Oleh dr.Erta Priadi Wirawijaya, SP.Jp
Halo semuanya, saya dr. Erta dari Klinik Kiera, Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah. Biasanya saya ngomongin tentang kolesterol, hipertensi, dan gangguan irama jantung. Tapi hari ini kita bahas topik yang cukup ngepas—secara harfiah dan batiniah: ukuran celana jeans.
Belakangan ini, masyarakat dihebohkan dengan pernyataan Menkes (Menteri Kesehatan) soal ukuran celana jeans. Katanya, kalau ukuran celana sudah 33 atau 34 ke atas, siap-siap aja lebih cepat menghadap Allah SWT. Tentu saja ini bukan fatwa keagamaan, melainkan peringatan kesehatan yang dibungkus dengan bahasa yang “agak nyeleneh tapi jleb”.
Pertanyaannya, beneran nih? Ukuran celana bisa menentukan umur panjang atau pendek seseorang? Tentu nggak sesederhana itu. Tapi, ukuran celana bisa menjadi indikator penting kondisi metabolik tubuh kita. Jadi, ini bukan masalah fashion, tapi soal peringatan dini dari tubuh. Kalau celana makin hari makin nggak bisa dikancingkan, itu bisa jadi alarm bahwa lemak viseral di perut makin banyak.
Lemak viseral ini adalah lemak jahat yang nempel di organ dalam seperti hati, pankreas, dan jantung. Dia diem-diem menghancurkan. Bukan mantan, tapi efeknya bisa bikin serangan jantung, diabetes, hingga stroke. Jadi ya… agak wajar sih kalau Menkes mengingatkan soal ukuran celana. Kadang yang tak terlihat itu lebih bahaya, ya kan?
Lingkar pinggang yang sehat untuk pria itu maksimal 90 cm, dan untuk wanita 80 cm. Nah, ukuran celana jeans 33 atau 34 biasanya setara dengan lingkar pinggang di atas batas aman itu. Ini artinya, risiko Anda terkena penyakit metabolik meningkat. Mungkin saat ini masih sehat-sehat saja, tapi tunggu 5–10 tahun lagi—apalagi kalau malas olahraga, suka begadang, doyan gorengan dan jarang kontrol ke dokter.
Sebagai dokter jantung, saya bisa cerita, banyak banget pasien yang datang ke klinik bukan karena mereka sadar ada yang salah, tapi karena “tiba-tiba” kena serangan jantung. Padahal waktu ditanya, selama ini ada sesak, capek, atau nyeri dada? Jawabnya ada, tapi dianggap angin lalu. Dan waktu dicek, kolesterolnya 280, trigliserida 400, berat badan 100 kg, lingkar pinggang 105 cm. Ya, begitulah.
Ukuran celana memang bukan alat diagnosis, tapi dia bisa jadi “petunjuk lapangan” awal. Kalau dulu waktu SMA celana Anda ukuran 29, sekarang tiba-tiba 36, berarti ada sesuatu yang salah dengan gaya hidup Anda. Sayangnya, sebagian besar orang masih denial. “Saya makan sedikit kok, dok.” Padahal dikitnya dia itu satu loyang martabak dan dua tusuk sate.
Obesitas adalah penyakit kronis yang diam-diam berkembang. Kadang kita merasa sehat karena belum pingsan atau belum masuk UGD. Tapi seperti ban mobil yang kempes pelan-pelan, kita baru sadar pas mobil udah oleng. Nah, ukuran celana yang membengkak itu seperti tanda-tanda kempesnya ban: kalau dibiarkan terus, tinggal tunggu waktu.
Menurut WHO, obesitas meningkatkan risiko kematian akibat penyakit tidak menular (PTM) seperti jantung, diabetes, kanker, dan gangguan ginjal. Data di Indonesia sendiri menunjukkan peningkatan angka obesitas yang signifikan dalam dua dekade terakhir. Masalahnya, tidak semua orang menyadari bahwa “gemuk bukan berarti sehat”.
Kalau Anda ingin hidup lebih lama, maka kurangi lemak di perut. Nggak perlu langsung diet ekstrem, cukup mulai dari langkah sederhana: jalan kaki 30 menit sehari, kurangi minuman manis, dan kontrol porsi makan. Jangan anggap remeh perubahan kecil, karena akumulasi perubahan kecil bisa menyelamatkan hidup Anda.
Dan satu lagi, jangan tertipu dengan berat badan “normal” di timbangan. Bisa saja BMI-nya oke, tapi lemak viseralnya tinggi. Jadi evaluasi juga bentuk tubuh, lingkar pinggang, dan tentu saja kebiasaan sehari-hari. Kita bukan cuma makan untuk kenyang, tapi juga untuk sehat jangka panjang.
Saya paham, hidup sehat itu tidak selalu mudah. Tapi jauh lebih sulit merawat penyakit kronis yang muncul akibat gaya hidup yang kita abaikan. Coba bayangkan, kalau sekarang Anda merasa malas olahraga karena sibuk, nanti saat Anda sakit, Anda akan dipaksa berhenti total dari semua kesibukan karena harus rawat inap, cuci darah, atau rehabilitasi jantung.
Jadi, kalau ukuran celana Anda sekarang udah mentok di 33 atau 34, ini bukan soal gengsi. Ini saatnya refleksi. Jangan sampai naiknya ukuran jeans malah jadi petunjuk arah ke liang lahat. Kalau bisa diubah sekarang, kenapa harus menunggu serangan jantung dulu?
Akhir kata, ini bukan tentang body shaming. Ini tentang menjaga amanah tubuh yang sudah diberikan Allah kepada kita. Kita punya tanggung jawab untuk merawatnya, bukan hanya demi umur panjang, tapi juga agar hidup yang singkat ini bisa dijalani dengan berkualitas.
Kalau menurut Anda tulisan ini ada manfaatnya, yuk bantu share ke teman, keluarga, atau saudara yang celananya mulai ‘mengkhianati kancing’. Semoga mereka sadar, bukan hanya soal gaya, tapi soal nyawa. **