Kultur

Mengenal Tradisi Turun Temurun Masyarakat Tolaki, Ini Cerita Molupai

×

Mengenal Tradisi Turun Temurun Masyarakat Tolaki, Ini Cerita Molupai

Sebarkan artikel ini

Molupai merupakan tradisi turun temurun yang sudah dilakoni masyarakat tolaki sejak lama. Warga setempat menyebut molupai atau menangkap ikan dengan metode peracunan. Sebagian warga juga biasa menyebut Monduba. 

===================

Hari melewati waktu Dhuhur saat motor dan mobil beriringan melewati jalan tak beraspal di Desa Mendikonu, Kecamatan Amonggedo, Kabupaten Konawe. 15 menit berlalu, Iring-iringan kendaraan ini berhenti di tepi hutan desa. Puluhan penumpang yang terdiri orang dewasa, remaja dan anak-anak satu persatu  turun, berikut barang seperti kompor, galon air, tikar dan bahan logistic lainnya. Rombongan ini kemudian mulai berjalan mengangkut barang  melewati jalan setapak sejauh  seratus meter hingga mencapai tepi sungai. Di sana ternyata sudah ada sejumlah orang yang telah menunggu sejak tiga jam lalu. Ada yang duduk santai dan sebagian orang lagi sudah masuk dalam sungai untuk memasang jaring ikan. Mereka memasang pukat atau jaring membelah badan sungai yang lebarnya mencapai 30 meter.

Kedatangan warga ke tepi sungai ini adalah kali ke tiga menjelang akhir tahun 2022. Mereka melakoni satu tradisi leluhur yang disebut molupai.  Tradisi menangkap ikan yang didahului dengan melepas semacam bubuk alami yang dibuat dari bahan akar pohon tuba, tumbuhan local yang banyak terdapat di kawasan hutan meluhu. Ini semacam “racun” tapi tak lantas membuat ikan mati, melainkan Ikan hanya mabuk atau pingsan sesaat. Karena itu saat tradisi menebar tuba berlangsung, orang yang ikut tidak boleh ribut apalagi sampai menyentuh air di sepanjang sungai, sebab, diyakini ikan akan kembali sadar dan dijamin hasil akan nihil. “Jadi selama prosesi menebar tuba, orang yang ikut proses molupai tidak boleh ribut dan tidak boleh menyentuh air sungai,”kata Paitua, ketua kelompok molupai asal Desa Mendikonu, Kecamatan Amonggedo, Kabupaten Konawe.

Untuk lokasi atau tempat melepas tuba/racun berada sekira 1 KM dari lokasi pemasangan jaring. Biasanya lokasi dijangkau menggunakan perahu bermesin tempel.  “Kalau jalan agak jauh dan butuh waktu untuk tiba kembali ke lokasi atau tempat pemasangan jarring. Begitu pula, orang yang menebar tuba, dibutuhkan orang khusus yang sudah sangat dipercaya Paitua. “Tidak sembarang orang bisa melepas tuba, karena ada cara atau tekniknya, jadi harus orang yang sudah terbiasa,”katanya.

Tuba yang dilepas inilah yang dibiarkan hanyut di sepanjang sungai, dengan harapan ikan-ikan yang berada dalam sungai akan mabuk dan pingsan yang kemudian akan masuk ke dalam jarring yang telah dipasang di hilir sungai. Penggunaan jaring juga tidak sembarang karena harus disesuaikan ukuran  badan sungai serta diameter jarring yang kecil agar ikan tidak mudah lolos. Untuk jarring ini ternyata dibuat penampang di bagian tengah  sepanjang 5 meter yang berfungsi sebagai perangkap sekaligus untuk menampung ikan yang sudah pingsan.

Sungai tempat menebar tuba adalah Sungai Analahumbuti, sungai yang masuk kategori sungai besar yang mengalir di sisi selatan desa Mendikonu. Aliran sungai ini juga melintasi desa-desa lainnya di Kecamatan Amonggedo, Pondidaha, Wonggeduku  dan Kecamatan Anggotoa Kabupaten Konawe. Di Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Sulawesi Tenggara, Analahumbuti dikategorikan sebagai Sub DAS Konaweeha yang membentang sejauh 30 KM yang merupakan percabangan dari Sungai besar Konaweeha yang berhulu di Kabupaten Kolaka. Sungai melintasi kawasan pemukiman penduduk di Kabupaten Konawe dan  sejak lama menjadi sumber kehidupan sebagian masyarakat yang bermukim di sepanjang alirannya. Salah satunya adalah masyarakat di Desa Lahumbuti dan Amonggedo.

Bergotong Royong

Tradisi Molupai punya nilai kearifan local. Dimana masyarakat masih mempertahankan kebersamaan, kekeluargaan dan bergotong royong.  Ini terlihat sejak sebelum prosesi dimulai, warga telah berkumpul merencanakan kegiatan ini, ada yang mempersiapkan hidangan makanan hingga kebutuhan acara. Mereka pun urun rembuk bersama mengumpulkan dana untuk kegiatan. Dana yang terkumpul dipersiapkan untuk membeli kebutuhan seperti jaring, bahan tuba hingga bahan perbekalan atau logistic berupa bahan makanan/minuman selama tradisi molupai digelar. Dana yang terkumpul sekali menggelar molupai bisa mencapai 5-10 juta rupiah, tergantung berapa banyak orang yang ikut. Biasanya, penyumbang dana yang banyak akan memperolah hasil pembagian ikan yang besar pula. “Ini sudah kesepakatan bersama,”kata Paitua.

Membagi Ikan dengan adil

Ikan yang diperoleh lalu dikumpul di lokasi yang datar di pinggir sungai. Ini artinya, saatnya pembagian hasil. Kemudian Ikan-ikan hasil tangkapan di simpan di tanah dengan cara ditampung terpisah,  lalu Paitua membaginya dengan memisahkan jatah tampungan ikan untuk setiap orang. “Setiap orang mendapat satu tumpukan ikan,”katanya. “Begitu pun soal ukuran dan jumlah ikan harus dibagi secara adil,”tambahnya. Untuk ikan yang ukurannya besar dan memiliki telur,Paitua membaginya dengan cara  memotong ikan dan ukuran potongan ikan harus sama besarnya. “Ya ada yang dapat kepala, badan dan ekor,”ujarnya tersenyum.   Yos Hasrul

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *