EnvironmentHukum

Jatam Sebut Menambang di Area Pemukiman Menabrak UU, Pemerintah Diminta Cabut Izin PT WIN

×

Jatam Sebut Menambang di Area Pemukiman Menabrak UU, Pemerintah Diminta Cabut Izin PT WIN

Sebarkan artikel ini

 

Kendari, suarakendari.com – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) angkat bicara soal polemik penambangan nikel PT Wijaya Inti Nusantara (WIN) di area pemukiman warga di Desa Torobulu, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra). Organisasi yang berpusat di Jakarta itu, mempertanyakan perihal aktifitas PT WIN.

Namun jauh sebelum membahas soal aktifitas PT WIN, Devisi Hukum Jatam, Muh. Yamil menjelaskan, secara prinsip izin tambang hanya dapat diberikan pada wilayah-wilayah yang secara aturan tata ruang diperuntukan bagi tambang. Yang menjadi pertanyaan, apakah mengakomodir alokasi ruang tambang PT WIN di wilayah pemukiman. Ketika tidak, maka bisa berkonsekuensi pada tindakan administratif dan pidana.

“Pelanggaran administrasinta si pemberi izin harus melakukan pencabutan izin, konsekuensi pidana si pemberi izin, ternyata menerbitkan izin secara melawan hukum, bisa dibilang itu korupsi kewenangan dan kebijakan, tapi kita belum pastikan melanggar atau tidak,” kata Muh. Yamil, pada media Suarakendari.com, Jumat (6/10/2023).

Selanjutnya, Muh. Yamil menuturkan penting juga membaca Undang-Undang (UU) Minerba yang menyatakan bahwa izin tambang bukan izin kepemilikan lahan permukaan. Izin tambang nikel hanya diberikan izin oleh pemerintah untuk menambang nikel dibawah tanah, dipermukaan tetap milik masyarakat yang mendiami lokasi itu.

Dalam prosesnya, ketika ingin menambang wajib untuk melakukan beberapa hal secara hukum. Pertama karena sudah ada manusia tinggal, pasti ada kehidupan yang bergantung pada lokasi itu, makanya wajib perusahaan memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), dan perlu melibatkan masyarakat yang memadai pada saat penyusunan.

“Jangan dibikin diam-diam, Amdal itu adalah alat ukur untuk melihat apakah wilayah itu wajar ditambamg atau tidak kalau dari hasil kajian mengatakan tidak, ya jangan nambang, itukan secara hukum kan,” katanya.

Tapi secara praktek saat ini, Amdal hanya sebagai alat untuk memuluskan perizinanan tambang, bagaimana caranya bisa menambang. Sehigga boleh dikatakan kini Amdal berubah fungsi, bila awalnya hanya sebagai alat penyaring investasi tambang yang sifatnya merusak lingkungan itu, sekarang menjadi alat untuk memuluskan investasi.

Setelah dapat Amdal, perusahaan dipaksakan segala macam, semisal menambang di area pemukiman warga. Menurut dia, di Amdal itu ada aturan jarak atau radius menambang di area pemukiman masyarakat. Misal di Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012, itu diatur soal jarak minimal 500 meter menambang dari area pemukiman.

Sehingga itu tidak ada alasan pembenar secara hukum dan logika lingkungan untuk menambang di area pemukiman. Karena jelas, proses penambangan nikel itu menggali mengangkut material dan meninggalkan lubang. Bisa saja rumah warga longsor nanti, masuk lubang tambang, siapa yang bertanggung jawab nantinya.

“Harusnya ini sudah masuk situasi ekstrem, penghentian sementara. Penghentian sementara bukan hanya dihentikan saja tapi dilakukan konsep perbaikan lahan, lalu perusahaan dipaksa harus bertanggung jawab dan yang bisa memaksa itu adalah pihak Menteri ESDM atau ESDM Provinsi lewat Inspektur Tambang,” kata dia.

Terpenting lagi, konsep hukum dan aturan di negara tetap mengacu pada hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat. Apa gunanya investasi tapi mengorbankan rakyat setempat tanpa solusi yang jelas. Problem di dunia pertambangan jelas ada yang pro dan kontra antar masyarakat.

Masyarakat yang terima jelas ada solusi, dan bagaimana dengan masyarakat yang tidak terima? bagaimana masyarakat yang menerima tapi kena dampaknya juga? Ini harus ada jalan keluarnya, bukan karena masyarakat menerima dan kemudian berhak untuk dikorbankan, konsepnya logikanya bukan begitu tetap harus berkaca pada aturan yang berlaku di negara ini.

“Harus ditempatkan yang namanya prinsip keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, kalau kami di Jatam kalau masyarakat menerima ya mau bagaimana lagi, tapi jangan dijadikan tumbal sebagai agenda proyek tambang, mereka harus dicarikan jalan keluar terbaik, jangan juga mereka terima tambang jadi layak ditambang berserta rumahnya kan bukan begitu konsepnya, dan rujukan kita ya pada aturan perundang-undangan,” tegasnya.

Olehnya itu, Jatam meminta dan menginginkan pemerintah dalam hal ini Penegak Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Sultra serta Inspektur Tambang untuk segera melakukan pengkajian dan penyelidikan mengenai kasus penambangan PT WIN di area pemukiman warga.

Gakkum LHK dan Inspektur Tambang mesti lebih tegas lagi menindak perusahaan yang tidak taat pada aturan penambangan nikel. Kerena mereka juga punya kewenangan, Jatam kembali meminta agar perusahaan didesak segera melakukan reklamasi di lokasi penambangan. Dimana reklmasi berlaku wajib dilaksanakan perusahaan secara berkelanjutan, tanpa harus menunggu proses penambangan selesai.

“Kalau dari Jatam, pemberi izin berwenang untuk memberikan sanksi dan upaya paksa kepada perusahaan yang tidak taat aturan, dan jelas melanggar, kalau itu menganggu kehidupan masyarakat itu melanggar, artinya harus dihentikan dan mundur tidak bisa lagi, sanski terberat pencabutan izin Amdal, kalau itu tidak bisa juga beroperasi,” jelasnya. Ys

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *