Historia

Mari Belajar dari Nglanggeran

×

Mari Belajar dari Nglanggeran

Sebarkan artikel ini
Suasana desa wisata namu dengan keindahan pantainya yang mempesona. foto: Joss

Pernah ke Nglanggeran ? Pernah ke gunung kidul? Ke Jogja? Kalo dengar gunung kidul maka kita akan mendengar cerita tentang tanah yang tandus, cerita tentang  kemiskinan, dan semua yang berbau miris.    20 tahun lalu Gunung kidul hanyalah kabupaten dengan julukan miskin dan tidak berpotensi sama sekali. Masyarakatnya kebanyakan hanya menjual ubi kayu, karena itu angka kemiskinan sangat mencolok di daerah ini.

Dalam dokumentasi rona awal gunung kidul benar-benar terlihat memprihatinkan. Dari jogya sekitar 45 menit dari bandara jogyakarta. Awalnya dinilai tidak ada potensi, (Sugeng: mainset /sudut ini yang harus diubah, semua daerah pasti punya potensi untuk dikembangkan sebagai daerah wisata, hanya saja dalam menyentuh potensi tersebut yang kurang maksimal dan tidak kreatif), namun setelah dikelola barulah terlihat desa nglanggeran dan gunung kidul punya potensi yang cukup luar biasa terutama terkait konservasi alamnya.    Kedua, adalah tahapan pengelolaan SDM, “Ini kunci dari pengelolaan desa wisata, dimana kita harus benar-benar mempersiapkan tahapan penguatan kapasitas SDMnya dan  tahapan kelembagaannya,”kata Sugeng.

Turis asing di Desa Wisata Namu. foto: Joss

Sugeng adalah pemuda yang lahir dan besar di Desa Nglanggeran dan aktif diberbagai organisasi kepemudaan dan punya jiwa kreatif mengawinkan antara potensi alam dengan kewirasausahaan desa. Sugeng dan kawan-kawan mencoba merubah daerah yang terkenal dengan ketandusannya, kondisi miskin dan semua yang berkonotasi negative diubah menjadi sebuah destinasi wisata. Saya bertemu Sugeng saat pelatihan pengelolaan destinasi desa wisata yang diselenggarakan Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Tenggara, medio 2019 lalu. Usai pelatihan Kami diskusi banyak seputar lika liku mendampingi desa wisata, kiat dan tantangan serta daya survive untuk tetap bertahan di desa selama bertahun-tahun.

Cerita Sugeng, saat pertama kali, masyarakat Nglanggeran belum yakin jika kepariwisataan Desa Ngalanggeran akan bisa menopang ekonomi keluarga, “Ah masak dengan pariwisata kita bisa dapat duit? Kalo mau dapat duit, ya harus nanam singkong, kerja sawah atau cari kayu bakar saja,” begitulah pikiran masyarakat awal Ngalanggeran saat pertama kali diajak mendorong kepariwisataan mereka. Namun, pemahaman ini berangsur hilang seiring dengan banyaknya wisatawan yang datang ke desa ini.  Rumah makan ramai, Homestay mulai penuh, transportasi lancar. Tak hanya  ekonomi, perlahan nilai konservasi pun kian kuat di hati masyarakat.

 

Membangun Desa Wisata Namu

 

Semangat Sugeng dan pemuda Ngalnggeran juga pernah dilakukan  komunitas ruruhi project dengan mendorong kepariwisataan desa di Konawe Selatan. Komunitas yang digawangi berbagai latarbelakang profesi ini memilih Desa Namu di Kecamatan Laonti sebagai wilayah dampingan. Datang, berpikir dan bekerja, menjadi motto mereka menebar virus kebaikan untuk desa namu.

Komunitas ruruhi dan kelompok sadar wisata namu bekerja sama membangun desa wisata. foto: Joss

“Tahun pertama, Kami bekerja berat bagaimana merubah mainset masyarakat Namu agar mau membangun desa mereka menjadi daerah wisata. Kami bertemu mereka dan terus menerus bertukar informasi,”cerita Fior.

“Sebagian besar menerima, dan sebagian kecil saja yang ogah-ogahan, mungkin belum yakin saja. Apalagi didukung besar oleh kepala desa yang menjadi ujung tombak perubahan, menjadi harapan warga keluar dari kesulitan ekonomi selama ini,”mengisahkan.

Jauh sebelum komunitas ruruhi masuk, dulu ada idiom berlaku jika daerah Laonti  itu adalah penjara bagi para PNS di konawe Selatan. PNS yang melawan kebijakan bupati penguasa maka akan berakhir di tempat ini. Mereka diasingkan atau kasarnya dibuang ke daerah terluar dan sulit transportasi. “Singkatnya, apa yang Kami lakukan di Namu perlahan mengubah citra buruk itu menjadi lebih positif. Laonti tak lebih dari gadis cantik yang tidak didandan saja sudah terlihat kecantikannya,”ungkap Fior.

Komunitas ini dari awal sudah melihat banyak yang kejanggalan di sana, tertutupnya akses infomasi dan narasi negative tentang Laonti rupanya tak lebih karena basa basi dan  kental nuansa politik dari para pengambil kebijakan kala itu, yang sebenarnya mencoba mengekploitasi sumber daya alam Laonti yang luar biasa besar, salah satunya eksploitasi untuk industry ektraktif. Jadilah Laonti menjadi lahan kepentingan antara perusahaan tambang dan penguasa (bupati) kala itu.

Dusun poleloa di Desa wIsata Namu. foto: Joss

Sayang apa yang dilakukan komunitas ruruhi di Namu, tak sesukses yang dilakukan Sugeng dkk di Nglanggeran. Ada banyak perbedaan terutama soal kepedulian pemerintah desa dan budaya kerja masyarakatnya yang jauh antara keduanya.

Berkat kerja keras Sugeng bersama masyarakat, Nglanggeran diganjar sebagai desa wisata terbaik di ASEAN untuk kategori pariwisata keberlanjutan dan Desa Ngalanggeran masuk 100 desa wisata terbaik dunia. Nglanggeran pernah beberapa kali meraih penghargaan baik tingkat local maupun nasional. Mereka kini tengah menatap penghargaan berskala internasional, yakni menjadi desa wisata terbaik di dunia yang bersaing dengan lima Negara dengan destinasi wisata desa terbaik.

“Ingin seperti Ngalanggeran iya dan pasti sangat membanggakan. Saat mendampingi Namu, Kami memang tak berharap banyak soal penghargaan apalagi membawa desa meraih predikat terbaik   dalam ajang perlombaan. Bagi Kami Membawa Namu berstatus desa wisata saja sudah cukup membuat Kami senang,walau  kami tau itu masih jauh dari kata membanggakan,”beber Fior.

“Tetapi tekat Kami agar masyarakat Namu memenangkan perlawanaan mereka atas tanah, lingkungan dan sejahtera di tanah mereka sendiri, itu mimpi Kami sejak awal yang Kami damba-dambakan, hanya saja belum kesampaian,”tutupnya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *