Historia

Prasasti Grimwood dan Kearifan Menjaga Alam Lambusango

×

Prasasti Grimwood dan Kearifan Menjaga Alam Lambusango

Sebarkan artikel ini
prasasti dibangun warga labundo-bundo untuk tetap mengenang Nicola Grimwood. foto: Joss

In memory of our dear friend, best friend and beloved, Nicola Grimwood, 1973-2007 we will always remember you

(Untuk mengenang teman dan sahabat tercinta kami, Nicola Grimwood, 1973-2007 kami akan selalu mengenangmu)

 

Demikian kalimat yang tertulis di sebuah prasasti kecil di halaman rumah La Aete,warga Labundo Bundo, Desa Kakenauwe, Kabupaten Buton Selatan.  Prasasti itu berdiri lebih dari sepuluh tahun di sana, dibangun untuk menghormati  Nicola Grimwood, wanita berkebangsaan Inggeris yang meninggal dunia karena sakit pada  tahun 2007 silam.

 

“Prasasti ini sebagai tanda cinta dan hormat kepada Nicola Grimwood.  Warga sangat menyanyanginya sebagaimana Ia mencintai alam lambusango,”kata La Aete, tokoh konservasi Lambusango.

 

Saat meninggal dunia Nicola Grimwood masih tercatat sebagai salah satu peneliti Operation Wallacea yang hampir lima tahun melakukan riset hewan pengerat di kawasan hutan lambusango.

 

Nicola Grimwood boleh dibilang baru separuh jalan melakukan riset tentang hewan pengerat, sebab masih ada beberapa penelitian yang Ia kerjakan, terutama terkait spesies tikus ekor kuning (Rattus xanthurus). Spesies ini sebelumnya belum ditemukan di pulau Buton,  namun menurutGrimwood, konfirmasi identifikasi spesies ini akan dilakukannya setelah kembali ke Inggris sebagaimana tertuang dalam,  Summary of biological and Sociological research carried out by Operation wallacea in the forest of Central Buton yang ditulis editor Adrian Seymour.

 

Namun apa yang dilakukan Nicola Grimwood  sangat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya pada mamalia kecil muridae yang merupakan salah satu famili hewan pengerat dari ordo Rodentia suatu organisme model yang penting dalam biologi. Studi yamg dilakukan berkontribusi pada kumpulan data yang ada tentang preferensi habitat mikro mamalia kecil di endemik Sulawesi.

 

Dalam laporannya itu,   Nicola Grimwood sedikit menjelaskan tentang apa yang membuatnya tertatrik dengan hewan pengerat di lambusango. Baginya, fauna mamalia kecil di hutan Buton dengan demikian penting untuk pengelolaan hutan dan konservasi, karena itu  penting  untuk memahami masalah ekologi dan proses ekosistem, sebagai kunci dari menerapkan strategi konservasi yang efektif .

 

“Memperoleh pemahaman tentang ekologi mamalia kecil endemik Sulawesi tidak hanya penting untuk konservasi spesies tersebut. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa kekayaan, distribusi dan kelimpahan spesies mamalia kecil yang hidup berdampingan dipengaruhi oleh ketersediaan mikrohabitat yang dapat dikarakterisasi oleh variabel terukur tertentu,”tulisnya.

 

Tentang Desa Kakenauwe

 

Selama masa penelitian di Buton,  Nicola Grimwood tinggal berinteraksi dengan sangat baik bersama warga labundo bundo. Bersama beberapa rekannya sesame peneliti,  Ia juga mempelajari kehidupan social budaya masyarakat di sana.

kus-kus hewan endemik sulawesi, salah satu fauna yang mudah ditemui di lambusango. foto: Joss

Desa Kakenauwe sendiri merupakan pintu masuk untuk mengunjungi kawasan hutan lambusango. Diperlukan waktu satu jam perjalanan melalui jalan aspal dari kota bau bau. Pengunjung dapat langsung merasakan perbedaan kesegaran udara saat memasuki wilayah ini yang dikelilingi cagar alam kakenauwe dan suaka margasatwa lambusango. Hutan alam yang tak pernah berubah sejak jaman leluhur masyarakat labundo bundo, sekaligus menjadi rumah untuk komponen hayati dan non hayati yang membentuk biodivesity, khususnya endemic Sulawesi.

Di kawasan ini kita akan mudah menemui flora dan fauna endemic diantaranya, kuskus, rangkong Sulawesi, anoa maupun babi rusa. Menariknya, warga kakenauwe yang bermukim di tepi hutan alam ini punya kearifan local  bernama bataana tombi atau tradisi membanting bendera yang didalamnya berisi sumpah dan kutukan bagi siapa saja yang merusak hutan secara semena mena.

Petugas BKSDA bersama komunitas melakukan monitoring kawasan lambusango. foto: Joss

Tradisi lima tahunan ini benar benar ampuh menjaga   kelesatarian alam di sana. Mereka yang berniat membuka hutan harus melalui persetujuan adat. Kalau membuka dekat maka air dan tebing maka tidak akan disetujui masyarakat dan pemuka adat,”kata La Aete.

 

Tradisi menjaga dan merawat hutan ini membuat warga labundo bundo tak pernah kesulitan air walau di musim kemarau. Pastinya, mahluk hidup di dalam dan luar kawasan lambusango ikut menikmati. Terjaganya lingkungan hutan juga membawa berkah tersendiri bagi warga, dimana setiap tahun ratisan wisatawan, pelajar  dan mahasiswa dari Inggris dan Amerika selalu hadir untuk mempelajari kehidupan alam lambusango.

 

Wisatawan dapat dengan mudah mengamati kehidupan liar seperti burung, andoke, kuskus, ular python dan sebagainya dari jalan. Tarsius dengan mudah diamati saat fajar atau senja hari di pohon pohon besar yang berada di tepi jalan. “Ini berkah bagi warga dan banyak anak-anak muda desa yang menjadi pemandu wisata,”kata Nudi, warga Labundo-bundo.

 

Warga menyediakan penginapan yang bersih, rapi dan sederhana di setiap rumah yang berada di sepanjang jalan yang membelah desa. Sejak 2001 silam warga telah biasa menyewakan penginapan, menyediakan logistic, mencuci pakaian, menjual souvenir hingga jasa pemandu wisata di kawasan hutan  ke wisatawan domestic maupun asing.

 

Nah untuk guide hutan, warga labundo bundo lebih spesifik memandu untuk jenis hewan endemic , seperti tarsius, kelelawar, kupu-kupu, anoa, san hewan lainnya.  Warga biasanya mendapatkan upah dari jasa mamndu rombongan peneliti dan mahasiswa.

 

Warga labundo bundo sebenarnya punya pekerjaan utama selain usaha wisata dan jawa pemandu, yakni sebagai petani kakao, jambu mete dan kelapa. Tapi sejak menjadi daerah wisata, usaha kebun justeru menjadi sampingan dan usaha wisata menjadi utama.   Terlebih saat musim kunjungan wisata  yang berlangsung depalan sampai sepuluh minggu setiap tahunnya dengan penghasilan yang lumayan mendongrak ekonomi warga.

Kawasan Lambusango

 

kawasan hutan lambusango. foto: Joss

Seperti diketahui kawasan hutan lambusango adalah benteng terakhir keragaman hayati bioregion wallacea. Wallacea adalah wilayah unik di dunia, tempat bercampurnya tumbuhan dan binatang dari asia dan australia. Di hutan ini kita bisa melihat bagaimana monyet asia seperti Andoke (macaca achreata brunescens) berbagai hunian hutan dengan kuskus (ailurops ursinus), mamalia berkantong yang biasa ditemukan di australia. Hutan ini memiliki 21 satwa bertulang belakang (ikan, katak, mamalia kecil, kelelawar dan bahkan primata) yang hanya ada di pulau buton saja. Pengamatan burung rangkong, monyet, tarsius dan bahkan anoa lebih mudah di buton dari pada wilayah lain di bioregion wallacea.

 

Hutan yang masih utuh ini terletak di tengah pulau buton, dimana seluruh daerah tangkapan air dari sungai sungai yang mengalir ke selatan berada. Hutan lambusango dengan luasan 65.000 ha, berdasarkan status kawasannya terdiri dari kawasan konservasi seluas 29.320 ha yang dibagi menjadi dua, yaitu cagar alam kakenauwe seluas 810 ha dan suaka margasatwa lambusango seluas 28,510 ha yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tenggara. Sedangkan 35.000 ha lagi merupakan hutan lindung dan hutan produksi yang dikelola oleh Pemerintah daaerah Buton. ^^

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *