Seputar Islam

Mengenai Rukyat Hilal dan Posisi Hisab Astronomi

×

Mengenai Rukyat Hilal dan Posisi Hisab Astronomi

Sebarkan artikel ini

 

Setiap tahun menjelang bulan ramadhan umat memiliki sandaran waktu untuk memulai puasa. _Ditanyakan kepada Al ‘Alim Al Ushul Syaikh ‘Atha’ bin Khalil Abu Ar Rasytah tentang rukyat hilal dan bagaimana posisi hilal astronomis. Lantas, bagaimana dengan orang yang berpuasa dengan sandaran keduanya (rukyat hilal dan hisab astronomis)? Maka dijawab oleh Syaikh ‘Atha bin Khalil Abu Ar Rasytah sebagai berikut._
***
*PERTAMA,*
Yang dijadikan sandaran dalam puasa Ramadhan, sesuai dalil-dalil yang ada, adalah rukyat hilal.
Diantaranya :

«صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ»
_”Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal, jika kalian tertutup (tidak melihatnya) maka genapkan hitungan Sya’ban tiga puluh hari.”_

Adapun yang dijadikan sandaran oleh mereka yang menggunakan hisab astronomis berupa dalil-dalil yang mereka pandang, maka menurut pendapat kami, semua itu tertolak dan tidak bisa diberlakukan atas masalah tersebut. Dalil paling masyhur yang mereka sebutkan ada dua, yaitu sebagai berikut.

Pertama: hadis Rasul saw

«إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا» (رواه البخاري)
_”Kami adalah umat yang ummiyyah, kami tidak bisa menulis dan menghitung, satu bulan itu begini dan begitu.” (HR al-Bukhari)_

Hadis ini, meski di dalamnya ada washfun mufhimun (sifat yang bisa memberikan pemahaman), yaitu kata “ummiyyah” yang bisa saja membisikkan bahwa itu merupakan ‘illat yang mewajibkan beramal menurut mafhum (yakni andai bukan umat yang ummiyyah niscaya kita menggunakan hisab), hanya saja, ini tidak benar sesuai ketentuan dalam ushul.

Sebab, ini adalah mafhum yang diabaikan. Karena, sifat “ummiyah” untuk menyatakan kondisi pada galibnya. Orang arab mayoritasnya ummiy. Ditambah lagi bahwa mafhum (pemahaman) tersebut telah dibatalkan oleh nash, yaitu hadis,

«فإن غُمَّ عليكم فأكملوا العدّة ثلاثين» (البخاري)
_”Jika kalian tertutup mendung maka genapkanlah hitungan tiga puluh.” (HR al-Bukhari)_

Tidak disebutkan bersamanya batasan. Artinya, jika rukyat hilal tidak mungkin dilakukan karena langit tertutup mendung atau hujan, yakni suatu sebab yang menghalangi rukyat, maka hukum syara’ telah ditetapkan dengan menggenapkan bulan menjadi tiga puluh hari, sehingga sekalipun hilal muncul (ada), akan tetapi tertutup mendung, dan tidak terlihat oleh pandangan. Atas dasar itu, maka yang diterapkan adalah manthuq, dan mafhum harus diabaikan.

Ini fakta tentang syarat beramal dengan mafhum dalam kebanyakan kondisi, bahwa mafhum itu diabaikan, jika dinyatakan untuk menyatakan kondisi galibnya. Atau, jika dibatalkan oleh nash, misalnya, Allah berfirman,

]وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ[
_”Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.” (TQS al-Isra’: 31)_

Takut kemiskinan (khasyyah imlaq) merupakan sifat yang memberikan pemahaman (washfun mufhimun), yaitu khasyyatul faqri (takut kemiskinan). Demikian juga pernyataan itu menunjukkan kondisi pada galibnya. Mereka membunuh anak-anak karena takut miskin. Kemudian bahwa mafhum tersebut telah dibatalkan dengan nash,

]وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ[
_”Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam.” (TQS an-Nisa’: 93)_

Oleh karena itu, mafhum ini diabaikan. Tidak bisa dikatakan bahwa “yang haram adalah membunuh anak-anak karena takut kemiskinan, dan menjadi halal jika ia membunuhnya karena kaya!” Akan tetapi pembunuhan itu tetap haram dalam dua kondisi itu, baik karena kemiskinan ataupun karena kaya.

Demikian juga ayat,

]لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً[
_”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (TQS Ali Imran: 130)_

Kata adh’afan mudha’afatan (berlipat ganda) merupakan washfun mufhimun (sifat yang memberikan pemahaman), dan demikian juga menyatakan kondisi pada galibnya. Mereka mengambil riba berlipat ganda. Kemudian mafhum ini diabaikan dengan nash,

]وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا[
_”Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (TQS al-Baqarah: 275)_

Oleh karena itu, mafhum ini diabaikan. Tidak bisa dikatakan “yang haram adalah riba yang banyak/berlipat ganda, sedangkan riba yang sedikit maka boleh!” Akan tetapi, berapa pun banyaknya riba, adalah haram, sebab mafhum (adh’afan mudha’afatan) diabaikan seperti yang kami katakan.

Begitulah. Jadi, mafhum kata “ummiyah” pada hadis di atas diabaikan seperti yang sudah kami jelaskan, yaitu bahwa rukyat hilal jika terhalang mendung atau hujan, maka wajib menggenapkan hitungan bulan menjadi tiga puluh hari, baik kita mengetahui hisab (perhitungan) ataupun tidak mengetahui.

*KEDUA,*

Pendapat mereka, jika hisab dijadikan sandaran untuk penetapan waktu-waktu shalat, dan jika demikian, maka penetapan waktu puasa juga disandarkan pada hisab, maka jawaban hal itu adalah sebagai berikut.

Siapa yang menelaah dalil-dalil yang menyatakan tentang puasa, maka ia akan mendapati hal itu berbeda dari dalil-dalil yang menyatakan tentang shalat. Artinya, dalil yang digunakan untuk penetapan puasa dan shalat itu berbeda. Puasa dikaitkan dengan berbuka dan dengan rukyat.

]مَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ (
_”Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (TQS al-Baqarah: 185)_

«صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ»
_”Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal.”_

Jadi, berdasarkan dalil-dalil di atas, rukyat adalah hukum.
Sementara, dalil-dalil tentang shalat telah dikaitkan dengan terealisasinya waktu.

] أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ(
_”Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir.” (TQS al-Isra’: 78)_

«إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ فَصَلَّوْا»
_”Jika matahari tergelincir maka shalatlah kalian.”_

Jadi, shalat itu bergantung pada terealisirnya waktu. Maka, dengan wasilah apapun Anda tetapkan waktu, maka Anda harus shalat. Jika Anda melihat matahari untuk melihat waktu tergelincirnya matahari, atau Anda melihat bayangan untuk melihat bayangan segala sesuatu atau yang semisalnya seperti yang ada di dalam hadits-hadits tentang waktu-waktu shalat; jika Anda lakukan semua itu dan Anda tetapkan waktu shalat; maka shalatnya sah.

Jika Anda tidak melakukan semua itu, akan tetapi Anda menghitungnya secara astronomis lalu Anda tahu bahwa waktu tergelincirnya matahari, atau jam sekian, lalu Anda lihat jam tanpa keluar untuk melihat matahari atau bayangan; maka shalat telah sah. Hal ini karena Anda telah menetapkan waktu dengan wasilah apa saja.

Sebab, Allah swt meminta Anda shalat karena sudah masuk waktunya shalat, dan menyerahkan Anda penetapan masuknya waktu shalat tanpa menentukan tatacara penetapan itu.

Sedangkan puasa, ini berbeda. Dalam penetapan puasa, Allah meminta Anda untuk berpuasa dengan rukyat. Jadi, Allah membatasi sebab untuk Anda.

Inilah pendapat kami (Syaikh ‘Atha bin Khalil Abu Ar Rasytah) dalam masalah ini. Hisab astronomis tidak boleh dijadikan sandaran dalam penentuan puasa dan berbuka Ramadhan, akan tetapi yang harus dijadikan sandaran adalah rukyat.

*KETIGA,*

Adapun bagaimana puasa orang yang menggunakan hisab astronomis; jika mereka berpuasa pada hari-hari yang dihitung bagian dari Ramadhan sesuai rukyat, maka itu adalah puasa yang sah. Sebaliknya jika mereka melewatkan satu hari dari Ramadhan sesuai rukyat, maka mereka dimintai pertanggungjawaban atasnya dan mereka wajib mengqadha’nya.

Ini yang kami yakini, kami jelaskan kepada masyarakat. Dan kami tidak memiliki kekuasaan memaksa mereka atas pendapat kami. Melainkan kami jelaskan kepada mereka dengan uslub yang baik dan hikmah yang baik.

Kami tidak menjadikan masalah tersebut dalam bentuk benturan pendapat, tetapi kami gariskan garis yang lurus di samping garis yang bengkok. Dan Allah swt adalah Maha Memberi Petunjuk kepada jalan yang lurus.

*KEEMPAT,*

Sedangkan pendapat sebagian orang bahwa mengikuti rukyat akan bisa menyulitkan berpuasa, misalnya saja, kadang orang berpuasa pada hari terakhir Ramadhan, kemudian dia diberi berita bahwa hari itu ternyata adalah hari Idul Fitri. Dan seandainya ia berbuka pada awal Ramadhan lalu orang lain datang dan berkata “hilal telah terlihat jadi hari ini adalah Ramadhan”, begitu… Dan kemudian yang seperti ini dikatakan sulit…

Jawaban hal itu adalah sebagai berikut.

Justru masalahnya lebih mudah. Begini. Seorang muslim berpuasa dan berbuka/mengakhiri Ramadhan sesuai pengetahuannya tentang rukyat hilal setelah ia mencarinya. Jika ia berpuasa atau berbuka berdasarkan tidak adanya rukyat hilal menurutnya, kemudian datang orang yang memberitahunya hilal telah terlihat, maka ia harus mengikutinya. Sederhana sekali. Sebegitu sederhananya.

Hal ini ditetapkan dengan hadis Rasulullah saw, yang diriwayatkan dari sekelompok orang Anshar,

«غُمَّ عَلَيْنَا هِلاَلُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَاماً، فَجَاءَ رَكِبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهَدُوْا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلاَلَ بِاْلأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَفْطِرُوْا ثُمَّ يَخْرُجُوْا لِعَيْدِهِمْ مِنْ الْغَدِّ»
_”Hilal syawal tertutup mendung bagi kami sehingga kami berpuasa, lalu di akhir hari datang pengendara kuda dan mereka bersaksi di hadapan Nabi saw bahwa mereka melihat hilal kemarin, maka Rasulullah saw memerintahkan mereka berbuka, kemudian mereka keluar untuk melaksanakan shalat Idul Fitri mereka keesokan harinya.” (HR Ahmad)_

Pada masa dahulu, sampainya berita rukyat dari wilayah lain, tidak mudah, seperti yang terjadi pada Rasulullah saw. Berita rukyat dari delegasi yang datang ke Madinah sampai kepada Rasulullah saw ketika sudah siang dimana Rasul dan kaum muslimin di Madinah berpuasa sebab mereka tidak melihat hilal. Ketika delegasi itu memberitahu Rasul saw tentang rukyat hilal, Rasul saw pun memerintahkan kaum muslimin berbuka. Hari itu adalah hari terakhir Ramadhan.

Saat itu, Rasul saw berpuasa dengan menggenapkan hitungan bulan Sya’ban karena tidak berhasil merukyat (melihat) hilal di Madinah. Ketika datang berita kepada beliau bahwa hilal terlihat di wilayah lain, maka beliau memerintahkan para sahabat berbuka, sebab hari itu adalah hari pertama bulan Syawal. Artinya, itu hari raya Id, dan bukan penggenapan Ramadhan.

Jadi, ini perkara yang justru mudah. Setiap daerah mencari berita rukyat. Jika hilal tidak terlihat dan tidak sampai berita yang sahih bahwa hilal terlihat di tempat lain, maka hendaknya berpuasa atau berbuka. Dan jika datang berita rukyat hilal, maka berita itu harus dijadikan sandaran, sebab hadis tersebut merupakan seruan untuk semua orang “shumu li ru’yatihi” (berpuasalah karena melihat hilal).

Jadi, jika dikatakan ini adalah perkara yang sulit dan tidak praktis, saya justru bertanya, mengapa tidak praktis? Jika penduduk Australia mencari rukyat hilal Syawal dan mereka tidak melihatnya, dan tidak sampai berita kepada mereka bahwa hilal terlihat di tempat lain, maka mereka hendaknya berpuasa. Begitu. Lalu, jika datang kepada mereka berita rukyat hilal pada hari itu, maka mereka harus berbuka, sebab hari itu adalah Id seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Begitu. Sebegitu mudahnya menerapkan hukum ini.

Dan lagi, sungguh sekarang ini pengkabaran berita bisa sampai dengan mudah dan cepat karena kemajuan sains dan teknologi. Maka, tidak ada alasan yang membenarkan bagi seorang muslim yang ingin mencari kebenaran dalam ibadahnya.

*KELIMA,*

Adapun bahwa hisab astronomis bisa menentukan lahirnya hilal, maka itu benar. Memang benar. Namun jika dikatakan bahwa hisab astronomis bisa menentukan kemungkinan rukyat hilal, maka itu tidak benar. Sebab, para astronom berbeda pendapat dalam menentukan kadar waktu terjadinya kelahiran hilal, sehingga terlihatnya setelah tenggelam matahari.

Meski demikian, kita tidak berpuasa dan berbuka menurut “hakikat” kelahiran hilal, melainkan menurut rukyatnya (terlihatnya). Begitulah yang diperintahkan oleh Rasulullah saw:

«صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ»
_”Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal, jika kalian tertutup mendung maka genapkan hitungan Sya’ban tiga puluh.”_

Kadang kala, hilal Ramadhan itu sudah ada, tetapi tertutup mendung sehingga tidak terlihat, maka hitungan bulan Sya’ban digenapkan tiga puluh hari, sesuai dalil di atas.

Jadi, waktu berpuasa itu ditetapkan dengan rukyat seperti yang ada di dalam dalil-dalil. Seandainya waktu berpuasa seperti halnya waktu shalat yakni tidak disyaratkan dengan rukyat, niscaya penetapan waktu menggunakan hisab adalah benar.

Akan tetapi, dalil-dalil puasa datang bersandar pada rukyat, sedangkan dalil-dalil shalat datang dengan pencapaian waktu tanpa mensyaratkan rukyat,

«إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ فَصَلَّوْا…»
_”Jika matahari tergelincir maka shalatlah kalian..”_

Wallahu a’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *