Environment

Usaha Konservasi Teluk Kolono

×

Usaha Konservasi Teluk Kolono

Sebarkan artikel ini

 

Teluk Kolono merupakan salah satu perairan yang meliliki panjang garis pantai sepanjang 54 Kilometer, berada di Wilayah Administrasi Kecamatan Kolono, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), untuk menuju kesana dapat di tempuh dengan melalui jalur laut, maupun transportasi darat, disarankan lebih efisien menggunakan jalur darat, sekitar tiga jam, dengan menempuh perjalan kurang lebih 100 Km, dari Kendari ibu kota Sulawesi Tenggara.

Kecamatan Kolono terdiri dari 30 Desa dan Satu kelurahan, dimana hampir semua desanya berada pada wilayah pesisir Teluk Kolono kecuali Desa Ulusena Jaya dan Desa Lamotau. dengan jumlah penduduk kurang lebih dari 13.603 Jiwa.

Masyarakat yang mendiami wilayah pesisir, mayoritas warganya berprofesi sebagai nelayan lokal, yang sejak lama memanfaatkan Teluk Kolono sebagai tempat untuk mencari ikan, budi daya rumput laut dan budi daya Lobster.

Isu Global Warming yang melanda hampir di seluruh belahan dunia, tanpa terelakan juga menghantui wilayah pesisir tak terkecuali Teluk Kolono. Ini di perparah dengan kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya nilai konservasi, sehingga mendorong beberapa nelayan melakukan upaya penangkapan ikan dengan cara yang tidak benar. Illegal fishing dan penjarahan karang besar-besaran guna bahan baku pembangunan pemukiman menjadi salah satu faktor pendorong kerusakan ekosistem di Teluk Kolono.

Pakar kelautan telah memberikan instruksi mengenai adanya perubahan iklim yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, terkait isu pemanasan global. Guru besar perikanan Universitas Haluoleo, DR Ramli MSc, mengatakan bahaya yang di akibatkan dari Global Warming perlu menjadi perhatian besar dari pemerintah, tidak terkecuali Konawe Selatan sebagai salah satu pemasok ikan terbesar di Sulawesi Tenggara (Sultra). Masyarakat wilayah pesisir telah merasakan dampak dari perubahan iklim tersebut.

Beberapa hasil penelitian yang dilakukan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Konsel yang bekerja sama dengan salah satu lembaga penelitan dunia, menunjukan adanya kecenderungan perubahan iklim yang mengakibatkan kenaikan suhu air laut telah membawa dampak serius pada tingkat pendapatan nelayan, tidak hanya itu kenaikan air laut bahkan telah mengancam dan merusak beberapa pemukiman warga dan fasilitas umum di wilayah pesisir.

Menyikapi berbagai ancaman tersebut, beberapa desa yang didampingi salah satu lembaga sosial yang bergerak di bidang konservasi penyelamatan biota laut, bekerja sama dengan pemerintah daerah, sepakat mencoba beberapa gebrakan dengan membentuk sebuah kelompok untuk melakukan pengawasan dan upaya penyelamatan berbasis masyarkat, guna menjaga keberlangsungan dan pelestarian teluk kolono ini.

Langkah Awal di fokuskan pada upaya penyelamatan ekosistem biota-biota laut, yang terdapat di Teluk Kolono, diduga rusak akibat perilaku masyrakat yang melakukan Ilegal Fishing yakni Pemboman dan Pembiusan Ikan, berdasarkan data minopolitan kabupten Konsel tahun 2011, terumbu karang yang berada di teluk kolono mengalami kerusakan hingga 45 persen, pada awal tahun 2013 pasca pengukuran tutupan karang yang tersisa tinggal 30 persen.

RARE mencatat, berdasarkan hasil diskusi antara lembaga pendamping dan para kepala desa sekecamatan kolono, salah satu penyebab kerusakan terumbu karang di teluk kolono adalah dikarenakan adanya ulah dari masyarakat yang menangkap ikan dengan cara tidak bertanggung jawab, dengan menggunakan BOM ikan, hadirnya penambangan batu karang , pembiusan ikan dengan menggunakan potas sianida.

Menager kampanye RARE, Musriyadi mengatakan Tahapan awal sebelum menentukan beberapa wilayah Teluk Kolono, menjadi daerah perlindungan laut (DPL), terlebih dahulu dilakukan pertemuan dari dusun ke dusun di lima desa, setelah masyarkat diberi pemahman setelah itu langkah selanjutnya dilakukan pemetaan wilayah.

Hasilnya ditetapkan lima desa menjadi wilayah Daerah perlindungan laut, yakni Desa Ngapawali, Desa tumbu – tumbu jaya, Desa Lambangi, Desa Rumba – rumba, dan Desa Batuh Putih. Masyarakat dibantu RARE kembali melakukan inventaris wilayah dengan menggunakan metode penelitian mantatau yang bertujuan agar mengetahui kondisi terumbu karang salah satu wilayah, dengan mengambil star dari Desa Lambangi dan Tanjung Amolengo berdasrakan data mantatau itu, ditemukan ada dua titik wilayah yang kondisi tutupan karangnya masih bagus, yaitu Desa Ngapawali 31,d % dan Desa tumbu – tumbu jaya 35 %.

“Dua daerah tersebut yakni Desa Ngapawali dan Desa tumbu – tumbu jaya dengan luas wilayah kurang lebih 50 Ha, Hingga saat ini baru satu desa yang telah memiliki peraturan desa (Perdes) DPL, yaitu desa Ngapawali,”jar Ady.

Sesuai dengan Peraturan Desa Ngapawali Nomor 02 tahun 2014, daerah perlindungan laut merupakan sebagian wilayah perairan desa yang di setujui oleh masyarakat untuk dilindungi dan ditutup secara permanen terhadap berbagai kegiatan, penangkapan, pengambilan dan atau pemeliharaan biota laut, serta jalur transportasi laut. Dengan luas wilayah kurang lebih 30 Ha, pajang DPL 800 M, jarak dari pantai Barat 320 M dan jarak dari pantai Timur 420 M.

Guna memaksimalkan proses perlindungan Zona inti DPL, maka di bentuk kelompok pengawas, yang di kenal dengan Kelompok pengawas masyarakat (Pokmaswas) yang bertugas melakukan pengawasan rutin setiap saat. Dalam satu kelompok terdiri 15 sampai 26 orang.

Ketua Pokmaswas Desa Ngapawali, Samsul (37), mengatakan tugas dari pokmaswas sendiri tergolong berat, di mana tim pengawas, wajib memberikan pemahaman kepada warga, yang kedapatan melakukan aktifitas di areal DPL.

Ada beberapa hal yang dilarang di dalam DPL, setiap masyarakat dari dalam maupun di luar desa dilarang mengambil, menangkap jenis ikan apapun, warga juga di himbau agar tidak melintas, terlebih membuang jangkar di area DPL. Namun penduduk diperbolehkan melakukan aktivitas tangkap ikan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan radius 50 meter untuk nelayan tradisional dan 200 Meter untuk nelayan purse seine (Gae-red).

Pengawasan yang dilakukan setiap hari dari pagi buta hingga sore menjelang malam, tim pengawas kerap menjumpai nelayan yang masih melakukan aktifitas di zona DPL. “Kami akan memberikan pemahaman terlebih dahulu, kalau sudah berkali kali diperingati, namun yang bersangkutan tetap tidak mengindahkan, terpaksa kami serahkan ke pihak berwenang dalam hal ini kepala desa untuk diberi pembinaan,”katanya.

Namun bila pelanggaranya seperti pembiusan dan pengeboman ikan, warga pesisir tidak memberikan toleransi. “Kalau ada pemboman ikan, kami langsung laporkan ke pihak kepolisan,”tegasnya.

Pihak kepolisian sendiri sudah menghimbau warga agar tidak mengambil tindakan sendiri, sebab mengandung resiko tinggi yang dapat mengancam keselamatan anggota Pokmaswas sendiri.

Tanggapan warga terkait upaya yang dilakukan Pokmaswas sendiri pada awalnya memang mendapat perlawanan keras dari sebagian warga nelayan, khususunya para penangkap ikan – ikan kecil, karena dengan terbentuknya beberapa DPL Zona inti tersebut, maka di nilai akan mempersempit wilayah mereka untuk menangkap ikan.

“Pada dasarnya, masyarakat di lima desa ini, ada beberapa tempat yang telah dijadikan wilayah perlindungan atau menjadi zona terlarang, bagi masyarakat untuk melakukan aktifitas, karena sosialisasi telah kami lakukan sejak satu tahun lalu, sebelum kami mamasang tanda – tanda larangan di sekitar zona Inti tersebut,” Ujar Samsul.

Terlebih di wilayah Zona Inti yang masuk Desa Tumbu – tumbu Jaya terdapat sebuah air mendidih yang terdapat didalam laut, warga menyebutnya Iwoilulua (Air Panas-Red) dan juga sebuah bongkahan karang besar yang menyerupai pulau yang masyarakat disana menyebutnya Utindonga, dimana permukaan karang nampak kelihatan apabila posisi air laut sedang surut, dua lokasi tersebut di yakini warga sebagai tempat ikan untuk berkembang biak.

Warga menampik soal pemboman ikan dilakukan warga desa. “Tidak benar aktifitas pengeboman ikan dilakukan oleh masyarakat di sekitar teluk kolono, faktanya ialah itu dilakukan oleh masyarakat pendatang dari luar kabupaten yang masuk di teluk kolono untuk melakukan penagkapan dengan cara ilegal,”kata Samsul.

DPL hadir sejak bulan 11 – 2013, baru sekali ada temuan itu masyarakat dari luar lima desa ini yang kedapatan melalakukan aktifitas memancing di sekitar zona inti tersebut, Sebelum adanya kegiatan pengawasan aktifiatas ilegal fishing seperti pemboman ikan dan pembiusan dalam sebulan bisa sampai 3 sapai 4 kali.

Besarnya kepedulian terhadap lingkungan, sehingga kami berbesar hati menerima kegiatan ini, kendala terbesar yang kerap di hadapkan para Pokmaswas terdapat pada alat transportasi mereka, yang belum ada, hampir disetiap rapat kordinasi warga terus mengajukan permintaan kepada dinas terkait untuk segera memfasilitasi mereka kendaraan oprasional sperti motor boad.

“Minimnya peralatan menjadi kendala Pokmaswas unutk beraktifitas selama ini dalam melakukan pengawasan setiap hari, dengan meminjam kapal -kapal nelayan yang lagi sandar didermaga, ketika saya sudah terjadwal untuk ke lokasi pengawasan, perahu tidak ada, kita pusing juga mau naik apa kesana,” keluh Samsul

Pemerintah saat ini baru memfasilitasi satu unit motorboat namun itu, statusnya masih pinjaman, namun pemerintah berjanji di bulan April 2014 semua Pokmaswas di lima desa ini akan di berikan alat transportasi yang nantinya di gunakan unutk melakukan pengawasan.kata Samsul.

Hal senada juga disampaikan kepala Desa tumbu -tumbu jaya, Haruddin H, menungkapkan, Penyebab terjaidnya krisis ikan di teluk kolono, karena tidak terkendalinya aktifitas Ilegal fishing seperti Bom Ikan dan pembiusan, banyaknya nelayan luar yang masuk dengan menggunakan jaring besar di luar kapasitas teluk, yang ditengarai banyak dilakukan oleh oknum – oknum warga di luar kabupaten Konawe Selatan, sehingga berdampak besar pada penurunan hasil tangkapan warga di sekitar teluk.

Jika dibandingkan dengan zaman dulu, nelayan dalam melakukan aktifitas penagkapan ikan, warga hanya menempuh setengah mil dari bibir pantai, hasil tangkapan nelayan sudah sangat memuaskan.

Kendala lain yang juga di hadapi oleh Pokmaswas adalah belum maksimalnya zona pembatas DPL, sehingga tak jarang warga tidak memperhatikan, apakah dirinya melanggar atau tidak.

“Kami pernah mengusulkan agar setiap rapat koordinasi, dimana dalam salah satu upaya untuk mempertegas apa yang tetuang dalam peraturan desa yang pernah kami buat dan sepakati, salah satu contoh, kalau tidak ada alat pembatas hal tersebut tidak akan maksimal,”ungkap Samsul.

“Karena siapapun dia kalau tidak ada pembatas sebagai tanda larangan, tetap dia akan melaluinya, kalau dia lewat, itu dilema buat kami, dimana pokmaswas mau katakan zona itu di larang unutk melintas, tetap nelayan akan lewat, terlebih kalau itu warga di luar desa kami,” uzjar Haruddin

Dengan adanya Zona perlindungan ikan, secara otomatis aktivitas warga kami yang tadinnya beraktivitas di wilayah tersebut akan bergeser jauh hingga keluar teluk,

sekiranya dengan dijadikannya daerah tersebut sebagai wilayah perlindungan terumbu karang minimal pemerintah daerah memberikan solusi, yakni alat tangkap yang perlu ditambah

Nelayan yang menggunakan alat tangkap tradisional yakni alat tangkap pemancing Rawe, payang, bagang apung. saat ini warga kami unutk melakukan penangkapan ikan harus jauh keluar teluk, karena kalau mengandalakan di teluk ini saja , sementara yang membatasi nelayan kami masih menggunakan alat tangkap tradisional.

Kompleksnya masalah di sekitar teluk kolono, semakin memperarah situasi, terkait dengan Abrasi pantai, kami pernah membahas pada saat musrembang kami di mana desa kami merupakan desa yang rentan terjadinya abrasi, ketika terjadinya musim barat, ketika air pasang hingga tanggul pembatas tidak dapat menahan gelombang besar mengakibatkan, seluruh pemukiman warga yang dekat dengan bibir pantai yakni dusun 1, 2, dan 3 ikut terendam, penanganan awal kami pernah mendapat bantuan tahuin 2006, program abrasi pantai spanjang 700 M, jadi kurang lebih 700 meter lagi dari panjang garis pantai desa kami 1500 meter.

“Beberapa Desa yang terancam terkena abrasi pantai yakni Desa Lambangi, Desa Tumbu – tumbu Jaya, langgapulu, dan Rumba -rumba karena wilayah pemukimanya dekat dengan bibir pantai,”kata Haruddin.

Lebih lanjut Haruddin mengatakan bahwa, salah satu yang menjadi kendala dan faktor penyebab larinya ikan dan adanya aktifitas penebangan mangrove baik yang dilakukan oleh masyarakat sendiri unutk kebutuhan rumah tangga, adanya eksploitasi besar – besaran unutk kpentingan sebuah perusahaan. minimnya sosialisasi tentang pentingnya mangrov sehingga masyarakat seenaknya saja menebang.

Berbagai upaya konservasi dengan cara penanaman bakau di sekitar bibir pantai unutk membendung gelombaang, kami pernah mengajukan bantuan kedinas terkait, untuk rehabilitasi mangrove, namun hingga kini belum terjawab, kami juga tidak mengerti alasan mengapa. malahan yang terjawab bukan sperti apa yang menjadi permintaan kami.

Pemerintah Konawe Selatan  bahkan telah menjadikan Festival Teluk Kolono sebagai ivent tetap setiap tahun  pemerintah daerah sebagai bentuk kepedulian pada ekosistem pesisir teluk kolono di samping itu untuk membangkitakan kearfan budaya lokal masyarakat kolono

Diharapakan program DPL dapat membantu masyarkat nelayan dan terus berlangsung sehingga mewujudkan perikanan berkelanjutan di teluk kolono.

Hasil riset RARE menunjukan bahwa, terumbu karang yang ada di daerah perlindingan laut pada Januari 2014, terjadi peningkatan yakni tutupan karang dari yang tadinya 31 persen, terjadi peningkatan sekitar 1,6 persen. hal itu di dukung dengan jumlah pendapatan ikan Warga nelayan sejak awal tahun 2014 sedikit mengalami peningkatan.

Konservasi pesisir adalah pengolahan sumbsr daya alam hayati pesisir yang pemanfaatanya di lakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan, persediannyadengan tetap memeilharadan meningkatkan, kualitas keanekaragaman dan nilainya, serta merehabilitasi sumberdaya alam yang rusak. ***

Penulis : Sarman

Tulisan terbit Dalam Buku Bunga Rampai Lingkungan yang terbitkan AJI Kendari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *