Environment

Kima, “Pahlawan Laut” yang Belum Terlindungi

×

Kima, “Pahlawan Laut” yang Belum Terlindungi

Sebarkan artikel ini
Dokumen Foto Toli Toli Labengki Giant Clam Conservation

MUNGKIN banyak orang yang belum mengetahui apa itu Kima. Di kalangan masyarakat pesisir, Kima dikenal dengan sebutan kerang rasksasa. Hewan tersebut merupakan salah satu jenis biota laut yang dilindungi diseluruh dunia karena fungsinya sangat vital. Ia menjadi filter alami di lautan sehingga kebersihan laut tetap terjaga.

Saat makan, hewan itu menyedot air laut dan menyerap planton dengan segala jenis kotoran. Setelah itu, air laut dikelurkan kembali dalam kondisi yang steril. Peran Kima tersebut sangat penting bagi keberlangsungan hidup terumbu karang maupun biota laut lainnya. Disamping itu, telur Kima juga menjadi sumber makanan bagi ikan-ikan di laut.  Karena fungsinya itu, Kima  dijuluki sebagai ‘pahlawan laut’.

Kima yang berhasil didokumentasikan Toli Toli Labengki Giant Clam Conservation

Bukan hanya bagi biota laut, Kima juga ternyata mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi bagi manusia. Secara tradisional, hewan itu dimanfaatkan oleh penduduk sekitar pantai sebagai bahan makanan dan bahan bangunan. Seiring dengan perkembangan zaman, hewan yang  hidup didaerah tropis itu, kini menjadi komoditas ekspor di berbagai negara termasuk Indonesia. Karena disamping dapat dijadikan sebagai souvenir maupun hewan aquarium, ternyata daging Kima juga mengandung protein dan memiliki harga jual yang tinggi di pasar internasional, yaitu mencapai 1,3 juta lebih per kilo gramnya. Sehingga banyak nelayan lokal maupun nelayan asing tergiur untuk berburu biota laut yang hidup di daerah tropis itu.

Eksploitasi tanpa bataspun tidak bisa terhindarkan. Apalagi eksploitasi yang dilakukan tersebut tak sebanding dengan laju pertumbuhan Kima yaitu  sekitar 2-12 cm setiap tahunnya, artinya untuk tumbuh hingga satu meter dibutuhkan waktu hingga puluhan tahun. Akibatnya, hewan yang hanya terdapat dipuncak gunung laut itu  berada dalam ancaman kepunahan. Dengan kondisi demikian, maka kehidupan ekosistem di lautpun berada dalam ancaman kehancuran.

Ketua Tim Konservasi Kima Taman Laut Toli-toli, Habib Nadjar Buduha menuturkan, tingginya perburuan liar terhadap biota laut tersebut merupakan persoalan klasik yang menggambarkan kelemahan dari aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah. Buktinya,  seiring dengan munculnya PP No 7 tahun 1999 tentang jenis Kima yang dilindungi, justru perburuan liar (pemboman dan pembiusan) semakin marak. Padahal, dalam ketentun tersebut ditegaskan, oknum yang melakukan eksploitasi terhadap hewan yang dilindungi itu akan akan di sanksi pidana.

“Tapi sampai hari ini masih banyak nelayan nakal yang melakukan perburuan liar, tentu saja ini karena lemahnya pengawasan pemerintah,” paparnya.

  

Konservasi

Sungguh ironis, lima tahun silam Desa Toli-toli Kecamatan Lalonggasumeeto Kabupaten Konawe,  merupakan daerah yang memiliki kawasan laut yang tandus alias rusak. Berbagai biota laut (termasuk Kima) di daerah itu tidak ditemukan lagi. Kala itu, yang tersisa hanyalah cangkang Kima yang bertebaran di pingir pantai maupun di pekarangan rumah warga. Akibatnya, aktivitas masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya di laut pun lumpuh. Padahal sebelumnya, daerah tersebut memiliki kekayaan laut yang berlimpah ruah, karena pernah menjadi habitat berbagai jenis kerang raksasa.

Kima hasil dokumentasi Toli Toli Labengki Giant Clam Conservation

Berangkat dari sebuah keprihatinan, sejak bulan Oktober 2009, sekelompok nelayan di desa kecil, pesisir bagaian utara Kota Kendari itu, tergugah untuk melakukan upaya penyelamatan Kima dari kepunahan, melalui kegiatan konservasi yang di kelola secara swadaya. Mereka tergabung dalam Tim Konservasi Taman Laut Toli-toli yang di nakodai Habib Nadjar Buduha. Di tiga bulan akhir tahun 2009 lalu, mereka secara rutin melakukan pemantauan berbagai lokasi yang menjadi habitat Kima. Tim konservasi tersebut melakukan penyelaman Kima dengan mengarungi samudra dan mencari puncak-puncak gunung laut di bagian utara Sulawesi Tenggara (Labengki, Konawe Utara), hingga kebagaian timur lautan Sulawesi Tengah. Karena diera saat ini, pada lokasi itu saja Kima dapat ditemukan, sedangkan Pada kawasan pinggir pantai dan pulau umumnya sudah tidak ditemukan lagi, karena maraknya praktek perburuan.

Dengan penuh keterbatasan, mereka nekad mengarungi lautan selama 20 jam dengan kapal tradisional. Disamping itu, mereka juga harus menyelam hingga kedalaman 10 sampai 20 meter. Ironisnya lagi, faslitas alat selam yang mereka miliki bukanlah fasilitas yang memadai. Mereka hanya menggunakan satu unit kompresor tambal ban dan selang. Kompresor tersebut stand bay di atas kapal. Bila hendak akan menyelami Kima,  kompresor dibunyikan dan disambungkan sebuah selang panjang untuk menghantarkan angin di dalam laut yang digunakan sebagai alat pernafasan. Peralatan selam tersebut bukanlah alat selam yang baik dan sehat. Akan tetapi mereka tidak memperdulikan itu, yang penting bagi mereka adalah bagaimana mengumpulkan dan menyelamatkan Kima sebanyak-banyaknya.

“Karena jika Kima-kima tersebut tidak diselam, maka tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab akan mengambilnya dan Kima-kima tersebut akan hilang di dunia ini untuk selamanya dan generasi kita nanti pasti hanya melihat cangkangnya saja,” kata Habib Nadjar Buduha.

Setiap kali melakukan penyelaman, mereka membawa pulang sekitar 50 ekor Kima setiap harinya. Kima-kima tersebut kemudian di relokasi ke wilayah konservasi yang mereka buat sendiri di Desa Toli-toli, Kecamatan laolnggasumeeto, Kabupaten Konawe. Biotal laut yang terancam punah itu ditata dengan baik dan dibiarkan hidup bebas. Bukan hanya Kima hidup yang mereka kumpulkan, sisa-sisa cangkang Kima pun mereka selamatkan baik yang berukuran kecil maupun besar dan di tampung di rumah atau basecamp konservasi.

Dalam perjalanan konservasi yang dilakukan, di temukan 2 jenis Kima karang yang tidak pernah ditemukan di Indonesia sebelumnya. Kedua jenis Kima itu adalah Kima spesies super raksasa mirip dengan Tridagma Tevoroa, yang hanya ditemukan di Kepulauan Viji dan Tonga di Samudera Pasifik dan spesies Kima sisik yang mirip dengan spesies Tridagna Costata yang hanya ditemukan di Laut Merah. Kedua Kima tersebut untuk sementara diberi nama Kima Boe.

Penemuan Kima Boe tersebut merupakan  prestasi dunia yang ditorehkan oleh tim konservasi itu. Terlebih lagi, Kima spesies baru ini mencatat rekor sebagai Kima Super Raksasa Terbesar ke dua di Dunia  dengan ukuran 55,5 cm, setelah Tridacna Gigas (Kima Raksasa) yaitu 137 cm. Dengan penemuan tersebut, disamping menjadikan Indonesia memiliki aset biota laut terbaru tingkat dunia, juga telah menambah spesies Kima, yang semula hanyai 7 spesies, kini menjadi 9 spesies. Dengan demikian, tim konservasi tersebut telah membuat Indonesia memiliki spesies Kima terbanyak di dunia.  Bahkan kini sekitar 80 ribu lebih ekor Kima telah mereka tempatkan di kawasan konservasi Taman laut Toli-toli.

Dengan segala penemuan itu, area Konservasi Kima Toli-toli mestinya sudah harus  mendapat penataan aspek legal (zona konservasi resmi). Namun pemerintah masih terkesan acuh dan seola mengabaikian potensi itu. Buktinya, program pemeritah tak ada satupun yang bersentuhan dengan konservasi Kima. Ironisnya lagi, program rehabilitasi terumbu karang yang dilakukan oleh pemerintah belum mengikutsertakan Kima sebagai unsur penting didalamnnya.

“Padahal kehadiran Kima pada kawasan terumbu karang sangtalah penting. Ini menunjukkan, pengetahuan tentang Kima masih dalam kategori “rimba raya,” ujar Habib dengan nada miris.

Yang lebih memprihatinkan lagi kata dia, berbagai pandangan miring justru datang menghampiri tim konservasi terkait upaya itu. Akan tetapi, hal itu disikapi secara bijak, karena pada intinya kata  Habib, Kima  merupakan sesuatu yang baru di Indonesia. “Kalaupun ada persoalan itu tidak kami anggap sebagai hambatan. Kalau kita pikir hambatan, kita tidak akan bergerak apalagi kalau tidak berbuat sekarang dan mengharapkan bantuan, Kima nya pasti sudah habis duluan,” ungkapnya.

Program Kementerian Kelautan di Acuhkan

Tim konservasi Kima Toli-toli tersebut sampai hari ini masih belum mendapatkan perhatian dari pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten. Buktinya, program Pemda khususnya bidang kelautan belum pro terhadap lingkungan, apalagi upaya untuk memperluas kawasan konservasi perairan. Padahal keberadaan kelompok tersebut memiliki visi untuk konservasi penyelamatan ekosistem laut.  Hal tersebut sejalan dengan program pemerintah pusat, melalui Kementrian Kelautan yang menargetkan 20 juta hektar kawasan konservasi perairan hingga pada tahun 2020 mendatang. Hal tersebut diakui oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tenggara, Askabul Kijo. Menurutnya, pemerintah saat ini belum fokus dengan persoalan pengelolaan lingkungan. ‘Padahal seharusnya pengelolaan lingkungan merupakan hal yang terpenting.  Tetapi pemerintah masih difokuskan pada pembangunan fisik dan belum terfokus dengan persoalan lingkungan,” paparnya.

Kendati demikian, pihaknya akan terus berupaya untuk memperluas daerah konservasi perairan di Sultra, khususnya pada daearah yang memiliki habitat  yang sudah masuk dalam kategori kritis. Dari sejumlah daerah yang akan direncanakan untuk dilakukan konservasi, Konawe Utara tidak tergolong didalamnya. “Tahun ini memang kita perluas sebanyak tiga daerah mulai dari Kota Kendari, Konsel dan Konawe,” terangnya.

Kendati ada perluasan kawasan konservasi itu, ternyata Kima tidak tergolong didalamnya sebagai spesies yang akan di lakukan upaya perlindungan. “Kita memang ada perencanaan untuk upaya konservasi itu, hanya butuh pertimbangan yang matang.  Biaya yang digunakan itu sangat besar,” paparnya.

Secara khusus, Askabul sendiri sangat mengapresiasi upaya konservasi Kima di taman laut Toli-toli, hanya saja kata dia, spesifikasi hidup Kima yang direlokasi sangat berbeda jika dibandingkan dengan habitat aslinya. Kima yang direlokasi sangat sukar untuk bertahan hidup karena adanya  perubahan habitat. “Prinsip konservasi yang baik adalah dimana habitat Kima disitu kita harus konservasi, jangan kita pindahkan,” ungkapnya.

Sementara itu, Bupati Konawe Kery Konggoasa mengatakan, pihaknya tidak bisa fokus dalam satu program saja, karena masih banyak program yang sangat penting untuk dikembangkan di daerah yang dipimpinnya itu, sehingga untuk tahun 2014, belum bisa mengakomodir upaya konservasi kima  di taman laut Toli-toli sebagai program pemerintah.

Kendati demikian, ia berjanji akan berupaya untuk meningkatkan potensi konservasi di taman laut Toli-toli melalui program di tahun anggaran periode selanjutnya, karena wilayah itu merupakan salah satu icon yang berpotensi untuk dijadikan sebagai studio pendidikan.

“APBD tahun ini sudah di plotkan, keberadaan area konservasi Kima akan kami kembangkan kedepannya dan akan dibahas pada perencanaan anggaran periode berikutnya, akan tetapi kami harapkan kerja sama yang baik dari tim konservasi itu. Karena ini perlu didiskusikan lebih jauh,” pungkasnya.

Tidak puas sampai disitu, pasca temuan Kima Boe pertengahan tahun 2012, tim konservasi kima Toli-toli melebarkan sayap. Mereka juga mengembangkan Pulau Labengki, Kabupaten Konawe Utara, untuk menjadi area  konservasi, karena wilayah tersebut merupakan pabrik atau habitat asli dari Kima Boe. Namun sayangnya, upaya konservasi yang mereka lakukan masih harus melewati berbagai tantangan. Pasalnya, keberadaan Kima Boe di laut Labengki saat ini masih dalam blok pemanfaatan.

Padahal, kawasan Kepulauan Labengki telah menjadi kawasan perlindungan laut sejak tahun 1999 berdasarkan SK Menteri Kehutanan (kawasan perlindungan Teluk Lasolo; sekitar 81.000 ha) namun implementasinya tidak pernah ada. Bahkan, kawasan ini marak dengan kegiatan penambangan nikel.

“Kima Boe di Labengki masuk dalam blok pemanfaatan yang ditetapkan BKSDA, itu sangat rawan dieksploitasi. Harus ada ketegasan dari BKSDA agar kembali melakukan penataan blok.  Beberapa kali tim konservasi bersurat ke BKSDA terkait hal itu, akan tetapi tidak ada tanggapan,” ungkap mantan wartawan lokal Makassar itu.

Habib menuturkan,  dunia internasional berharap, wilayah konservasi dan habitat alam Kima spesies baru ini mendapat penanganan yang khusus sebagaimana standar penanganan internasional.  Karena  selain menjadi habitat asli Kima Boe, Pulau Labengki dan sekitarnya juga menjadi habitat asli untuk Tridacna Crocea (Kima Batu), Tridacna Derasa (Kima Selatan), Tridacna Maxima (Kima Kecil), Tridacna Squamosa (Kima Sisik), Hippopus Hippopus (Kima Tapak Kuda) dan Hippopus Porcellanus (Kima China), yang hingga saat ini masih terus di ekploitasi oleh masyarakat.

Fungsinonal Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sultra, Saidung SP mengatakan, laut Labengki merupakan salah satu kawasan konservasi yang ada di Sultra, selebihnya masuk dalam kawasan blok inti dan blok pemanfaatan.

Menurut Saidung, di daerah tersebut ada beberapa jenis Kima yang dilindungi, baik berada dalam kawasan maupun diluar kawasan. “Kendati Kima berada dalam blok pemanfatan, habitat laut dilokasi tersebut tetap berada dalam pengawasan BKSDA. Tidak mudah untuk melakukan pengubahan blok itu, butuh proses yang panjang,” paparnya.

Namun anehnya, BKSDA ternyata belum mengetahui tentang maraknya eksploitasi Kima di kepulauan Labengki. Htersebut sangat patut dipertanyakan, apakah BKSDA melakukan pengawsan di lokasi tersebut atau tidak ? Saidung berdalih,  kondisi Teluk Lasolo yang begitu luas menyebabkan sangat sulit untuk mengidentifikasi aktivitas eksploitasi di kawasan tersebut. Apalagi, keterbatasan personil dan sarana prasaran menjadi hambatan utama dalam melakukan pengawasan.

“Sehingga memang kami kadang kecolongan, bisa saja ada nelayan yang modusnya mencari ikan, tetapi  mungkin melakukan penangkapan terhadap Kima,” paparnya.

Parahnya lagi, ternyata pihak BKSDA belum mengetahui tentang keberadaan tim konservasi Kima di Toli-toli. Padahal, sudah beberapa kali tim konservasi itu bersurat kepada BKSDA tentang permohonan perubahan kawasan pemanfaatn yang merupakan habitat Kima untuk di ubah menjadi kawasan di lindungi. Justru BKSDA mewarning pelaku konservasi. “Kalau mereka mau mengambil Kima untuk di relokasi harus ada  izin BKSDA. Kalau tidak ada, itu ada tindakan khusus, tapi sepengatuhuan saya itu belum ada sampai saat ini,” paparnya.

Bahkan ia tidak mengakui terkait adanya penemuan Kima spesies baru di laut Labengki. Penemuan spesies baru kata dia, tidak hanya ditentukan begitu saja, melainkan melalui proses panjang dengan penelitian dan uji keabsahan serta adanya lembaga penjamin bahwa di lokasi itu ada spesies baru. Menurutnya, keberadaan Kima di laut Labengki merupakan hasil peninggalan pengolahan mutiara.

“Keculi peneliti turun diam-diam dan belum ada izin dari BKSDA, karena setiap orang yang akan melakukan penelitian harus memiliki surat izin masuk kawasan. Kami akan melakukan upaya preventif kalau ada kita temukan pelaku yang mengambil Kima disana,” paparnya.

Sementara itu, Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman enggan untuk memberikan komentar terkait peran pemerintah daerah dalam mendukung upaya konservasi Kima di Pulau Labengki. “Saya lagi sibuk dan saya buru-buru,” tukasnya saat di temui di salah satu hotel ternama di Kendari beberapa saat lalu.

Kemudian, wartawan beberapa kali berupaya untuk menemui Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Konawe Utara, Muhtar Landebawo, akan tetapi juga tidak bersedia memberikan komentar karena belum memiliki data. “Saya belum punya data terkait Kima, nanti saja lain kali ketemunya, hari Rabu saja (19/3),” jelasnya saat di hubungi melalui via telepon. Ketika hendak kembali ditemui dan dihubungi melalui via telepon sesuai waktu yang dijanjikan, namun nomor kontak yang bersangkutan tidak bisa dihubungi lagi.

Konservasi Kima  Penunjang Ekonomi Lokal

Lima tahun sudah upaya konservasi Kima berjalan. Dampak usaha tersebut sudah dapat dirasakan oleh penduduk lokal. Tanpa adanya rehabilitasi dan penataan ulang, kini terumbu karang sudah berkembang dengan baik. Nelayanpun dapat kembali bertani rumput laut, bahkan Produksi ikan di daerah tersebut pun terus meningkat.

Dokumen Foto Toli Toli Labengki Giant Clam Conservation

Akan tetapi, Sampai hari ini belum ada dukungan rill selama program tersebut berjalan. Padahal, masyarakat sangat berharap agar konservasi Kima tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu bidang penting, dalam program pemerintah khususnya dalam program kelautan. Analoginya,  semakin banyak Kima yang disebar, semakin baik kualitas air laut dan semakin banyak pula terumbu karang yang hidup. Dengan demikian, ikan yang hidup akan semakin banyak sehingga secara tidak langsung kehidupan sosial ekonomi masyarakat akan meningkat khususnya para nelayan.

“Konservasi Kima di Toli-toli ini sudah berjalan lima tahun. Kalau tidak disadari kan ini susah. Padahal, kami berharap konservasi Kima ini dapat menjadi program nasional. 1 km terumbu karang saja mampu memproduksi ribuan ton ikan pertahun. Nah bagaimana kalau ada puluhan kilometer. Harusnya kalau begitu kenapa konservasi ini tidak di kembangkan,” papar Habib.

Minimnya dukungan tersebut kata Habib, menunjukkan minset atau pola pikir yang belum mahami betapa pentingnya Kima. Kendati demikian, timnya tetap memaksimalkan kegiatan konservasi itu. Bahkan, tim tersebut telah membuat pengawas kelompok kelautan. Dengan keterlibatan tersebut, secara tidak langsung akan menyadarkan masyarakat, betapa pentingnya menjaga ekosistem laut. “Konservsi Kima ini masih dianggap bukan apa-apa, tetapi kami akan berbuat. Persoalan pemerintah mendukung atau tidak itu adalah urusan pemerintah,” tegasnya.

Kades Toli-toli Djawahir sangat mengapresiasi atas upaya konserrvasi itu. Ratusan penduduk yang ada di desanya kini sudah bisa merasakan dampak dari konservasi Kima itu. Semula mereka sangat sulit untuk melakukan usaha rumput laut karena kondisi laut yang sangat tandus. “Akan tetapi, saat ini karena banyaknya Kima dan terumbu karang, para petani sudah dapat membudidayakan rumput laut lagi,” paparnya.

Kendati demikian, ia sangat miris karena upaya konservasi itu sampai hari ini belum mendapatkan dukungan dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Buktinya, sudah beberapa kali melakukan usulan pada pemerintah terkait pelestarian area konservasi, namun  belum mendapatkan rerspon positif. Padahal kata dia, keberadaan area konservasi itu tidak hanya berdampak pada kebersihan laut saja, tetapi sangat menunjang perekonomian masyarakat lokal.

“Seharusnya, ini diakomodir oleh pemerintah baik pusat maupun daerah menjadi program peningkatan kapasitas ekonomi masyarakat, karena ini bisa menjadi potensi besar dalam pengembangan rumput laut maupun terumbu karang,” paparnya.

Hal tersebut diakui oleh penduduk Desa Toli-toli, Ismail.  Keberadaan taman konservasi Kima menjadi berkah bagi dirinya dan masyarakat lain. Padahal, sebelum adanya area konservasi, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, ia harus mendayung hingga puluhan kilo. “Tapi kini tidak perlu lagi jauh untuk mencari ikan. Di belakang rumah pun sudah bisa memancing,” ujarnya.

Disamping sebagai nelayan, saat ini ia juga melakukan budidaya rumput laut. Penghasilannya pun tidak tanggung-tanggung. Sekali panen ia mampu mengasilkan 2 hingga 3 juta rupiah. “Sebelum ada area konservasi ini, kita tidak bisa bertani rumput laut, karena kondisi terumbu karang disini rusak total, tapi sekarang alhamdulilah,” paparnya.

Studio Alam Pendidikan

Pakar karang dan kerang Universitas Haluoleo (UHO) Kendari, Dr. Baru Sadarun,  S.Pi., M.Si. mengatakan, didunia Kima dikenal didalama 10 spesies. Terdiri atas dua genus yaitu genus Tridagma dan genus Tripopus. Genus Tridagna terbagi  atas Trisdagna Gigas, Tridagna Derasa, Tridagna Tevoroa, Tridagna  Scuamosa, Tridagma Maxima. Genus Tridagma tersebut tinggal di kawasan terumbu karang sedangkan genus Tripopus tinggal di padang pasir laut. Dari sepuluh spesies tersebut, 7 spesies diantaranya berada di Asia termasuk di Indonesia.

Setiap jenis Kima,  dengan sistem filter yang dimilikinya mampu membersihakan berton-ton air laut setiap hari. Dari hasil pembersihannya, selain membuat air laut menjadi sehat, juga menjadi pendukung utama kehidupan aneka biota laut lainnya. Selain itu, ia mampu menghasilkan  ratusan juta sel telur yang menjadi sumber makanan untuk ikan. “Sehingga apabila di dasar laut terdapat Kima, maka dipastikan di tempat tersebut akan memiliki banyak ikan, karena ikan-ikan itu datang untuk memburu telur-telur Kima,” bebernya.

Bukan hanya itu,  Kima juga kata Sadarun berfungsi sebagai rehabilator khususnya untuk dasar laut yang terumbu karangnya telah rusak. Karena pada cangkang Kima hidup, dapat tumbuh berbagai jenis terumbu karang, baik karang yang lembut maupun karang yang keras. Begitu pula dengan pesona warna-warni dagingnnya, keindahan daging Kima mampu mengubah keindahan di dasar laut menjadi taman yang indah untuk dikunjungi.

Berbagai jenis Kima terasebut memiliki habitat yang berbeda. Ada yang hidup di laut dangkal dan ada pula yang hidup di laut dalam. Umumnya Berkisar pada kedalaman tiga hingga 20 meter bahkan lebih. Namun, saat ini  pada kedalaman 3 hingga 10 meter sudah sangat sulit untuk menemukan biota laut itu. Hal itu terjadi karena maraknya eksploitasi. “Hal ini menggambarkan minset masyarakat banyak yang belum memahami fungsi Kima ini,” ungkapnya.

Bukan hanya itu, aktivitas pertambangan ternyata juga menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup hewan endemik tersebut. Dimana limbah hasil aktivitas pertambangan akan terbawa oleh arus sungai dan bermuara kelautan, yang tidak lain merupakan habitat Kima. Limbah tersebut membentuk sedimentasi yang sangat mengancam keberlangsungan hidup ekosistem. “Akibat aktivitas pertambangan, warna air laut berubah karena sedimen lumpur dari aktivitas pertambangan,” ungkapnya.

Mentor selam itu juga mengungkapkan, limiten faktor kehidupan Kima  yaitu dasar laut harus memiliki karang karena Kima merupakan spesies yang tidak bisa berpindah. Biota tersebut di dasar laut  bersimbiosis dengan zoo santela atau alga bersel tunggal. Dimana makanan yang di butuhkan Kima sebagaian bersumber dari buangan zoo salntela. Demikian sebaiknya, zoo  santela memanfaatkan Kima untuk tempat hidupnya, ia menempel pada cangkang Kima. “Sehingga apabila laut memiliki sedimentasi lumpur, secara otomatis Kima tidak dapat hidup,” Paparnya.

Jika hal tersebut tidak diantisipasi secara dini, kata doktor muda UHO itu, tidak menutup kemungkinan dua tahun kedepan keberadaan Kima sudah tidak bisa ditemukan lagi. Upaya konservasi merupakan salah satu langkah yang tepat khususnya dengan sistem relokasi. Akan tetapi, sistem relokasi tersebut harus dikaji terlebih dahulu, baik dari segi lokasi maupun tingkat ancaman. “Lokasinya kita harus liat, apakah disitu pernah ada Kima, kalau tidak ada itu akan percuma karena pasti akan mati  juga. Tetapi kalau ditempat relokasi merupakan habitat Kima namun sudah habis, itu bisa saja dan yang terpenting harus memiliki karang,” ungkapnya.

Disamping itu, sistem zonasi atau pembagaian blok merupakan hal yang tidak kalah penting. Misalnya, kawasan habitat Kima harus dikategorikan sebagai blok di lindungi. Akan tetapi, jika hal tersebut tidak diperkuat dengan payung hukum, dan pengawasan ekstra akan menjadi sia-sia. “Kalau tidak ada kebijakan khusus, tangan-tangan manusia  selalu memiliki cara tersendiri untuk mendapatkan biota laut yang bernilai eknomis tinggi itu. Jadi, harus ada aturan khusus yang membentenginya,” paparnya.

Ia menilai, keberadaan tim konservasi Kima di taman laut Toli-toli merupakan suatu hal yang positif. Dengan adanya wadah tersebut, Kima dapat terjaga. Namun, idealnya kawasan konservasi harus berstatus dan harus diakomodir oleh pemerintah sebagai kawasan konservasi, karena keberadaan area itu sangat besar manfaatnya khususnya bagi dunia pendidikan, maupun sebagai dunia wisata. “Kebijakan pemerintah disini sangat diperlukan. Disamping itu, Masyarakat harus dilibatkan, kalau tidak dilibatkan mereka yang akan merusak,” singkatnya.

Taman laut Toli-toli merupakan icon baru bagi dunia pendidikan. Dimana area tersebut merupakan potensi yang dapat dijadikan sebagai studio alam untuk kepentingan penelitian. Telah banyak peneliti yang melakukan studi di lokasi konservasi itu, baik peneliti lokal mapun dunia. Karena keberadaan taman laut Toli-toli sebagai tempat konservasi Kima merupakan satu-satunya yang ada di Indonesia.

“Jika ini di kelola dengan baik, keberadaan Kima dapat dijadikan sebagai icon daearah yang dapat di kembangkan menjadi objek wisata oleh pemerintah sehingga dapat meningkatkan PAD,” tutupnya. ***

 

Penulis: Samsul, Jurnalis Media Sultra

Naskah Diterbitkan tahun 2015 Dalam Buku Bunga Rampai Jurnalis Lingkungan Kendari

Penerbit AJI Kendari 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *