NAIROBI, suarakendari.com — Direktur Eksekutif Green Press Indonesia, IGG Maha Adi, baru saja menyelesaikan kunjungan intensif ke Ethiopia dan Kenya selama sepuluh hari awal Mei lalu. Kunjungan ini merupakan bagian dari program Connect Fund dalam kerangka Bertha Challenge Fellowship yang ia jalani, setelah sebelumnya ia mengunjungi Cape Town, Afrika Selatan.
Di jantung Nairobi, Kenya, Maha Adi bersama jurnalis dan aktivis lokal menggali isu serius: disinformasi iklim yang dilakukan oleh aparatur negara. Dalam diskusi hangat bersama para aktivis dari Social Justice Center dan 12 jurnalis setempat, terungkap bagaimana narasi pemerintah kerap justru menyesatkan dan tidak memberi perlindungan informasi yang memadai bagi warga, terutama mereka yang paling terdampak.
Dampak Nyata di Korogocho dan Mathare
Kunjungan Green Press Indonesia dilanjutkan ke Korogocho dan Mathare—dua kawasan padat dan miskin di Nairobi yang menjadi saksi nyata brutalnya dampak perubahan iklim. Banjir bandang tahun 2024 menewaskan puluhan warga di bantaran sungai, sementara saat musim kemarau ekstrem, mereka kesulitan mengakses air bersih meski dibantu oleh berbagai organisasi sosial.
“Pemerintah kota berbohong. Mereka tak kunjung memenuhi janji untuk merehabilitasi wilayah terdampak dan tak memiliki program mitigasi nyata,” ujar Tiffani Mbuga, seorang aktivis lokal. Dennis Orengo, rekan aktivisnya, menambahkan bahwa “tidak ada kepastian atau transparansi atas apa yang dilakukan pemerintah setelah bencana.”
Kemiripan dengan Indonesia: PLTU dan Disinformasi Negara
IGG Maha Adi dalam forum bersama jurnalis Kenya menegaskan bahwa Indonesia menghadapi masalah serupa, meski dalam konteks berbeda: transisi energi dan korupsi batu bara. Ia menyebut bahwa meski Perpres No.112/2022 mewajibkan pensiun dini PLTU, hingga kini pemerintah belum juga mempublikasikan roadmap transisi energi, padahal itu krusial untuk mengakses dana $20 miliar dari negara-negara G20 dalam kerangka Just Energy Transition Partnerships (JETP).
“Indonesia masih tergantung pada batu bara, yang penuh skandal korupsi. Empat Dirut PLN sudah masuk penjara karena kasus ini,” katanya.
Lebih lanjut, ia mengungkap bagaimana lobi-lobi elite hampir menutupi fakta saat terjadi polusi ekstrem di Jakarta pada pertengahan 2023. “Seorang Dirjen KLHK sempat menyatakan PLTU bukan penyebab utama polusi Jakarta. Tapi hanya 15 hari kemudian, Menteri Lingkungan Hidup meralatnya secara resmi di Istana Negara: PLTU adalah penyumbang polusi terbesar kedua setelah transportasi,” ujar Maha Adi. “Ini contoh nyata disinformasi iklim yang berbahaya dan impunitas terhadap kejahatan lingkungan.”
Misi Berlanjut: Mongolia dan Indonesia Jadi Titik Sorotan
Setelah Afrika, Green Press Indonesia akan melanjutkan misinya untuk membongkar disinformasi iklim global. Rencananya, mereka akan meliput kasus serupa di Mongolia, atau menjadi tuan rumah bagi jurnalis investigasi dari Eropa yang akan mengeksplorasi isu lingkungan di Indonesia.
Di tengah krisis iklim global, kolaborasi lintas negara seperti ini menjadi semakin penting—bukan hanya untuk berbagi kisah, tapi juga menyatukan kekuatan untuk melawan disinformasi yang mengancam masa depan bumi. SK