Historia

Garis Finish Advokasi Jurnalis Nurhadi, Keluarga Terpidana Bayarkan Uang Restitusi

×

Garis Finish Advokasi Jurnalis Nurhadi, Keluarga Terpidana Bayarkan Uang Restitusi

Sebarkan artikel ini

Surabaya, suarakendari.com – Keluarga dua anggota Polri yang jadi terpidana dalam perkara pelanggaran hukum pers dan
penganiayaan terhadap jurnalis Tempo di Surabaya, Nurhadi, telah membayarkan uang restitusi seperti putusan hakim.
Pembayaran uang restitusi itu digelar di Kantor Kejaksaan Negeri Tanjung Perak, Surabaya, Rabu (4/10/2023) siang.

Dalam penyerahan uang restitusi tersebut, Nurhadi didampingi oleh sejumlah petugas dari Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Eben Haezer, yang mewakili Aliansi Anti Kekerasan Terhadap Jurnalis.

Dalam perkara ini, sebelumnya majelis hakim di PN Surabaya telah memerintahkan dua terpidana untuk
membayarkan restitusi sebesar Rp 13.819.000 untuk Nurhadi, serta Rp 21.650.000 untuk rekan Nurhadi
berinisial F yang turut menjadi korban. Putusan terkait restitusi ini tetap dipertahankan hingga pengadilan
tingkat banding dan pengadilan tingkat kasasi.

Sedangkan terkait hukuman pidana yang harus dilakoni kedua pelaku, Hakim PN Surabaya menjatuhkan vonis 10 bulan untuk dua pelaku. Sedangkan di pengadilan tingkat banding, vonis itu berkurang menjadi 8 bulan.

“Besaran restitusi ini sesuai dengan keputusan pengadilan,” ujar jaksa fungsional Kejari Tanjung Perak,
Yulistianto.

Selain diharuskan membayar restitusi, dalam persidangan yang berlangsung hingga tingkat kasasi, dua terdakwa, Firman Subkhi dan Purwanto juga divonis penjara selama 8 bulan. Vonis itu memiliki kekuatan hukum tetap sejak 16 November 2022. Namun keduanya baru diekesekusi pada 5 Juni 2023. Kini keduanya menjalani masa hukuman di rutan Polda Jatim.

Salawati, kuasa hukum Nurhadi dari LBH Lentera mengatakan bahwa pelaksanaan pembayaran restitusi (ganti kerugian) kepada Nurhadi dan F, selain merupakan putusan Majelis Hakim PN Surabaya, juga menjadi hak yang memang diatur dalam proses penegakan hukum.

“Restitusi yang dibayarkan ini masih sebatas penghitungan kerugian akibat kerusakan alat kerja saat kejadian. Sementara sebenarnya dalam perkara ini, Nurhadi mengalami trauma dan harus berada dalam perlindungan LPSK bisa saja dimintakan restitusi atau ganti kerugian atas kehilangan penghasilan akibat tindak pidana pers tersebut. Jadi memang sudah seharusnya dibayarkan dan disegerakan,” tutur Salawati.

Ditambahkan, Fatkhul Khoir, kuasa hukum Nurhadi dari KontraS Surabaya, pelaksanaan restitusi ini terbilang lamban. Sama halnya dengan proses eksekusi hukuman badan terhadap terpidana.

“Catatan kami juga, ada yang menurut kami tidak procedural, yaktu penarikan penempatan terpidana dari rutan Medaeng ke Rutan Mapolda,” timpalnya.

Sedangkan ketua AJI Surabaya, Eben Haezer mengatakan, meski ada sejumlah catatan dalam perjalanan perkara ini, namun pihaknya tetap mengapresiasi Kejaksaan Negeri Tanjung Perak, Kejati Jatim, hingga penyidik Polda Jatim yang terlibat dalam penyelesaian perkara ini.

Dia mengatakan, pembayaran restitusi ini bisa dibilang sebagai garis finish dari perjalanan advokasi kasus
kekerasan terhadap jurnalis Nurhadi yang berlangsung sekitar 2,5 tahun. “Hasil advokasi perkara ini bisa terwujud karena ada kolaborasi dari berbagai pihak, baik organisasi masyarakat sipil, jurnalis, lembaga bantuan hukum, hingga manajemen perusahaan media tempat korban bekerja. Kami secara khusus juga berterimakasih pada LBH Lentera, KontraS Surabaya, LBH Pers, LPSK, AJI
Nasional, dan rekan-rekan jurnalis yang mendukung advokasi ini,” kata Eben.

Terlepas dari adanya beberapa catatan yang bisa jadi pembelajaran untuk advokasi kasus kekerasan jurnalis lainnya, namun dia menilai advokasi ini telah berjalan maksimal. Sebab, dalam perkara ini, untuk pertama kalinya ada aparat penegak hukum yang divonis bersalah dan dieksekusi Karena melakukan pelanggaran pers.

“Walaupun pemenuhannya bisa menjadi contoh penegakan delik pers di negeri ini, kami berharap apabila ada kejadian delik pers di masa depan, penegakan hukumnya lebih baik lagi dari perkara Nurhadi. Tapi yang lebih penting, semoga tidak ada lagi kekerasan terhadap jurnalis dan pelanggaran terhadap kemerdekaan pers,” sambungnya. Sk

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *