Footnote

Di Kampung Tenda, Batu dan Air Menyekolahkan Kita

×

Di Kampung Tenda, Batu dan Air Menyekolahkan Kita

Sebarkan artikel ini

Ada air yang jika ingin diminum sendiri seperti tak akan pernah cukup. Ada air yang jika kita semua berbagi meminumnya seperti selalu cukup. Ialah mata air kecil tapi tak pernah kering.

Itu air, memancar dari dinding batu, di dasar tebing. Di atas tebing itu, kampung Tenda pernah berdiri. Beberapa abad silam.

Sekumpulan batu di Tenda, nampak tumbuh di atas tanah, membentuk dinding-dinding tebing, sedang beberapa puncaknya datar.

Antara batu dengan batu terdapat koridor-koridor, lorong-lorong. Tempat jalan. Labirin yang menyalurkan sinar sehingga selalu terang.

Kadang bagian atas dinding tebing berimpit, menjadi gapura bagi jalan di bawahnya. Pun beberapa bagian luar atau sisi batu yang menghadap lembah, bukan dinding vertikal. Hanya berupa dinding semiring jarum menunjuk angka jam dua. Mengatapi jalan di bawahnya.

Penduduk Tenda turunan kedua bangsawan Tindoi, benteng di puncak tertinggi Pulau Wangi-Wangi, Wakatobi, pada awalnya. Anak dari Wa Maleko, cucu Haji La Ode Abdul Satar. Bagian dari para penyiar di pulau. Mereka yang diigambarkan masih dapat berjalan kaki menyeberangi selat. Berangkat dari Keraton Buton di Wolio, menuju pulau ini.

Mula-mula penduduk Tenda dua keluarga. Setelah bertambah tujuh kepala keluarga, yang tujuh pindah ke Towaro’a, lembah subur di utara Tenda.

Turunan orang-orang Kampung Tenda, sekarang tinggal di Dusun Kampo Wo’ou, Desa Maleko, dua kilo meter ke barat daya, dari Tenda.

Kampo Wa’ou artinya kampung baru.

Ini bagian paling selatan ekosistem situs keramat alami Tindoi.

Kumpulan batu besar bekas kampung Tenda lokasinya di dataran tinggi. Luas seluruh area tebing batu kira-kira tak lebih dari lapangan bola kaki.

Vegetasi di tanah koridor, atau yang tumbuh menempel pada dinding batu, dan yang hidup di dataran pada puncak tebing, terbilang tidak rapat. Hanya terdiri dari pohon-pohon besar, perdu dan tumbuhan tali-temali. Tidak cukup untuk menjelaskannya sebagai daerah resapan air, yang telah menyebabkan mata air di bawah tebing tergenang sepanjang tahun.

Hutan berada di lembah, Towaro’a. Hutan itu bersatu dengan bukit, tempat benteng Maleko berada.

Lebih ke utara lagi dari bukit tempat benteng Maleko berdiri, terdapat lembah, hutan dan aliran kali Uwe Posalu. Kanal yang membatasi Maleko dengan puncak Tindoi.

Melihat topografi itu, berarti mata air di dasar dinding batu tebing Tenda terletak lebih tinggi dari hutan, dan lembah, yang merupakan mangkuk alam penampung resapan air. Juga diantarai kali dengan tanah yang lebih tinggi dari situ.

Dokumentasi foto: Saleh Hanan

Jadi kemungkinan air di Tenda, air yang datang dari saluran bawah tanah, yang sejajar dengan hutan atau daerah mangkuk resapan.

Air itu seperti biasa semula mengalir horisontal, tetapi akibat terhimpit, tertekan udara pada rongga batu-batu di dalam tanah sana, air lalu terdesak naik ke atas.

Serupa proses fisika yang dijelaskan Heron, pada air mancur buatan di Alexandria, Mesir, abad pertama dahulu.

Ini berbeda dari teori grafitasi, dimana air selalu turun ke bawah, yang rendah.

Tenda tamsil dari peralatan menenun. Sebuah mistar kayu yang ujungnya lancip seperti haluan perahu. Panjangnya tak sampai sedepa. Fungsinya memadatkan susunan benang yang sedang ditenun menjadi kain.

Namun, perkakas tenda di kampung Tenda yang ditandai sebagai tenda emas itu, telah lebih duluan tinggal cerita, dibanding batu yang masih bisa dilihat, di kampung yang ditinggalkan.

Sebelum ikut hilang dalam sejarah, para mahasiswa, peneliti dan seniman, perlu ke situs bebatuan Tenda. Saya dan Anda perlu. Agar, barangkali juga bersaksi:

“Apakah yang lebih diam dari batu? Hanya terasa jika disentuh.

Tak bicara, tak bergerak.

Dingin menjadikannya berpeluh embun.

Hujan membuatnya berselimut lumut.

Panas menyisakan debu padanya.”

Juga tetirah, untuk menyaksikan batu menjelaskan air. Bahwa air tak selalu mengalir ke bawah.

Di Kampung Tenda itu, batu dan air, menyekolahkan kita.

#CeritakanWakatobi

#Seri 5: Dunia Desa Wakatobi

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *