EnvironmentTak Berkategori

Senjakala Sawah Landono

×

Senjakala Sawah Landono

Sebarkan artikel ini
Areal persawahan di konawe selatan. foto: Joss

Keresahan menggelayut di wajah Agus, 23 tahun. Betapa tidak, warga Desa Landono Satu  Kecamatan Landono, kabupaten Konawe Selatan ini menemukan fakta miris menghilangnya sebagian besar areal persawahan di desanya.

“Sejak tahun 2010, Kami tidak lagi bisa menanam padi,”ungkap Agus.

Bongkah tanah terus mengeras karena tidak lagi teraliri air. Sebelum benar-benar menghilang, para petani dengan bergotong royong sempat mencoba mengairi air dengan alkon penggerak air yang diambil dari sisa air waduk, namun usaha itu hanya bertahan dua bulan, hingga akhirnya air waduk ikut menghilang. “Itulah akhir cerita dari areal persawahan di sini,”ujar Agus, sedih.

Menurut Agus, penghasilan dari mengelola sawah cukup lumayan untuk bertahan hidup dan menyekolahkan anak-anak petani di desanya. “Dulu warga masih bisa menyimpan persediaan cadangan beras hingga musim tanam berikutnya. Warga sama sekali tidak membeli beras. Tapi kini sejak tidak ada sawah, warga terpaksa harus membeli beras,”ungkapnya.

Menghilangnya areal persawah di Desa Landono tak lepas dari masifnya perusakan kawasan hutan Landono yang berbatasan dengan kawasan hutan Kecamatan Sabulakoa. Kerusakan hutan disebabkan  pembukaan kawasan untuk perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan-perusahaan besar serta pembukaan kawasan untuk pemukiman transmigrasi. Namun oleh warga tudingan lebih dilayangkan ke pihak perkebunan sawit

“Saya kiri sejak perkebunan sawit hadir di daerah ini, air tanah ikut menghilang,”kata Agus

Hal ini, lanjut Agus, ditandai dengan mengeringnya sejumlah sungai di Landono dan Mowila walau saat ini sudah masuk pada musim penghujan.

Bagi warga, kawasan hutan Landono – Sabulakoa merupakan kawasan penyedia air untuk daerah sekitarnya, termasuk untuk Desa Landono Satu. Keberadaan kawasan hutan Landono juga diyakini menjadi rumah bagi flora dan fauna serta ekosistem hutan lainnya. “Karena hutan telah rusak, maka ekosistem lingkungan juga ikut rusak,”ujar Agus.

Dampak kerusakan hutan membuat  warga kini mengganti tanaman padi dengan tanaman  palawija, seperti sayur mayur dan tanaman jangka panjang seperti  buah-buahan .

“Kami pernah mencoba menanam jeruk  nipis, kala  itu harga lumayan bagus mencapai 200 ribu rupiah perkarung. Tapi belakangan harganya anjlok jauh hingga di angka 20 ribu rupiah per karung saja. Ini sangat tidak sebanding dengan biaya perawatan tanaman. Kami rugi besar,”ujarnya.

Selain palawija dan  buah, sebagian warga banting setir  dari petani menjadi pengrajin batu bata merah untuk bahan ramuan bangunan rumah. “Keliatannya, membuat batu merah masih lebih lumayan dibanding menanam palawija, apalagi ada banyak permintaan bata merah khususnya dari para pengembang di kota kendari,”kata Agus.

Ironi yang terjadi di Landono tentu saja tak berbanding lurus dengan upaya Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan yang  terus berupaya mempercepat pembangunan sektor pertanian sebagai penggerak ekonomi di daerah itu.

Salah satu wujud pembangunan sektor pertanian antara lain adalah, pembangunan kanal atau saluran irigasi sawah di Landono.

Dikatakan, Konawe Selatan merupakan sentra produksi padi terbesar di Sultra sehingga perhatian pemerintah terhadap komoditas itu sangat besar. “Hampir semua kecamatan di Konawe Selatan memiliki lahan sawah, tetapi ada beberapa kecamatan yang signifikan sehingga pembangunan infrastruktur prioritas pada daerah yang luas lahan sawahnya,” kata Surunudin, Bupati Konawe Selatan.

“Pemerintah daerah terus berupaya mendorong petani untuk meningkatkan produksi, sekaligus mengembangkan sektor tanaman hortikultura, untuk memenuhi kebutuhan pangan daerah,”jelasnya.

Kerusakan Hutan di Sultra

Provinsi Sultra memiliki luas kawasan 2.600.137 hektar terdiri; Hutan produksi seluas 991.667 hektar, Hutan lindung 1.035.936 hektar dan  Hutan koservasi seluas 195.410 hektar.
Fakultas Kehutan dan Lingkungan Universitas Halu Oleo (UHO) menyebut, dari 2,6 juta hektar luas kawasan hutan di Sultra itu, 102 ribu hektar di antaranya sudah berubah menjadi lahan kritis, yakni baik kritis secara hidrologis maupun kritis secara ekonomis, dimana jumlahnya terdiri dari: 60.998 hektar lahan kritis di kawasan hutan produksi,  24.334 hektar lahan kritis di kawasan hutan lindung dan 16.173 hektar lahan klritis di kawasan hutan konservasi. Sayangnya, upaya rehabilitas tidak seimbang dengan laju kerusakan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *