Historia

Dilema Negara di Situs Ramsar

×

Dilema Negara di Situs Ramsar

Sebarkan artikel ini
Rawa Aopa ditetapkan sebagai situs ramsar dunia. foto: Joss

Para petugas Balai Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai benar benar dibuat tak berdaya oleh gelombang perambahan dan penguasaan lahan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, (TNRAW) oleh warga pendatang. Orang-orang yang merambah mengolah dan menanam di areal kawasan dengan tanaman perkebunan seperti kakao dan palawija tanpa sedikit pun peduli dengan himbauan larangan para petugas balai.

Gelombang besar perambahan ini sudah berlansung lebih dari satu decade dan rupanya tak lepas dari legitismasi politik para penguasa lokal. Tak heran sudah ada 96 desa dan satu kecamatan berdiri disepanjang kawasan itu. Setidaknya saat ini kurang lebih 3000 orang menduduki lahan di sana. Mereka bahkan telah membentuk pemerintahan otonomi desa dan kecamatan. Kecamatan yang dimaksud adalah Kecamatan Basala di Kabupaten Konawe Selatan. Legitimasi ini diperkuat dengan pengesahan oleh pemerintah kabupaten melalui persetujuan perwakilan rakyat setempat.

Menariknya, para perambah kawasan ini umumnya adalah orang-orang pendatang. Mereka menguasai lahan setelah melalui transaksi jual beli tanah.  Mereka bertransaksi layaknya pemilik lahan. Setiap orang bisa menguasai tanah berpuluh-puluh hektar. Mereka bertransaksi tanpa legitimasi pemerintah desa. Para oknum masyarakat, seolah tidak peduli dengan status tanah yang merupakan tanah Negara  dan tidak peduli dengan kehadiran petugas balai yang setiap hari melakukan patroli.

Tak ada cara lain bagi petugas balai taman, selain menegakkan aturan hukum. Dalam catatan sejarah penegakan aturan di kawasan ini, BTRAW mencatat sepanjang 2010 saja sedikitnya 100 orang ditangkap petugas dengan tuduhan merambah kawasan dan illegal logging. Sebagaian dari mereka bahkan telah melalui proses peradilan dan dijebloskan dalam tahanan. Bahkan awal 2011 silam petugas balai bersama aparat kepolisian membumihanguskan puluhan rumah kebun yang berdiri di dalam kawasan. Tapi ketegasan hukum tak juga membuat warga jera.  Dapat dibayangkan jika saja dilegalkan maka akan banyak sekali orang masuk menguasai lahan.

“Mengacu pada aturan, kawasan konservasi sesungguhnya tak boleh didiami manusia. Jika aturan ini ditegakkan, maka akan banyak orang yang ditangkap. Bisa-bisa penjara di Kendari ini akan penuh dengan para perambah,”kata Ajat mantan  Kepala Seksi Pengawasan Sektor Satu, Balai Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. .

Sejumlah wartawan lingkungan ditemani tiga petugas TNRAW pernah melihat langsung lokasi perambahan, tepatnya di Desa puriala, Kecamatan Angata, Kabupaten Konawe. Di sana para petugas menunjukkan sejumlah bukti berupa perusakan tapal batas hutan yang ditanam petugas yang diduga dilakukan oknum warga. Mereka sengaja merusak tapal ini untuk menguasai lahan di sana .

Sepanjang perjalanan wartawan juga menemukan areal perkebunan masyarakat dengan aneka jenis tanaman. Di lokasi itu dulunya hutan lebat, oleh karena aktifitas penggundulan dan pembakaran yang dilakukan oknum warga, hutan menjadi tandus. Yang tumbuh kini padang savanna. Sebagai langkah antispasi petugas kembali melakukan restorasi lahan hutan dengan melakukan penanaman aneka bibit pohon, diantaranya bibit sengon dan kayu jenis meranti.

Meski begitu, pihak Balai tak melulu melakukan pendekatan hukum dalam menyelesaikan problem dengan masyarakat, terutama warga yang telah lama berdiam di sepanjang kawasan.  Petugas tetap melihat historis keberadaan warga di sana, karena tidak bisa dipungkiri ada sebagain kecil masyarakat, telah lebih dulu ada dan bermukim di kawasan ini, dari pada penetapan kawasan taman sendiri.

Sebagai langkah penyelesaian, pihak balai kemudian melakukan zonasi khusus pada wilayah yang telah ditempati tersebut. “Bagi warga yang mencari ikan (nelayan), maka kami memberikan zonasi khusus berupa zona tradisional serta zona pemanfaatan untuk kepentingan pariwisata,”kata Khalid, mantan Kepala BTNRAW.

Tak cukup sampai disitu, keresahan juga menggelayut di wajah petugas BTNRAW kala pemerintah daerah (baik pemerintah daerah provinsi dan kabupaten)  seolah ‘berkolaborasi’ menurunkan status TNRAW dari status kawasan hutan konservasi menjadi hutan produksi terbatas, sebagaimana tertuang dari usulan Rencana Tata Ruang Tata Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Tenggara . “Mau bagaimana lagi, semuanya sudah kemauan orang-orang di atas,”ujarnya pelan. Sesekali ia menarik napas panjang bercerita panjang lebar tentang suka duka menjaga taman nasional.

Setali tiga uang, keprihatinan juga muncul , setelah petugas mendapati fakta mencengangkan terhadap ancaman serius yang dialami oleh TNRAW, dimana terjadinya aksi perambahan kawasan oleh oknum masyarakat untuk kepentingan lahan perkebunan serta pertambangan. Sedimentasi disebabkan adanya aktifitas penggundulan dan perusakan hutan di daerah hulu oleh masyarakat.

Kondisi ini membuat tingkat sedimentasi dalam ekosistem rawa semakin tahun semakin besar.  Pada tahun 2011 sedimentasi lumpur terus meningkat dan sebagain lahan basah telah menjadi lahan kering. “Tahun 1980-an dalamnya rawa mencapai 12 meter, dan pada hasil pengukuran terakhir tahun 2011 ini kedalaman tinggal 6 meter saja,”ungkap Ajat.

Kondisi ini tentu saja menjadi beban baru bagi TNRAW yang telah dinobatkan sebagai situs Ramsar dunia. melalui sebauah konvensi mengenai Lahan Basah, dan mulai berlaku untuk Indonesia pada tanggal 8 Agustus 1992.

Konvensi tentang Lahan Basah pertama kali berlangsung di Iran tahun 1971 dan disebut “Konvensi Ramsar”. Konvensi ini merupakan perjanjian antar pemerintah yang mewujudkan komitmen negara-negara anggotanya untuk menjaga karakter ekologis dari Wetlands International.

warga mencari ikan di rawa aopa. foto: Joss

Berbeda dengan konvensi lingkungan global lainnya, Ramsar tidak berafiliasi dengan sistem PBB Perjanjian Lingkungan Multilateral, tetapi bekerja sangat erat dengan MEA lain dan merupakan mitra penuh di antara cluster “keanekaragaman hayati” perjanjian dan kesepakatan.

Indonesia sendiri hingga saat ini telah memiliki 5 situs yang ditunjuk sebagai Wetlands International dengan luas permukaan 964.600 hektar, TNRAW adalah salah satunya.

Ditunjuknya TNRAW sebagai situs ramsar dunia, sebagai mana ditulis dalam Website Ramsar, tak lepas dari kondisi TNRAW yang merupakan salah satu kawasan konservasi yang paling penting di kawasan Wallacea, yang terdiri dari mangrove, padang rumput rawa gambut, hutan hujan dataran rendah tropis dan sub-montana hutan.

Situs ini kaya secara biologis, dengan lebih dari 500 spesies yang dicatat flora, 200 spesies burung, sebelas spesies reptil dan lebih dari 20 jenis ikan dan mamalia. Spesies endemik dan terancam banyak ditemukan di sini, dengan lebih dari 15 mamalia endemik Sulawesi seperti Anoa dataran rendah yang terancam punah (Bubalus depressicornis) dan rentan Sulawesi Luwak (Macrogalidia musschenbroeckii).

Taman ini merupakan persinggahan burung air bermigrasi penting untuk, dan mendukung populasi lebih dari 170 Sakti Bangau rentan (Mycteria cinerea) yang morethan tiga persen dari populasi dunia. Situs ini berisi habitat mangrove yang tersisa besar di Sulawesi Tenggara yang merupakan wilayah pembibitan penting dan pemijahan bagi ikan, udang dan kepiting.

Rawa-rawa dalam taman nasional (terutama Aopa Rawa Gambut) adalah pengatur penting dari air. Ini bertindak sebagai reservoir untuk air tawar, sedangkan run-off habitat membantu untuk mengontrol debit air. Rawa Aopa adalah lahan basah rawa gambut hanya mewakili di Sulawesi.

Ancaman ke situs ini termasuk pembalakan liar, perburuan burung air dan pengumpulan telur. Sebuah bagian dari Rawa Aopa sedang dikuras untuk mengarahkan air ke sekitar daerah-daerah pertanian.

Dampak paling serius dari berbagai tekanan yang dialami TNRAW saat ini adalah berpengaruh langsung pada ekosistem dalam kawasan. Praktik illegal logging, permbahan dan pembakaran menjadi ancaman paling nyata terhadapan keanekaragaman hayati di sana saat ini. Sebab taman nasional tak hanya rawa, melainkan memiliki kekayaan ekologis dengan tipe ekosistem berbeda seperti, ekosistem mangrove, savanna dan hutan dataran. Bentangan topografis bervariasi, mulai dari datar, bergelombang sampai berbukit.

Tekanan terhadap keberadaan taman nasional tentu saja dengan beragam kepentingan melatarinya. Dalam analisis kepentingan politik, pemerintah dan DPPRD sangat besar. Ini bisa jadi soal jaul beli suara pada setiap momen pemilu. Dan paling memprihatinkan lagi pemerintah telah melakukan pembiaran terhadap upaya pemilik modal sector pertambangan merambah kawasan TNRAW. Operasi pertambangan telah memasuki jauh ke jantung taman nasional dengan merusak kawasan hutan yang merupakan pertahanan terakhir sumber daya air. Kehadiran perusahaan-perusahaan tambang ini telah menimbulkan kecemasan besar dari warga dan pengelola taman nasional. Mereka berharap agar pemerintah daerah memberikan sikap tegas penolakan pada kehadiran tambang merambah kawasan taman nasional.

Luas ekosistem Rawa sendiri mencapai 24 ribu hektar, sedangkan savana sekitar 30 ribu hektar, dan ekosistem hutan mangrove (bakau) yang luasnya sekitar 6.000 hektar, setiap ekosistemnya memiliki potensi keanekaragaman hayati yang tinggi baik berupa flora (tumbuhan) maupun fauna (satwa).

Kondisi tersebut menyebabkan tingginya keanekaragaman hayati jenis flora dan fauna yang terdapat didalamnya. Sampai dengan tahun 2002 telah tercatat beberapa jenis satwa liar yang berhasil diidentifikasi. Dari kelompok mamalia sebanyak 23 jenis, reptilian 7 jenis, pisces 8 jenis, aves 2007 jenis, ampibi 4 jenis, insecta, dan lain-lain.

Berdasarkan data hasil survey inventarisasi yang sudah dilakukan hingga tahun 2002, setidaknya di kawasan TNRAW tercatat sebanyak 501 jenis tumbuhan dari 110 famili. Diantaranya terdapat beberapa jenis tumbuhan yang dilindungi seperti Damar (Agathis homii) dan Kasumeeto (Dyospyros malabarica).

Sedangkan satwa liarnya, telah tercatat kurang lebih 23 jenis mamalia (antara lain :Codot Roset Sulawesi, Kuskus Beruang, Monyet Digo, Musang Sulawesi, Babi Hutan Sulawesi, Anoa, Rusa/Jonga, serta memiliki kurang lebih 7 jenis reftil antara lain : Biawak, Bulus, Buaya Muara, Ular Sawah, Soa-Soa dan Tokek). Selain itu TNRAW juga memiliki kurang lebih 8 jenis Pisces antara lain :Tambakang, Gabus, Lele, 207 jenis aves seperti Maleo, Mandar Dengkur, Kakatua Kecil Jambu Kuning dan 4 jenis amphibi dan jenis-je nis insecta.

Keanekaragaman tumbuhan di dalam kawasan ini sangat menonjol yaitu setidaknya tercatat 89 famili, 257 genus dan 323 spesies tumbuhan, diantaranya lara (Metrosideros petiolata), sisio (Cratoxylum formosum), kalapi (Callicarpa celebica), tongke (Bruguiera gimnorrhiza), lontar (Borassus flabellifer), dan bunga teratai (Victoria spp.).

Jenis primata yang ada yaitu tangkasi/podi (Tarsius spectrum spectrum) dan monyet hitam (Macaca nigra nigra). Satwa langka dan dilindungi lainnya seperti anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis), anoa pegunungan (B. quarlesi), soa-soa (Hydrosaurus amboinensis), kuskus kerdil (Strigocuscus celebensis celebensis), rusa (Cervus timorensis djonga), babirusa (Babyrousa babyrussa celebensis), dan musang Sulawesi (Macrogalidia musschenbroekii musschenbroekii).

Dari sekian banyak jenis satwa yang mendiami areal Taman Nasional Rawa Watumohai, setidaknya terdapat 2 jenis satwa khas endemik Sulawesi yaitu Anoa (Bubalus sp) dan Maleo (Macrocephalon maleo). Selain itu masih banyak jenis satwa lain yang merupakan satwa endemik Sulawesi yang terdapat di areal TNRAW. Inilah yang melatar belakangi sehingga Rawa Aopa Watumohai ditetapkan sebagai Taman Nasional.

Rawa Aopa yang ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 756/kpts-II/1990 ini, telah ditata batas sejak tahun 1985 s/d 1987, dengan panjang batas keseluruhan 366.647 km yang terletak di empat wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Konawe, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Konawe Selatan, dan Kabupaten Bombana.

Minimnya jumlah petugas menjadi problem tersendiri menjaga luasnya kawasan TNRAW. Saat ini seluruh personil Balai TNRAW hanya ada 30 petugas polhut dan enam orang staf kantor.

Dengan luas kawasan 105.000 hektar maka dari julah petugas yang ada tentu tidak sebanding, yang artinya seorang petugas polhut harus menjaga 3500 hektar. Padahal idealnya satu petugas harusnya menjaga 900 Hektar pada kondisi taman yang sudah lengkap sarana dan prasarana sebagaimana yangberlaku di sejumlah taman nasional di pulau Jawa. Sungguh suatu ironi.

***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *