu, setiap anak-anak yang bertanya dari mana mereka datang ke dunia, para ibu dan ayah menunjuk itu guci.

Melihat guci ini, tiba-tiba perjalanan itu menjadi memori yang dipanggil pulang. Hari ini di dusun.

Bagai mendengar semboyan para pendayung gondola tiap kita mampir di Venesia: “Hari ini, selamanya.”

Maka guci ini, ialah mesin pengingat, lebih hidup dari mesin pencari, google itu.

Selamanya.

#CeritakanWakatobi

#Seri 6: Dunia Desa Wakatobi

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *