SUARAKENDARI.COM-Bayangkan, di tengah riuhnya seruan untuk menjauhi produk Negeri Tirai Bambu, bertebaranlah kaus dan topi gagah berani bertuliskan “Boycott China” di etalase toko-toko Amerika Serikat. Sebuah pemandangan yang sekilas tampak selaras dengan sentimen anti-China yang mungkin sedang menguat. Namun, bersiaplah untuk sebuah ironi yang menggelitik: lebih dari seratus ribu helai “amunisi” boikot ini justru lahir dari jantung pabrik-pabrik di Tiongkok sana.
Fakta ini, yang terungkap dalam sebuah laporan, bagaikan tamparan halus yang menyadarkan kita akan kompleksitas dunia perdagangan global. Di balik retorika politik yang membara dan seruan boikot yang lantang, tersembunyi logika pasar yang dingin dan pragmatis. Bagi para pelaku bisnis, agaknya sentimen publik dan isu geopolitik hanyalah variabel lain yang perlu dihitung dalam kalkulasi keuntungan.
Selama ada permintaan, dan yang lebih penting, selama pundi-pundi rupiah (atau dalam konteks ini, dollar) terus mengalir, roda produksi akan terus berputar. Pesan yang tertulis di atas produk, sekeras apapun nadanya, tampaknya hanya menjadi ornamen pelengkap, bukan lagi penentu utama. Para produsen di China, dengan sigap menangkap peluang dari sentimen anti-negara mereka sendiri. Sebuah paradoks yang mencengangkan sekaligus mengundang senyum kecut.
Fenomena “Boikot China Made in China” ini adalah cerminan betapa pragmatisnya dunia bisnis. Ia seolah berkata, “Sentimen boleh membara, ideologi boleh berbeda, tapi cuan tetaplah prioritas utama.” Ini bukan berarti para pebisnis sepenuhnya abai terhadap isu-isu global. Lebih tepatnya, mereka melihatnya sebagai sebuah peluang pasar yang unik. Ada permintaan untuk produk anti-China? Tentu, kami bisa memenuhinya. Asalkan, tentu saja, keuntungannya juga menggiurkan.
Kisah ironis ini mengajarkan kita untuk melihat lebih dalam di balik setiap produk yang kita konsumsi. Bahwa rantai pasok global seringkali berkelindan dengan rumit, melintasi batas-batas negara dan bahkan ideologi. Bahwa di balik slogan-slogan lantang, seringkali tersembunyi perhitungan bisnis yang cermat.
Jadi, lain kali ketika Anda melihat seseorang mengenakan kaus “Boikot China,” mungkin ada baiknya untuk sedikit tersenyum dalam hati. Karena bisa jadi, “musuh” yang mereka serukan untuk dijauhi, justru menjadi pihak yang paling diuntungkan dari ekspresi sentimen tersebut. Sebuah ironi pasar yang tak terduga, di mana cuan sekali lagi membuktikan kekuatannya untuk melampaui sekat-sekat ideologi dan sentimen publik. Sk