NELAYAN di Teluk Kalo-Kalo, Kecamatan Lainea, Kabupaten Konawe Selatan memiliki kearifan local dalam melestarikan lingkungan. Mereka membudidaya kawasan yang kritis dengan menanami bibit mangrove. Praktik ini selain sebagai langkah penyelamatan kawasan mangrove yang rusak akibat pembalakan liar, juga sekaligus mengembalikan kelestarian hutan mangrove Kalo-kalo.
Ridwan (50) menambatkan perahunya di pinggir dermaga desa dekat hutan mangrove. Satu per satu isi sampan diturunkan, dari jerigen kosong hingga jarring bubu atau alat penangkap kepiting. Pria parubaya itu baru saja tiba dari mengambil jarring bubu kepiting yang sejak semalam di pasangnya. Hasilnya lumayan, setiap bubu berisi antara tiga sampai lima ekor kepiting bakau.
Jaring bubu telah umum digunakan para nelayan di sana. Nama alat tangkap tradisional ini sebenarnya bermacam-macam, ada yang menyebut badong atau wadong yang dapat digunkan setiap saat karena bersifat pasif. Sedangkan alat tangkap pancing atau caduk dan bangkol, beroperasi pada siang hari, namun apabila hendak digunakan pada malam hari dilengkapi dengan penerangan (lampu atau obor).
Usai menurunkan peralatan, Ridwan kemudian menambatkan perahunya di pinggir bersama delapan sampan lain. Sampan-sampan di desa ini memang tak sembarang ditambatkan. Sudah kesepakatan bersama, para nelayan harus memarkirkan sampan dengan tertib agar tidak menghalangi perahu nelayan yang akan keluar beraktifitas mencari kepiting.
Sampan-sampan berbagai ukuran itu diparkir berderet sesuai selter yang sudah dibuat masing-masing pemilik. Selter sampan terbuat seadanya dari tiang berukuran kecil dengan atap rumbia yang dipasang seadanya. “Dibuat tiang pelindung biar sampan tidak hanyut terbawa arus. Diberi atap agar terlindung dari panas matahari dan hujan,”kata Ridwan menjawab pertanyaan.
Hutan mangrove Kalo-kalo merupakan berkah bagi nelayan desa. Lebih seperempat abad warga bergantung hidup dengan memanfaatkan kawasan hutan mangrove sebagai lokasi budidaya kepiting bakau. Mereka mengambil kepiting sekedarnya, hanya untuk kebutuhan makan dan selebihnya untuk dijual ke pengumpul demi menyekolahkan anak dan kebutuhan hidup.
Kendati sudah menjadi tempat menggantungkan hidup oleh warga setempat, namun beradaan kawasan hutan mangrove di Teluk Kalo-kalo tak lepas dari praktik jual beli kawasan oleh oknum. Kawasan ini terus terdesak oleh kehadiran para pembalak hutan mangrove untuk alih kawasan .
Praktik jual beli tanah yang dilegitimasi oleh oknum telah lama berlangsung. Ini terbukti jika kawasan hutan lindung ini sudah beralih menjadi kepemilikan pribadi oleh oknum tertentu.
“Kawasan di sini sudah banyak yang dimiliki oleh pendatang khususnya oknum pejabat maupun oknum penegak hokum, mereka mengaku memiliki lahan hingga belasan hektar dan konon sudah mengantongi ijin. Namun untuk kebenarannya Kami juga tidak yakin karena setau kami ini kawasan hutan yang dilindungi Negara,”kata Usman.
Sayang jika praktik jual beli kawasan ini tidak awasi, sebab, bukan tidak mungkin akan terus memperparah kerusakan kawasan hutan mangrove di kawasan ini. Seperti diketahui luas kawasan hutan mangrove di teluk kalo-kalo sendiri mencapai 300 Hektar terletak di wilayah Kecamantan Lainea, Kabupaten Konawe Selatan. Daerah terluar Kabupaten Konawe Selatan ini berbatasan dengan wilayah Kabupaten Muna. (Josh)