Footnote

Iman dari Balik Tirai

×

Iman dari Balik Tirai

Sebarkan artikel ini

Saban Ramadan, kerap kali ingatan saya mundur seperempat abad lalu. Saat itu, saya masih SMA dan mengenyam pendidikan di Kota Baubau. Kota itu mengingatkan saya tentang pusat kuliner kaki lima di sekitar kawasan terminal dan pasar sentral. Entah, apakah area itu masih ada hingga kini. Pasarnya pernah terbakar dan sudah pindah lokasi.

Yang paling memorable adalah gerobak-gerobak penjaja aneka olahan es yang berjejer di sepanjang tepi jalan kawasan itu. Paling favorit jajanan es pisang ijo. Kawasan itu selalu ramai. Bila Ramadan, gerobak itu memodifikasi sedikit tempatnya berdagang. Meja dan kursi pengunjung di belakangnya, kali ini diberi tutup tirai.

Tiap pulang sekolah, saya doyan sekali mendatangi tempat itu. Mendengar gesekan balok es yang diparut itu merdu sekali. Apalagi saat melihat bongkahannya jatuh ke dalam mangkok berlabel Ayam Jago, di mana di dalam wadah itu sudah ada pisang yang diselimuti dadar. Tanpa bisa dicegah, saya ikut berbelok. Penjualnya ramah pula. Tirainya ia buka dengan sopan. Di dalam, saya bersekutu dengan setan.

Kelaziman menutup tirai pada tempat jualan makanan saat Ramadan rupanya masih langgeng sampai kini. Pemandangan serupa selalu ada. Rumah makan, restoran membudayakan menutup setengah tempat usahanya. Mereka melakukan itu dengan alasan, ada imbauan plus demi menghormati orang berpuasa. Ada pula yang takut kena razia ormas.

Begini Maimunah…berpuasa itu, seperti kata Al-Baqarah : 183, khusus untuk orang-orang Beriman. Pemahaman saya yang fakir ilmu ini, kewajiban puasa itu hanya untuk mereka yang imannya kuat dan istiqamah menjalankan rukun Islam. Kalau hanya melihat restoran atau kedai es buah terbuka, lalu terbersit niatnya untuk tidak puasa, itu kualitas imannya patut diragukan. Cemen sekali.

Bukan lagi sesuatu yang bisa dimungkiri, banyak sekali saudara kita sebangsa ini yang identitas kependudukanya tertera Islam. Tapi mohon maaf, tidak sedikit juga yang meski ber-KTP Islam, tapi abai pada perintah puasa. Padahal itu sesuatu yang wajib. Akuilah bahwa itu masih ada di sekitar kita.

Bagi saya, tidak ada salahnya orang mencari rezeki saat Ramadan dengan berjualan makanan. Tak perlu kita usil dengan mengatakan “tidak menghargai orang berpuasa”. Apalagi sampai harus melakukan razia segala, lalu dirampas peralatan masaknya. Zalim namanya itu. Masa iya, imanmu tergoda hanya karena rumah makan buka di siang hari.

Kalau alasannya hanya karena bisa menjadi wasilah orang berbuat haram, masa salahnya penjual nasi sih. Kamu yang tidak puasa dan imanmu keluar masuk, pedagang yang dimarahi. Yang layak diperangi itu mereka yang usia dewasa, sehat wal afiat lalu tidak puasa. Harusnya mereka yang dirazia lebih dulu, lalu dikumpulkan dalam sebuah pesantren Ramadan. Suruh sadar.

Di pusat kota, saat baru saja matahari naik tepat di atas kepala, sudah banyak lapak-lapak yang menjajakan makanan dan takjil berbuka puasa. Etalase para pedagang itu sudah dijejali aneka olahan es aneka topping. Menggiurkan jika diminum saat siang.

Intinya, puasa itu perintah untuk mereka yang beriman, bukan mereka yang imannya goyah kalau tirai rumah makan dibuka.

——

#AMR, Penyuka Kopi

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *