SUARAKENDARI.COM-Sebuah keberuntungan langka menghampiri kala kaki ini menjejakkan diri di pesisir. Di sana, sebuah hidangan istimewa tersaji, kuliner warisan yang mungkin hanya segelintir orang yang masih setia mengolahnya. Benar kata para tetua, makanan ini dulunya hadir di meja makan saat krisis pangan melanda.
Menemukannya kini bagai lemparan dadu keberuntungan, dan mencicipinya membawa kita meretas lorong waktu, seolah merasakan getirnya masa perjuangan kemerdekaan di setiap kunyahan.
Namun, jangan salah sangka. Tempat di mana hidangan ini saya temukan bukanlah daerah yang tengah dilanda kesulitan. Justru sebaliknya, kehidupan warganya terbilang makmur, bahkan cadangan nutrisi mereka lebih melimpah dibanding mereka yang tinggal di dataran. Meski demikian, sebagian dari mereka tetap teguh mempertahankan kuliner tradisional ini.
Masyarakat Tolaki mengenalnya dengan sebutan wikoro, yang tak lain adalah ubi atau singkong hutan. Di berbagai daerah lain di Nusantara, ia memiliki nama yang berbeda-beda: sikapa di Sulawesi Selatan, bitule di Gorontalo, gadu di Bima, iwi di Sumba, dan kapak bagi masyarakat Sasak. Secara ilmiah, ubi hutan ini dikenal dengan nama Dioscorea hispida Dennst., berpenampilan bulat lonjong menyerupai sirsak dengan kulit berwarna coklat muda dan bintik-bintik di umbinya.
Tumbuh liar di belantara, wikoro menyimpan senyawa beracun di dalam umbinya. Keajaiban terjadi setelah melalui proses pengolahan yang rumit, barulah ia menjelma menjadi hidangan yang lezat, terutama disantap bersama ikan bakar segar. Beberapa warga pesisir masih setia mengolah wikoro dalam skala kecil, dan kita bisa dengan mudah menjumpainya terjemur di depan rumah-rumah mereka.
Proses pengolahan wikoro memang membutuhkan kesabaran dan ketelitian. Warga harus terlebih dahulu mencarinya di hutan. Tanaman wikoro tumbuh merambat dan memiliki duri tajam di batangnya, sehingga memanennya memerlukan kehati-hatian ekstra. Setelah terkumpul, umbi wikoro dikupas dan direndam selama berhari-hari, bahkan bisa mencapai satu minggu.
Setelah proses perendaman selesai, umbi wikoro kemudian diparut dan dijemur di bawah terik matahari hingga kering. Gumpalan wikoro kering ini memiliki daya tahan yang cukup lama, bahkan bisa disimpan hingga berbulan-bulan.
Dahulu, masyarakat Tolaki menyimpan wikoro sebagai persediaan makanan alternatif selain nasi dan sagu, terutama pada periode musim tanam padi. Untuk disantap, wikoro biasanya dimasak atau dikukus, lalu dihidangkan dalam keadaan hangat dengan taburan parutan kelapa setengah tua. Tak hanya itu, wikoro juga dapat diolah menjadi berbagai penganan atau kue tradisional yang dicampur dengan parutan kelapa dan gula merah.
Menyaksikan dan mencicipi wikoro di tengah kemakmuran pesisir ini adalah sebuah pengalaman yang membangkitkan rasa kagum. Bukan hanya karena kelezatannya yang unik, tetapi juga karena cerita di baliknya, tentang ketahanan pangan, kearifan lokal, dan bagaimana sebuah tradisi kuliner tetap hidup di tengah modernitas. Wikoro bukan sekadar makanan, ia adalah jejak sejarah yang patut untuk terus dilestarikan. SK