Environment

Belajar Konservasi Kima Toli-Toli

×

Belajar Konservasi Kima Toli-Toli

Sebarkan artikel ini

Iwan (39 tahun) menghirup napas dalam-dalam sebelum akhirnya menghilang dari permukaan laut. Gerakan yang lincah membuatnya dengan cepat menggapai dasar laut yang dalamnya mencapai 15 meter itu. Berbekal bantuan kompresor sebagai alat bantu pernapasan, pemuda perkasa ini leluasa menjelajahi karang di dasar samudera membawa bibit-bibit kerang kima sebesar batok kepala untuk dibudidayakan. Kima-kima berbagai jenis itu ditata dengan rapi agar leluasa berkembang biak.

Ya, kegiatan yang dilakukan Iwan dan kelompoknya di Desa Toli-Toli, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara ini patut menjadi teladan bagi warga lainnya. Betapa warga yang tergabung dalam kelompok Balai Konservasi Taman Laut Kima toli-toli ini, sejak dua tahun belakangan telah membudidayakan sekitar 8000 kerang kima berbagai jenis dan ukuran. Ini dilakukan sebagai langkah penyelamatan spesies kerang laut dilindungi ini, dari kepunahan.

Hilangnya kima di perairan desa mereka, menjadi alasan utama dan tentu saja keprihatinan besar dari kelompok konservasi ini. Perburuan besar-besaran oleh nelayan luar maupun nelayan telah menimbulkan efek luar biasa bagi populasi kima karena untuk diperdagangkan hingga ke luar negeri. Ini dapat dilihat dari hasil pengumpulan fosil cangkang kima yang telah mati berbagai ukuran yang dilakukan tim balai konserbvasi kima toli-toli dua tahun belakangan ini. Ratusan cangkang-cangkang kima kini ditampung di kantor balai balai konservasi sebagai barang temuan.

Kelompok ini prihatin atas perburuan kima secara massal. Daging kima yang diketahui memiliki protein tinggi menjadi alasan utama perburuan biota laut itu. Kima menjadi komoditas eksport paling dicari oleh singapura, Taiwan, Hongkong,Jepang hingga Amerika Serikat. Di pasar internasional, harga daging kima kering mencapai USD 150 per kg.

“Ancaman kepunahan kima ini, maka kehidupan ekosistem di lautan pun dalam ancaman kehancuran,”kata Iwan.

Data konservasi taman laut kima toli-toli menyebutkan terdapat sembilan spesies kima didunia, yaitu: tridacna gigas, t. derasa, t.squamosa, t. maxima, t. crosea, t. tevoroa, t. rosewate,hippupos-hippopus & hippopus porcellanus. Tujuh diantara sembilan spesies itu hidup di Indonesia. Tingkat pertumbuhan kima sendiri sangat lamban (2-12 cm/tahun berdasarkan species-nya dan tingkat usia pertumbuhan), sehingga untuk mencapai ukuran maksimal 150 cm/ kima memerlukan waktu tumbuh hingga seratus tahun.

Iwan bercerita, mulanya Ia sama sekali tidak mengerti tentang konservasi kima. Perjumpaannya dengan Habib Nadjar Buduha (47) membuatnya belajar banyak tentang proses budidaya kima ini di desanya. “Jujur Pak Habiblah yang mengajari kami tentang kepedulian dan konservasi kima ini,”ungkapnya.

Iwan mengaku konservasi dilakukan tergerak untuk menyelamatkan kima dengan modal yang mereka kumpulkan sendiri. Awalnya jumlah cuma satu orang lalu mereka saling mengajak beberapa warga desa untuk bergerak bersama hingga kini jumlahnya puluhan warga. Proses itu dilakukan Komunitas Balai Konservasi sejak akhir tahun 2009 silam.

Secara bersama-sama, kelompok ini telah mengumpulkan delapan ribuan kima dari tujuh jenis yang ditempatkan dan dipelihara di konservasi laut seluas dua puluh hektar ini.

Kima-kima itu dikumpulkan dengan peralatan dan perlengkapan sederhana, yakni sebuah kapal motor tradisional berbobot 3 ton dan peralatan menyelam yang memakai mesin kompresor tambal ban sebagai pemasok udara. “Kami mencari bibit kima hingga ke Provinsi Sulawesi Tengah,”kata Iwan.

“Wilayah perairan laut Desa Toli-toli dan sekitarnya dinilai sebagai lokasi yang tepat untuk budidaya atau konservasi kima, karena memiliki rab yang tak jauh dari daratan. Daerah ini dulunya juga merupakan habitat asli kima serta memiliki bebatuan dan terumbu karang yang masih terjaga,”ungkap Iwan, salah petugas Balai Konservasi Kima Toli-toli, pecan lalu.

Pemerintah desa sendiri mendukung sepenuhnya upaya kelompok balai konservasi kima toli-toli ini, bahkan telah mengajak warga desa untuk bersama-sama membantu konservasi kima di desanya. “Berkat kerja keras kelompok ini telah membuat laut di desa-toli menjadi bersih dan ikan—ikan semakin banyak,”kata Jawahir Bardin, Kepala Desa Tolitoli.

Kima (tridacna) menjadi komoditas bernilai tinggi karena dagingnya yang kaya protein. Harga daging kering kima di pasaran dunia mencapai 150 dollar as per kilogram (sekitar rp 1,3 juta). Selain itu cangkangnya menjadi incaran industri perhiasan dan dekorasi.

Kima sendiri berfungsi sebagai penyaring alami air laut. Saat makan, Ia menyedot air laut untuk menyerap plankton dan segala kotorannya. Setelah dicerna, air laut dikeluarkan lagi dalam kondisi bersih// proses itulah yang menjaga kebersihan laut yang penting bagi kesehatan terumbu karang.

Hewan yang biasa hidup di puncak gunung laut (rab) itu juga menjadi “pabrik” makanan bagi satwa-satwa laut lainnya. Telur dan anak kima menjadi santapan bagi ikan, gurita dan kepiting. Tubuh kima juga menjadi rumah bagi berbagai terumbu karang.

Dari sembilan jenis kima yang ada di dunia, tujuh di antaranya hidup di perairan dangkal (maksimal kedalaman 20 meter) dan hangat di seantero nusantara. jumlah itu termasuk dua jenis yang paling langka/ yakni tridacna gigas (kima raksasa) dan tridacna derasa (kima selatan).

Dua jenis kima itu sekarang hanya bisa ditemukan di perairan sepanjang sulawesi hingga papua. tridacna gigas dan tridacna derasa menjadi langka karena paling kerap diburu mengingat ukurannya yang besar. kima jenis ini bisa mencapai panjang 1,3 meter dengan berat 200 kilogram.

Permasalahan muncul karena eksploitasi yang berlebihan itu tak sebanding dengan laju pertumbuhan kima. Hewan ini lambat perkembangbiakannya, hanya berkisar 2-12 sentimeter setiap tahun. Untuk tumbuh hingga sepanjang setengah meter dibutuhkan waktu puluhan tahun.
Pemerintah pun telah memasukkan lima jenis kima (tridacna crocea, tridacna derasa, tridacna gigas, tridacna maxima, dan tridacna squamosa) sebagai satwa yang dilindungi dalam peraturan pemerintah nomor 7 tahun 1999.

Sayang, upaya penyelamatan hasil inisiatif dan swadaya warga itu belum mendapat perhatian pemerintah daerah kabupaten dan provinsi. “Jangankan bantuan materi atau peralatan/ proposal perizinan untuk konservasi yang diajukan kelompok ini sejak oktober tahun 2010 /yang hingga kini belum ada jawaban dari pemerintah,”ungkap Mahfud, petugas Balai konservasi Taman Laut Toli-toli lainnya.

Walau begitu, di tengah keterbatasan dana, kelompok konservasi ini jalan terus. Mereka tidak mau lagi menunggu pemerintah peduli atau tidak. “Jika kami menunggu pemerintah mungkin spesies kima sudah habis duluan, sebab para konservasi kima setiap hari harus berlomba dengan para pemburu kima yang di antaranya memiliki perlengkapan canggih dan modal besar. Kelompok konservasi ini bertekad untuk tetap menghidupkan upaya konservasi, karena kelak anak cucu bisa melihat hewan laut kima hidup di alam bebas.

 

Naskah: Joss Hasrul

Dok Foto: Toli-toli Labengki Giant Clam Conservation

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *