Tokoh

Setia Merawat Tradisi Lulongganda

×

Setia Merawat Tradisi Lulongganda

Sebarkan artikel ini
Nasruddin, Ketua Lembaga Adat Tolaki Kecamatan Benua

Di usia senja, Nasruddin (70 tahun) tetap setia merawat tradisi lulongganda. Ia tak henti mengajarkan nilai-nilai lulongganda kepada generasi muda di desanya di Benua.

Saat bertemu  di kediamannya di Desa Benua, kecamatan Benua, Kabupaten Konawe Selatan Saya banyak mengetahui tentang tradisi budaya yang kaya makna ini.

Bagi Nasrudin lulongganda adalah warisan budaya leluhur masyarakat tolaki yang masih hidup.  “Kalau dibilang nyaris punah, mungkin tidak karena masih terawat baik hingga saat ini,”kata Nasrudin.

Namun, lanjut Nasrudin, eksistensi budaya akan goyah manakala tidak ada upaya serius menjaga pranata budaya dari semua pihak, seperti masyarakat adat, pemerintah dan kelompok komunitas.

“Laju perkembangan dunia dan pesatnya teknologi informasi dan komunikasi di era globalisasi ini tidak luput dari dampak negatif terhadap kesenian dan budaya lokal sebagai karakter bangsa,”katanya.

Apalagi, realita saat ini menunjukkan kurangnya apresiasi para pemuda terhadap kesenian dan budaya asli milik Indonesia pada umumnya dan suku Tolaki pada khususnya di Kabupaten Konawe Selatan. Situasi ini lebih diperkeruh lagi dengan akulturasi budaya yang dibawa oleh banyaknya pendatang ke daerah ini dan budaya asing yang dapat berdampak pada perubahan paradigma, sikap dan peradaban bangsa yang bermartabat.

Masuknya budaya barat yang mendapat respon positif dari kalangan remaja tanpa adanya filter dan penyeimbang dari budaya lokal mengakibatkan para remaja, pemuda dan sebagian besar masyarakat mengalami kerancuan dalam memahami dan membedakan antara budaya asli milik Indonesia dengan budaya asing.

“Adat istiadat budaya suku Tolaki, yang semestinya kita lestarikan kini tenggelam di tengah-tengah begitu kuatnya arus budaya asing yang masuk hingga ke pelosok-pelosok desa. Ditemukan fakta bahwa hanya sedikit saja jumlah remaja ataupun pemuda yang bisa membawakan/melestarikan adat tradisional. Kita lihat saja, jarang sekali anak-anak sekarang yang bermain-permainan daerah, yang meraka tahu hanya permainan modern seperti game playstation(PS). Itu contoh yang sangat buruk bagi Indonesia khususnya masyarakat Tolaki,”ungkapnya.

Bukan hanya itu banyaknya kebudayaan Indonesia yang diclaim oleh negara lain pun menjadi ancaman yang sangat serius bagi bangsa Indonesia, kurang proteksi dan jarangnya ditampilkan suatu kebudayaan, tersebutlah yang menyebabkan Indonesia telah kehilangan banyak budaya atau di claim oleh negara lain. Bukan hal yang mustahil warisan budaya seperti tradisi lulongganda bisa saja diklaim negara lain.

Tentang Lulongganda 

Tradisi lulongganda yang masih lestari di benua. foto: Jojon

Nasrudin yang kini memangku posisi ketua lembaga adat di Kecamatan Benua menjelaskan secara rinci tentang makna dan alur budaya lulongganda di masyarakat tolaki khususnya masyarakat tolaki  di benua.

Lulo artinya goyang, Ngganda asal kata kanda. Lulo Ngganda artinya lulo yang diancang-ancang ke atas sambil mengikuti irama gendang. “Lulo Ngganda menurut orang tolak khususnya di Kecamatan Benua sudah ada sejak dunia pertama sampai sekarang. Dunia pertama artinya, sebelum tenggelam dunia ini, yakni sebelum jaman Firaun. Lulo Ngganda semula adalah menggunakan gendang-gendang tanah, setelah ini adalah gendang yang dasarnya dari pelepah daun, sekarang adalah kayu yang namanya poli’o,”urai Nasrudin.

Lulongganda dilaksanakan setiap setahun sekali sebagai upacara pesta tahunan yaitu satu tahun berlalu dan memohon kepada Allah agar tahun berikutnya panen menghasilkan hasil yang lebih banyak. “Dahulu lulongganda ada 7 macam, tapi dalam perjalanan waktu kini tinggal 5 macam, itu pun yang lazim dipakai di Benua tinggal 3 macam lulo, yakni pertama lulongganda Titiisu, kedua lolongganda kolialiangako, dan lulongganda polerusi. Ada pun yang keempat, lulongganda watolengga dan lulongganda leseahoa sudah tidak digunakan karena sudah tidak ada yang tau.

Lulongganda Titiisu menurut Nasrudin adalah dewa padi, burung Titiisu adalah jenis burung puyu yang hidup di tengah-tengah padi saat musim padi hinbgga menjelang panen padi. Lulongganda kolialiangako artinya lulu saat membuka hutan dimana hutan lebat dengan kayu-kayu besar jadi kolialiangako adalah melewati kayu-kayu besar. Sedangkan Lulongganda polerusi artinya kalau kita bekerja keras maka kita akan mendapatkan hasil yang banyak. Lulongganda dilakukan tiga malam, pertama malam ke 13 bulan di langit, atau orang tolaki menyebut tombaralenggea, malam kedua disebut matamolambu dan malam ke tiga adalah mataumehe.

Setelah tiga malam ketiga dilakukan Lolongganda maka selanjutnya dilakukan Mosehe sebagai upacara syukuran atas hasil panen melimpah yang diperoleh tahun ini. Sekaligus membuang kesalahan yang kita perbuat di tahun-tahun yang silam dan tanaman yang tidak menguntungkan di tahun-tahun lalu kita ganti dengan tanaman baru.

Tentang Budaya Tolaki di Benua

ritual pulongganda pada malam hari. foto: Joss

Berdasarkan studi etnografi, hampir semua suku bangsa di muka bumi ini meliputi daerah tropis atau daerah kutub, baik yang bermukim di pedalaman maupun di daerah-daerah pesisir, seluruh atau separuhnya menggantungkan diri pada sumber daya alam sekitarnya. Sumber daya alam merupakan salah satu sumber daya yang berfungsi sebagai basis ekonomi dan kultural (liebenstraum) bagi kelompok-kelompok suku bangsa tersebut. Karena itulah dalam kenyataanya ditemukan fakta dalam kebudayaan setiap suku bangsa selalu memiliki mitologi-mitologi, legenda , atau pun cerita-cerita rakyat yang berisikan atau mengisahkan tentang keterkaitan suatu suku bangsa dengan sumber daya alamnya.

Tolaki merupakan salah satu suku bangsa yang memiliki keterkaitan yang sangat tinggi terhadap sumber daya alam khususnya hasil pertanian dan sumber pangan lokal lainnya. Hal ini sebagaimana dilukiskan dalam mitologi yang mengisahkan asal usul orang tolaki atas tanah. Mitologi seperti ini banyak terdapat pada kelompok suku bangsa lainnya yang menunjukkan karakteristik yang khas, seperti juga yang terdapat pada suku bangsa tolaki di Benua.

Bagi orang Tolaki di Desa Benua, merawat budaya adalah merawat kehidupan yang merupakan berkah yang diberikan Sang Maha Pencipta kepada mereka. Tanah tidak hanya dipandang sebagai kumpulan gundukan tempat pepohonan dan tumbuh-tumbuhan lainnya tumbuh dalam sebuah kawasan. Tanah mengandung nilai yang sangat kompleks, meliputi ekonomi, nilai budaya, maupun nilai religi. Nilai ekonomi yakni hasil tanah memberi manfaat ekonomi bagi orang Tolaki untuk memenuhi kebutuhan subsistensinya melalui berbagai model pengelolaan dan pemamfaatan lahan dan hasil-hasilnya, seperti berladang, menanam aneka tanaman padi dan tanaman jangka panjang  seperti kelapa, jambu mete, pala, cengkeh, kakao, lada dan lain-lain.

Lulongganda yang dilakoni kelompok anak-anak di desa benua. foto: Joss

Tanah dan isinya merupakan ruang ekspresi kultural orang  Tolaki di Benua. Hal ini nampak dari berbagai praktek kebudayaan dan adat istiadat orang Tolaki Benua, meliputi bidang mata pencaharian yang merupakan salah satu unsur kebudayaan yang paling pokok; penggunaan hasil alam seperti  untuk penyelenggaraan perkawinan yang menggunakan tanah yang didalamnya terdapat rotan, sirih dan pinang sebagai mahar adat perkawinan.

Sedangkan dalam nilai religius yakni berupa kepercayaan orang Tolaki yang menyakini, bahwa tanah dan segala isinya adalah karunia Tuhan Yanga Maha Esa yang diwujudkan dalam praktek kebudayaan seperti tradisi membuka lahan baru untuk meminta kepada pemilik tanah agar diberi kesuburan. Praktik kebudayaan itu masih hidup hingga kini yang salah satunya adalah ritual Lulo Ngganda dan Ritual Mosehe Ndiolu. SK

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *