Jelajah

Menyusuri Rawa Terbesar di Dunia

×

Menyusuri Rawa Terbesar di Dunia

Sebarkan artikel ini
Wakil Bupati Konawe Selatan, Rasyid, Sos MSi, bersama Kepala Resort Rawa Aopa melepas ikan di rawa aopa. Foto:Joss

Saya dalam perjalanan akhir pekan melintasi Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Bergabung dalam rombongan besar organisasi Bripala Green bersama Wakil Bupati Konsel, Bapak Rasyid SSos MSi yang juga pembina penasehat organisasi ini untuk kegiatan pelestarian lingkungan berupa pelepasliaran ikan air tawar di zona rawa aopa. Ini adalah aksi kedua setelah sebelumnya ngecamp plus menanam pohon di puncak puupi akhir Oktober 2021 lalu.

Perjalanan kali ini, Kami melihat warisan tradisi di sepanjang susuran rawa besar ini. Di mana suku tolaki dengan kekayaan tradisi dan budaya mereka yang masyhur dapat hidup berdampingan dengan rawa besar. Suku tolaki, suku mayoritas yang leluhur mereka berada di daratan konawe. Banyak dari mereka adalah petani, nelayan, peternak sapi dan kerbau mendiami kawasan subur di sepanjang rawa aopa. Kawasan yang menjadi berkah sekaligus ruang hidup bagi mahluk hidup di sekitarnya.

Rawa aopa situs ramsar terbesar dunia. Foto : joss

Rawa aopa yang masuk dalam situs ramsar dunia terbesar ke dua dunia ini mengairi hampir separuh wilayah daratan sulawesi tenggara yang memiliki sumbernya dari kawasan gambut. Luasnya mencapai 12.000 hektare yang berada di wilayah administratif empat kabupaten di sulawesi tenggara.

Rawa Aopa terletak di zona tradisional yang didalamnya terdapat aktifitas masyarakat untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam secara tradisional seperti penangkapan ikan dan pengambilan tumbuhan rawa (totole) untuk bahan anyaman tikar.

Tipe ekosistem Rawa Aopa merupakan tipe vegetasi rawa gambut terluas di daratan Sulawesi. Kombinasi unsur lingkungan yang terdapat pada Rawa Aopa meliputi penutupan badan air oleh vegetasi yang lebih dari 90%, material dasar rawa yang bergambut dan topografi disekitarnya yang berupa gugusan perbukitan, secara akumulatif telah menciptakan kondisi pengendalian tata air (hidrologi) yang sempurna bagi keseimbangan ekosistem daratan Sulawesi Tenggara secara umum. Kondisi tersebut juga merupakan habitat ideal bagi berbagai jenis burung air dan burung migran yang berjumlah 23 spesies.

Ada banyak desa yang berdampingan dengan rawa aopa, salah satunya Desa Pewutaa berada di sisi Timur Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW), desa ini menjadi pembatas kawasan konservasi dengan batas administrasi kabupaten konawe selatan sekaligus batas hunian masyarakat. Desa berada paling ujung di Konawe Selatan bagian barat yang berbatasan dengan kabupaten tetangga, konawe. Mayoritas penduduknya beretnis tolaki. Mereka diperkirakan mendiami kawasan pewutaa jauh sebelum sebelum jaman kemerdekaan.Jumlah penduduknya mencapai 1038 jiwa atau 3 persen dari jumlah penduduk Kecamatan angata sebesar 17.183 jiwa.

Pulau harapan berupa delta di rawa aopa. Foto:joss

Bagi masyarakat sekitar khususnya di desa pewutaa, keberadaan rawa secara tidak langsung telah memberi warna berbeda dalam tatanan sosial, budaya dan ekonomi sehingga menjadi karakter pembeda dengan masyarakat lainnya. Dalam tatanan sosial, seiring dengan perubahan waktu jumlah masyarakat yang mengakses sumber daya alam semakin meningkat sehingga tercipta komunitas dengan aturan atau kearifan lokal tertentu. Hingga saat ini, keberadaan rawa dapat mempengaruhi terbentuknya komunitas masyarakat diantaranya: perajin tikar pandan rawa (totole), nelayan, pengasapan ikan air tawar (skala rumah tangga), pembudidaya ikan air tawar dan pengusaha warung.

Dari unsur budaya, keberadaan rawa banyak memberi pengaruh dalam hal pemanfaatan sumber daya alam. Dengan pengetahuan local yang dimiliki, rutinitas penangkapan ikan secara tradisional telah membudaya secara turun temurun seperti teknik memancing (molonduri), membubu, memukat, menjala dan menangkap langsung dengan tangan (mekaroro). Hasil tangkapan umumnya dijual langsung melalui pengepul atau diecer, namun tidak sedikit pula yang melakukan pengolahan setengah jadi melalui teknik pengasapan dengan tujuan meningkatkan nilai jual dan pengawetan. Jenis budaya lain yang tidak kalah uniknya adalah melalui kerajinan tikar pandan rawa, masyarakat menjadikan tikar tersebut sebagai salah satu persyaratan dalam prosesi pernikahan.

Nelayan rawa aopa mencari ikan. Foto: Joss

Kami bertemu dengan pak Rafi salah satu nelayan tangkap yang tengah mrncari ikan di sana. Pria muda itu menangkap ikan menggunakan bubu dan pukat tanam dan dalam sehari mampu memperoleh 10 kg ikan. Rafi adalah satu dari puluhan nelayan dari tiga desa sekitar rawa yang kini bergantung pada ekosistem rawa aopa. Mereka tergabung dalam kelompok nelayan yang setiap kelompok menaungi 20 orang nelayan. Informasi dari petugas resort rawa aopa setidaknya ada 3 kelompok yang secara resmi terdaftar beraktifitas mencari ikan di zona pemanfaatan. Mereka hanya diijinkan beraktifitas dengan menggunakan peralatan tangkap tradisional seperti alat bubu dan pukat pasang agar kelestarian lingkungan tetap terjaga.

“Demi kelangsungan hidup ekosistem rawa, Saya bersama kepala resort rawa aopa dan kepala desa pewutaa melepasliarkan ikan di rawa aopa sebagai upaya pelestarian jenis ikan air tawar khas rawa aopa,”kata Rasyid, Wakil Bupati Konsel. Menjelang sore, Kami mengakhiri petualangan di rawa dan selanjutnya menuju puncak angata untuk melihat kabut menaungi rawa aopa dari ketinggian.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *