Footnote

Tangis Haru Wa Saida

×

Tangis Haru Wa Saida

Sebarkan artikel ini

RIAS wajahnya tak mampu menutupi apa yang mengungkungi kehidupannya. Jangankan mengurusi keriput, membenahi rumahnya saja seperti acuh ia lakukan. Seiring waktu, seiring ia berumur, pilhannya semakin sempit: menata diri untuk menghadiri pertemuan desa, misalnya atau tetap dalam pendiriannya membiarkan kantung matanya tebal dan gelap untuk menegaskan bahwa memang ia sedang berperang melawan hari-harinya yang menohok.

Dalam rembuk desa sore itu, ia tak berkerudung, juntai uban rambutnya sesekali ditepis agar tak menutupi bacaan materi yang kami paparkan. Dan benar saja, ia banyak bertanya rupanya. Tidak canggung diforum dan bahasanya pun lumayan tertata dibanding peserta rembuk lainnya. Dari setumpuk dokumen administrasi di meja, diketahui beliau bernama Wa Saida, umurnya sudah setengah abad lebih setahun dan sudah menjada.

“Dulu ia juga aktif terlibat dalam program-program pemberdayaan yang masuk di desa ini”, tandas seorang perangkat desa disamping saya. Bisikan pendek, namun sedikit membuka tabir siapa sebenarnya Ibu Wa Saida.

Dikemudian minggu, kunjungan kerumah warga merupakan tahap lanjutan pasca rembuk desa. Jika rembuk desa adalah sosialisasi program dan tetek bengek lainnya, maka kunjungan kerumah warga adalah verifikasi sekaligus validasi data bagi warga penerima manfaat . Program ini adalah Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya, sebuah program bantuan perumahan yang diperuntukkan bagi warga berpenghasilan rendah dengan kriteria Rumah Tidak Layak Huni.

Pada tahun 2020 yang lalu, tercatat sebanyak 75 unit rumah se-Kecamatan Siompu Kabupaten Buton Selatan masuk sebagai daftar penerima bantuan dalam program ini. Saya ditunjuk mendampingi pembenahan 25 rumah unit rumah di Desa Kaimbulawa Kecamatan Siompu. Kesemuanya harus diverifikasi secara tuntas, dan rumah Wa Saida adalah salah satunya.

Analisa kelayakan dan pengamatan struktur komponen rumah adalah poin penting dalam tahapan verifikasi. Lembaran form pendataan dipastikan terisi sesuai fakta lapangan, mendapatkannya harus melalui komunakasi antar muka dan sedikit wawancara kepada warga.

Ragam data yang dikumpulkan saat interview juga inheren dengan realitas orang desa sesungguhnya. Curhat dan blak-blakan warga desa dengan sesumbar diutarakan. Keluh kesah dari hati ke hati menjelaskan bahwa problematika desa tidak sesimpel bagaimana framing terhadap orang-orang desa lebih ditonjolkan pesona pantainya yang indah atau kearifan lokalnya yang meninggikan derajat keadaban desa dibanding kehidupan kota yang lebih egois.

Wa Saidah dan juga warga lainnya, akan lebih detail terbaca jika kita duduk mengapit dengannya – bukan saja soal kerutan pipinya yang mulai berbaris-baris tanpa tutupan bedak atau perkara janda setengah abad itu yang rumahnya tidak terurus. Lebih dari itu, himpitan ekonomi – salah satunya – akan menjadi penjelas yang nyata – mewartakan kepada kita, kenapa orang desa tidak penting membenahi rumahnya atau menutupi setandan uban dirambutnya. Lebih jauh para peneliti sosial menguarai akar permasalahannya sebenarnya adalah kontruksi sejarah yang sejak awal menempatkan kaum terpinggirkan sebagai objek yang dibungkam hak-haknya. Spivak lebih lancar lidahnya menyebut mereka sebagi kelompok “subaltern”. Mereka hanyalah objek sejarah yang menyebabkan mereka tidak pernah lepas dari permasalahan kontruksi sosial yang menyudutkan posisi dan ruang gerak mereka. Bukannya tidak bisa bersuara untuk bangkit melontar kritik, tetapi kondisi hegemoni yang nyata di masyarakat pinggiran didesain sebagai sesuatu yang lumrah adanya. Dan ingat penganut Gramsian mengutuk keras perkara ini.

Lihat lah desa Wa Saida, kita akan dimahfumkan betapa kuatnya betis-betis orang desa kala berjalan berkilo-kilo jaraknya mencapai sumber mata air – titisan stalagtik langit gua di tepian pantainya. Ibu-ibu di desa setiap pagi dan sore melakukan itu. Berbaris menyusuri jalan aspal kualitas pas-pasan, baskom bertumpuk cucian diletakkan di atas kepala, sebelah lengan mengukuhkan dudukan baskom sementara lengan satunya memegang jemari anak desa yang tak bercelana mengikuti langkah penat ibunya.

Yang laki-laki memamerkan otot belikat – menaruh dibahunya jerigen air minum 20 liter, sebagian dari mereka melilitkan karet ban dalam bekas pada sisi-sisi jerigen, mengencangkan ikatannya pada besi begel sepeda motor mereka. Kemudian berjalan pelan mendaki dengan persenilng satu.
Kelaziman ini merupakan secuil dari gambaran sosio-kultur masyarakat desa. Itulah mengapa ibu-ibu desa lebih urgen mengurusi pemenuhan kebutuhan perut ketimbang menata body agar serupa orang kota.

Kondisi Kehidupan Wa Saida

Separuh harinya, ia habiskan mengurusi ladangnya yang berbatu tajam, jauh diketinggian sana. Kontur tanah yang diimbuhi batu-batu cadas dan tajam seperti sepicis harapan yang tidak memadai bagi janda setua Wa Saida. Ia mengandalkan tanaman singkong dan jagung sebagai penopang roda rumah tangganya. Tanaman itu seperti dipaksa tumbuh ditengah minimnya unsur hara tanah diladangnya, pertumbuhannya kurus dan daun-daunnya kebanyakan menguning, tidak sehijau tanaman di daerah-daerah subur lainnya. Selebihnya adalah tanaman jangka panjang berupa jambu mete dan beberapa pohon kelapa.

Wa saida juga tidak sendiri, banyak warga yang juga senasib dengannya. Bersama teman-teman pendamping, kami juga pernah menyambangi kebun salah satu warga di desa ini. Di bawah rimbun pohon jambu mete, kami duduk melingkar bersama mereka – mengelupas kulit singkong yang tumbuh kerdil di ladang itu. Ini sebagai persiapan stok makan sebulan kedepan: kata mereka. Ubi kupas diboyong pulang ke kampung, direndam selama seminggu kemudian dikeringkan dibawah terik matahari sebagian lainnya langsung diparut – diperas airnya, dikukus dan disajikan sebagai makanan khas berbentuk kerucut, “kasoami” namanya.

Wa Saida sudah lama ditinggal mati suaminya. Ia mempunyai dua orang anak perempuan. Sibungsu masih usia SMA, sedangkan sang kakak sudah berkeluarga. Dirumah panggung itu mereka hidup bersama – anaknya, menantunya dan seorang cucu yang masih bayi. Rumahnya terletak di atas bukit, terpisah agak jauh dari pemukiman warga lainnya. Berdasar pengamatan dilapangan, separuh dari atap asbes rumahnya sudah lapuk menghitam dan retak. Dibalut dinding anyaman bambu yang sudah tidak layak, juga lantai bilah bambu nampak keropos dan harus dibedah secepatnya.

Komunikasi intens dengan Wa Saida makin terjalin ketika ia sudah lolos verifikasi sebagai penerima bantuan “bedah” rumah. Forum rembuk desa berikutnya adalah kesepakatan tahapan distribusi material dari toko suplayer ke rumah-rumah warga. Kami mengawal betul proses ini, mengamati kualitas material, juga memastikan jumlah material sesuai dengan permintaan warga. Wa saidah mengecek lembar invoice toko mencocokkan dengan daftar material yang ia butuhkan, menyerahkan kepada saya dan ia mengangguk. “Sudah sesuai”, katanya.

Selanjutnnya saya menyerahkan selembar form untuk di teken sebagai tanda bahwa material yang di drop dihalaman rumahnya sudah sesuai dengan permintaannya. Ia membungkuk meletakkan form tersebut dilantai, kemudian tangan kidalnya menandatangani lembaran tersebut. Tanda tangannya lumyan bagus, tidak sekaku tanda tangan penerima bantuan lainnya. Tetapi ada yang aneh, ia seperti gemetar bertanda tangan. Saya bertanya lebih jauh kenapa bisa seperti itu.

“Memang benar, dulu saya pernah terlibat membenahi administrasi warga jika ada program pemberdayaan yang masuk di desa ini”, katanya sambil mengenang.

“Tapi sekarang saya kena penyakit stroke….tidak bisa lagi banyak bergerak….makanya kasian….saya kidal sekarang pak,” tambahnya lagi.

Sambil tertawa kecil ia tidak melanjutkan ceritanya. Dengan gampang saya langsung menebak bahwa penyakit stroke yang dideritanya telah pula merubah pola hidupnya. Pantas saja, ia terlihat menyeret kaki kirinya ketika menuruni bukit menuju pertemuan desa. Tangan kanannya selalu saja ditekuk seperti menggendong bayi, ternyata ia sudah dua tahun mendekap penyakitanya yang cukup menyiksa ini.

Rumah Wa Saida Berubah

Dengan keterbatasan, Wa Saidah mulai berbenah. Ia tidak lagi sibuk mencari seorang tukang permak, sebab anak mantunya juga lihai dalam hal pertukangan. Kunjungan monitoring kerumahnya, kami mendapati teras gantung rumahnya sudah dipasangi tiang balok dikukuhkan dengan dudukan pondasi umpak dengan campuran semen pasir yang cukup kuat.

Anyaman bambu dinding rumahnya sudah ditumpuk dihalaman belakang bersama rongsokan sampah lainnya. Dua kubik papan pesanannya terpasang rapi menyelimuti badan rumah, sebagian lainnya dipasangi sebagai lantai pengganti bilah bambu yang sudah rapuh. Lembaran atap seng warna merah seperti menyambut kehadiran saya saat itu.
Wa Saidah sumringah, ia mendekatiku duduk di susunan batu-batu karang pembatas rumahnya. Ia berucap syukur kepada Tuhan pemilik semesta, kepada pemerintah dan kepadaku. Menyalamiku sambil berterima kasih banyak kepada saya. “Terima kasih atas waktunya selama ini pak”, ia menambahkan.
Ucapannya yang cadel akibat serangan penyakit yang dideritanya – samar-samar terdengar sembari menggerutu ia tidak henti-hentinya berterima kasih. “Kalau tidak ada bantuan ini mungkin rumah saya tidak akan seperti ini”, tambahnya lagi.

Ada setampuk kecil bola-bola air di matanya. Ia menangis meratapi ketimpangan nasibnya yang hidup serba sulit di desanya. Saya gegas berdiri menjabat tangannya, mengambil dokumentasi dan pamit pulang ke sekret membereskan laporan untuk disetorkan ke instansi tempat kami bernaung. Saya bilang kepadanya: “Alhamdulillah bu…kita harus sama-sama saling membantu”.

Wa Saidah berbahagia, walau sepenuhnya kami sadari bahwa problematika di desa belum cukup ampuh didedah dengan program-program pemberdayaan seperti ini. Ada sengkarut masalah di desa yang sudah menubuh berabad-abad lamanya. Ini baru stimulant di tataran kulit muka, tetapi akar ketimpangan masyarakat pinggiran jauh lebih kompleks, kita butuh tenaga ekstra – kerjasama lintas stakeholder didukung dengan regulasi yang berpihak kepada mereka. Kita mulai saja dari sini – membedah rumah mereka yang tidak layak huni.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *