Humaniora

“Sayonara” Pokea Pohara

×

“Sayonara” Pokea Pohara

Sebarkan artikel ini
Para pencari pokea yang masih bertahan jumlahnya makin sedikit. foto: Joss

Selasa, 8 Maret lalu, Saya berkesempatan bepergian ke kecamatan sampara untuk mencari orang orang yang biasa metiu dengan menyusuri sepanjang desa desa yang berdampingan dengan aliran sungai besar ini, dimulai dari desa pohara, andadowi, hingga ke desa besu, saya hanya mendapati empat orang yang beraktifitas di sungai hari itu. Namun Saya tak dapat mewawancarai mereka, karena jarak lokasi mereka metiu berada jauh di tengah sungai dan masih beraktifitas mencari pokea. Jadilah Saya  hanya bisa mengamati aktiftas mereka dari kejauhan, dari halaman rumah  salah satu warga.

Dari mulut orang orang di desa, terungkap bahwa banyak dari pencari pokea telah meninggalkan pekerjaan mereka di sungai dan memilih  menjadi buruh di perusahaan tambang dan buruh di perusahaan kelapa sawit.

“Di desa tersisa dua orang saja yang metiu, itu pun sudah jarang jarang turun ke sungai. Mungkin karena sudah tua jadi lebih banyak di rumah,”kata Lukman, warga Pohara.

Sungai pohara sejak lama menjadi lokasi warga mencari pokea dan pasir. foto: Joss

Jauh sebelum perusahaan sawit dan tambang beroperasi, sungai pohara adalah sumber kehidupan masyarakat di sana. Hampir setiap kepala keluarga bergantung hidup di sungai ini dengan dua pekerjaan sekaligus, pencari pokea dan pengumpul pasir.

Tak heran, desa desa yang menghuni daerah aliran sungai pohara menjadi penyumbang terbesar material pasir untuk pembangunan ibu kota sulawesi tenggara, kota kendari serta menjadi penyuplai terbesar untuk bahan kuliner kerang pokea. Jasa sungai pohara bahkan lebih dari itu, sebagai penyangga kebutuhan air bersih orang orang di kota melalui intak yang dikelola PDAM Tirta Anoa.

Nasib pasir dan pokea nampaknya setali tiga uang, sama sama mulai langka. Dan yang pasti membuat suasana sungai pohara jadi sepi dari aktifitas warga, potret kehidupan yang tidak ditemukan bertahun tahun lalu, dimana sejak pagi permukaan sungai sudah dijejali puluhan sampan nelayan. Warga dengan keranjangnya metiu, mengangkut pasir dan memunguti kerang yang terikut dalam kudapan pasir, lalu memuatnya ke dalam sampan berukuran kecil dan membawanya ke terminal penampungan pasir di pinggir sungai.

“Dulu setiap hari selalu ramai orang orang metiu. Kebutuhan pasir dan pokea melimpah dan banyak truk yang datang memuat pasir, sekarang pemandangan itu sudah tidak ada lagi, sejak ada perusaahaan tambang”kata Lukman.

Karena melimpahnya permintaan membuat warga sekali waktu mencoba menggunakan mesin penyedot pasir, tapi beruntung pemerintah melarang karena dianggap merusak lingkungan dan menjadi penyebab longsor disepanjang bahu sungai. “Kalau mesin sudah dilarang karena merusak, ini buktinya pinggiran sungai semakin sering longsor, bahkan ada jalan raya yang sudah hampir jatuh,”kata Lukman.

Pokea Impor

Pohara adalah daerah dimana  bisnis rumah makan tumbuh subur di sana, hamper semua rumah makan menyediakan hidangan sate berbahan baku daging kerang pokea. Daging pokea  dikenal banyak orang sebagai kerang terbaik; karena dagingnya kenyal, lunak dan besar besar plus tak berpasir.

“Kami akui daging pokea dari sungai pohara ini sangat bagus dan dagingnya tidak berpasir, tidak seperti pokea yang dari luar seperti konawe utara yang rata rata daging pokeanya berpasir,”kata Arni, salah satu penjual pokea di pohara.

Namun kini banyak pelaku rumah makan terpaksa memesan pokea dari asera, kabupaten konawe utara karena  alasan minimnya stok pokea pohara. “Tidak ada pilihan lain, saya terpaksa mendatangkan pokea dari asera walau harganya agak mahal,”ungkap Arni.

Harga “pokea impor” ini tentu saja jauh lebih mahal, mencapai 250.000 -400.000 rupiah perkarung.

Sebenarnya, di beberapa desa  masih ada beberapa warga yang bertahan menjual pokea pohara dalam bentuk gelondongan kerang.

Saya menemui Rugaya, salah satu penjual pokea gelondongan di Desa Besu. Ia bercerita jika harga pokea sudah tidak sama seperti dulu. “Dulu harga pokea murah hae, mungkin karena masih pokea dan masih banyak orang yang metiu, tapi sekarang sudah jarang orang metiu jadimi dia mahal harganya,” kata  Rugaya dengan dialek  tolaki kental.

Warga menjual pokea dari warung mereka di pinggir jalan. foto: Joss

Kini harga pokea bentuk gelondongan dijual 15.000 rupiah per gantang  (seukuran ember kecil). Harga yang berbeda jauh saat pokea masih banyak banyaknya, dimana  harganya masih sangat murah dan warga menjualnya per karung alias tidak menggunakan gantang seperti sekarang ini.

“Kalo dulu, kita jual pokea dikisaran harga  antara 30 ribu sampai 50 ribuan saja per karung ukuran sedang, lantaran masih banyak  pokea. Ma kalo sekarang sudah mahalmi,  itu tadi karena tidak adami orang mau metiu cari pokea,”ungkap Rugaya.

Belakangan orang orang yang metiu mencari pokea hanya mendapatkan sekitar sepuluh gantang pokea saja setiap hari dan terkadang jumlahnya di bawah dari sepuluh gantang. Sungguh Ironis. (SK)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *