Environment

Kasus Karhutla di Indonesia : Rp 3,4 Triliun Belum Masuk Kas Negara

×

Kasus Karhutla di Indonesia : Rp 3,4 Triliun Belum Masuk Kas Negara

Sebarkan artikel ini

Sebanyak Rp 3,4 triliun lebih pembayaran ganti rugi dari perusahaan pelaku pembakaran hutan dan lahan di Indonesia yang telah berkekuatan hukum (inkrach) dalam putusan perkara perdata, hingga kini belum masuk kas negara.

Data itu tercatat dari kasus perdata kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2015-2021, yang berhasil dimenangkan dalam kasus penegakan hukum karhutla oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Dirjen Penegakan Hukum Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Saat ini hanya Rp 78,5 miliar pembayaran ganti rugi yang berhasil di eksekusi.

Selama kurun waktu tersebut, Gakkum KLHK berhasil mencabut 3 izin operasional, 16 pembekuan izin, 91 paksaan pemerintah, menerbitkan 633 surat peringatan dan 743 sanksi administratif. Serta pengawasan terhadap 638 perusahaan dan indvidu yang melakukan aktivitas kehutanan dan lahan di Indonesia.

Selain itu tercatat 11 kasus karhutla telah inkracht dengan pidana dan denda, 3 masih P-21 dan 5 perusahaan dalam proses sidik.

Direktur Penegakan Hukum Pidana Dirjen Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK, Yazid Hurhuda mengungkapkan, proses eksekusi denda dari perusahaan pelaku karhutla masih terkendala teknis di lapangan maupun birokrasi, dimana wewenang eksekusi sepenuhnya ada di tangan pengadilan.

“Dalam gugatan perdata, kami Legal standing-nya sebagai penggugat mewakili kepentingan lingkungan yang rusak akibat karhutla. Ada yang menang dan inkracht, tapi eksekusi putusan menjadi wewenang ketua pengadilan dimana kasus  diperkarakan. Kami memohon dieksekusi, mendorong dan menghadap ketua Pengadilan Negeri. Tapi banyak pertimbangan dan permasalahan teknis di lapangan,” ungkap Yazid dalam Wokshop Jurnalis Build Back Better “Karhutla dan Komitmen Penegakan Hukum”  yang diselenggarakan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) secara daring, Sabtu (26/6/2021).

Salah satunya adalah menghitung aset dari perusahaan pelaku karhutla yang digugat. Pihaknya kesulitan mengajukan penyitaan aset sebagai alat pemenuhan bukti untuk memenangkan gugatan.

“Praktik di lapangan tidak mudah. Waktu itu yang penting kita gugat dulu dan menang dulu. Begitu menang dan mengajukan eksekusi, dipertanyakan asetnya. Karena itu kita sekarang dalam proses menelusuri aset agar bisa diajukan ke pengadilan untuk dieksekusi,” imbuhnya.

Belum lagi tantangan di lapangan. Banyak intervensi dan perlawanan fisik dan psikis,  digugat pra peradilan, dipidanakan dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan. Hingga penyidik dilaporkan ke polisi dan dijadikan tersangka.

Yazid mencontohkan dalam kasus karhutla di Aceh. Pihaknya mendapat perlawanan saat datang untuk menghitung harga kebun sawit. “Kita dihadapkan pada warga atau pekerja kebun dan akhirnya diperintahkan mundur. Personil terbatas, jadi selain berbahaya juga untuk menghindari konflik.”

Dalam kesempatan yang sama, Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Perlindungan Hutan, Fakultas Kehutanan IPB mengatakan, penanganan kasus karhutla tidak sederhana dan butuh waktu lama dalam proses pembuktian.  Butuh bukti sains dan teknologi untuk mengungkap kasus tersebut.

“Kita harus bicara scientific evident dalam menelusuri lokasi kebakaran dan mengungkap penyebabnya. Apakah itu ketidaksengajaan atau by design. Bagaimana mungkin bisa menghitung ribuan hektare lahan terbakar dalam waktu satu hari, tahu dimana titik awal lokasi terbakar dan siapa pelakunya. Teknologi juga sangat membantu dalam pembuktian,” kata ahli karhutla IPB ini.

 

Banyak kasus sukses dibuktikan, seperti kasus karhutla yang melibatkan perusahaan sawit Wilmar Nabati Indonesia di Kalimantan Barat yang terbukti melakukan pembakaran lahan hingga bantuan pembiayaan dari Bank Dunia untuk perusahaan ini di cabut.

 

Sementara itu, analisis Greenpeace Asia Tenggara menemukan:Antara 2015 – 2019, 4,4 juta hektar lahan terbakar di Indonesia. Sekitar 789.600 hektar (18 persen) telah berulang kali terbakar.1,3 juta hektar (30 persen) dari area kebakaran yang dipetakan berada di konsesi kelapa sawit dan bubur kertas (pulp). Bahkan, karhutla tahunan terburuk sejak 2015  membakar 1,6 juta hektar hutan dan lahan atau setara 27 kali luas wilayah DKI Jakarta.

Data analisis jejak kebakaran yang terjadi dalam lima tahun terakhir, berada di tujuh provinsi rawan kebakaran hutan yakni Riau, Sumatra Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.

Kiki Taufik, Global Project Leader of Indonesia Forest Campaign di Greenpeace Southeast Asia menyebutkan, sebanyak 258 sanksi administratif diterbitkan, dengan 51 tuntutan pidana dan 21 gugatan perdata. 8 dari 10 perusahaan kelapa sawit dengan area terbakar terbesar di konsesi mereka dari 2015 hingga 2019, belum menerima sanksi apapun.

“Kenapa kebakaran berulang terus terjadi. Dari 1,6 juta ha, 600 ribuha lahan kebakaran berulang di lokasi yang sama  meski pemerintah punya komimen kuat. Misalnya, total kebakaran lahan konsesi Sinarmas Grupdalam lima tahun mencapai 283 ribu ha. Tahun 2019 terbakar 73 ribu ha. Kebakaran hingga  11% dari luas lahan.

Bagaimana praktik di lapangan dan kenapa tidak ada efek jera,“ ungkap Kiki.

Yang menarik menurut Kiki, wilayah yang terbakar pertama kali diindikasikan akan jadi lahan perkebunankelapa sawit.

Dalam workshop tersebut, Ketua Umum The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) Rochimawati, menekankan pentingnya media mengangkat dan mengawal isu kebakaran hutan dan lahan serta penegakan hukumnya.

“Jurnalis dan media mempunyai peran besar untuk mengangkat Isu ini mengingat selama ini monitoring kasus karhutla masih lemah. Upaya menekan kasus karhutla dapat terus mendapat perhatian penegak hukum, perusahaan, pemerintah dan masyarakat apabila terus disuarakan dan mendapat perhatian. Apalagi di tengah kondisi pandemi ini,” jelasnya.

Dalam laporan Bank Dunia, total kerugian ekonomi dari kebakaran hutan di Indonesia pada tahun 2019 mencapai US$ 5,2 miliar atau sekitar Rp 72,9 triliun. Nilai tersebut setara dengan 0,5 % Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), selama ini kebakaran hutan kerap terjadi karena ulah manusia yang membuka lahan dengan cara dibakar.Dalam lima tahun terakhir, terjadi 17 ribu lebih peristiwa karhutla di sejumlah daerah.

Data BNPB menunjukkan, peristiwa karhutla mengalami penurunandrastis sebanyak 81 persen dibanding tahun sebelumnya. Pada 2019 karhutla berdampak terhadap 1.649.258 ha. Pada 2020,karhutla berdampak terhadap 296.942 hektare. Dalam Rakornas Penanggulangan Bencana 2021, per Januari 2021 terjadi 173 peristiwa karhutla dengan luas lahan 35.273,00.

Komitmen pada penanganan karhutla ditunjukan Presiden Joko Widodo sejak tahun 2014 dengan menyerukan perlindungan gambut secara menyeluruh dengan melarang usaha di lahan gambut dan mengembalikan fungsi lahan-lahan gambut. Komitmen dalam mencegah dan menanggulangi karhutla, dikuatkan dengan regulasi terbaru melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan. SK

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *