Kultur

Tradisi Mondau Orang Tolaki

×

Tradisi Mondau Orang Tolaki

Sebarkan artikel ini

 

Mondau merupakan suatu bentuk usaha perladangan berpindah-pindah (shifting cultivation) yang dikenal dikalangan masyarakat tolaki. Kegiatan ini dimulai dengan pembukaan kawasan hutan untuk keperluan penanaman berbagai jenis tanaman. Dalam buku berjudul Pranata Hutan Rakyat yang ditulis DR.Sarlan Adi Jaya bersama Yusran Taridala dijelaskan, mondau dilakukan dengan cara menebang pepohonan dan membakarnya (slash and burn) ; terdiri beberapa tahapan seperti ; Monggikii ando’olo (pemilihan lokasi perladangan); Mohoto owuta (upacara pra mondau), Mosalei (menebang pepohonan kecil, menebas akar-akaran, dll, Moduehi (menebang pepohonan besar), Mohunu (membakar), moenggai (pembersihan sisa-sisa pembakaran), Motasu (menanam padi), Mosaira dan mete’ia (membersihkan rerumputan dan menjaga tanaman), Mosowi, Molonggo (memasukkan hasil panen ke dalam lumbung)

Monggikii Ando’olo

Dalam melakukan usaha perladangan, orang tolaki mengenal beberapa klasifikasi lahan untuk areal perladangan . klasifikasi tersebut didasarkan pada factor-faktor ; (1) usia kawasan hutan, (2) jenis vegetasi dan aliran sungai dan, (3) kontur geografis kawasan hutan. Factor-faktor tersebut sangat berkaitan dengan produktifitas hasil lading dikemudian hariyang akan diperoleh para peladang. Karena itulah hal ini menjadi penting untuk dipertimbangkan bagi setiap peladang dalam menentukan lokasi perladangannya. Apabila peladang  memilih lokasi yang tepat maka si peladang akan memperoleh hasil panen yang banyak, tetapi apabila salah memilih lokasi maka hasil yang diperoleh akan sedikit pula.

Mohoto Owuta

Apabila areal perladangan seperti  yang diuraikan di atas telah tersedia, maka dimulailah tahap selanjutnya, yakni mohoto o wuta. Secara setimologis, mohoto owuta terdiri dari 2 suku kata yakni mohoto artinya memotong dan owuta berarti tanah. Jadi mohoto owuta berarti memotong tanah. Dalam kaitannya dengan mondau maka mohoto owuta adalah suatu prosesi upacara perladangan yang mengawali seluruh rangkaian proses mondau yang dalam keyakinan orang tolaki harus dilaksanakan oleh setiap peladang apabila hendak membuka kawasan hutan atau berladang. Maksudnya adalah dengan melaksanakan upacara ini berarti para peladang telah meminta izin kepada dewa hutan (sangia ando’olo) untuk membuka hutan atau lahan tersebut sehingga akan selalu terhindar dari malapetaka dan kutukan (tetutuara), baik yang akan menimpa petani maupun tanaman-tanaman di ladang, misalnya kecelakaan atau gangguan hama babi, tikus, kera, dll.

Prosesi ini sering juga disebut dengan istilah mo’oli atau membeli hutan pada yang empunya. Maksud lainnya adalah agar hutan yang dijadikan sebagai lokasi perladangan tidak menjadi tandus dan dapat pulih kembali menjadi hutan  sehingga suatu saat nanti dapat dibuka kembali. Salah satu symbol yang digunakan di sini adalah air yang disimpan dalam sebuah wadah yang menandakan kesejukan. Artinya tanah ladang tersebutkan sejuk terus sehingga selain tanaman akan tumbuh dengan baik, juga pepohonan yang telah ditebang dapat tumbuh kembali seperti semula.

Mohoto O Wuta dilaksanakan sekitar bulan Agustus pada awal musim kemarau. Hari yang baik untuk masuk hutan dalam rangka melakukan prosesi ini adalah leleanggia atau tindono. Mula-mula diawali dengan mempersiapkan semua perlengkapan yang dibutuhkan seperti parang (opade), empat potongan kayu sepanjang 30 cm, serta air yang disimpan dalam suatu wadah berupa tempurung kelapa (takulo/ aha nggaluku) atau potingan buah maja (o bila), sebuah batu asah (watu rambaha). Adapun fungsi masing-masing perlengkapan tersebut adalah : parang digunakan membersihkan tempat pemanu’a; empat potongan kayu sebagai bahan pembentuk persegi empat yang diletakkan 2 menindis 2 potongan kayu lainnya; air untuk mengasah parang ; dan batu asah untuk tempat mengasah parang.

Setelah semua perlengkapan tersedia, maka dibuatlah pemanua’a yakni sebuah bangunan yang dibuat dari empat rangkaian potongan kayu sepanjang 30 cm yang diletakkan pada sebidang tanah membentuk persegi empat yang mengelilingi suatu pohon kayu kecil sebesar telunjuk yang masih tumbuh. Empat potongan kayu tersebut pada masing-masing sudutnya dijepit dengan kayu supaya kokoh. Di atas bangunan tersebut diletakkanlah batu asah dan air, sambil membaca doa sebagai berikut;

“” inggo’o kum, inggo’o rundulangi

Apabila pemanu’a telah selesai, maka kegiatan selanjutnya adalah mosalei (menebas) sebanyak 4 putaran  mengelilingi  bangunan pemanua’a tadi. Pada setiap putaran, peladang diharuskan untuk kembali ke pemanua moramba-ramba, peladang (mengasah-asah) parangnya. Setelah selesai kegiatan maka peladang akan mobeta (mosalei kecil-kecilan) pada setiap sudut lahannya sebagai penanda  batas calon areal perladangan yang akan diolahnya.

Ketika peladang akan memulai melakukan proses upacara ini, terdapat tanda-tanda yang harus diperhatikan. Tanda-tanda tersebut antara lain adalah mendengarkan bunyi-bunyi burung yang merupakan alamat baik dan buruk seperti burung sui, sarere, dan pondu-pondu belatu (burung pematuk pohon yang telah busuk). Apabila peladang mendengar bunyi burung sui  seperti moke-koesi yakni laksana orang yang sedang bersiul dengan merdu atau momburi laksana  sedang meniup maka ini adalah pertanda baik. Artinya lading ini jika nantinya dibakar akan hangus ; bunyi burung  pondu-pondu belatu menandakan hasil panen akan melimpah ; dan bunyi sarere artinya  kita harus berhenti membuka lahan karena itu adalah pertanda buruk, seperti akan mengalami musibah atau kematian.

Rangakaian kegiatan membuat  pemanu’a ini disebut juga dengan istilah mombewulahako artinya bahwa setelah selesainya tahapan ini barulah para peladang memulai untuk tahapan selanjutnya atau masuk pada bulan pertama monda’u. Rentang waktu antara mombewulahako dengan dimulainya kegiatan penebangan adalah empat hari. Masa empat hari ini menurut keyakinan orang tolaki  adalah kurun waktu dimana kita tidak boleh masuk hutan atau memasuki lokasi yang akan dijadikan sebagai areal perladangan. Masa itu disebut pula dengan istilah mombado atau pemali.

Mosalei

Mosalei merupakan tahapan ketiga dalam rangkaian monda’u yang dilakukan pada awal musim kemarauyakni sekitar bulan agustus. Secara etimologis, mosalei berarti menebas atau memotong pepohonan atau akar-akaran yang menggantung dan menjalar (o hao) dengan hanya sekali tebas. Dalam tahapan ini yang menmjadi sasaran pekerjaan adalah menebang pepohonan kecil dan akar-akaran yang menggantung dan menjalar termasuk rotan dalam berbagai jenis. setelah penebasan selesai, maka pepohonan yang ditebang dan akar-akaran tersebut dipotong-potong agar cepat mongering. Adapun maksud pemebersihan pohonan kecil dan akar-akaran ini adalah; 1} agar nanti dalam proses penebangan selanjutnya di peladang bisa dengan leluasa bergerak dan pohon-pohon besar yang ditebang tidak tersangkut; 2} agar dalam proses pembakaran dapat hangus dengan sempurna. Tidak semua bagian lahan harus melalui tahapa ini, misalnya lokasi yang relative bersih dari pepohonan kecil atau akar-akaran.

Pekerjaan ini dilakukan dengan menggunakan parang (opade) dan batu asah (watu rambaha). Mosalei dikerjakan secara bergotong royong diantara sesame peladang laki-laki atau ada juga yang memakai system upah harian. Lamanya mosalei tergantung dari luasnya lahan yang akan dibuka, tetapi umumnya berkisar anatara 2-3 minggu. Selama waktu itu, sebagaian peladang memanfaatkannya untuk merotan (me’ue) yakni mengumpulkan rotan dalam segala jenis untuk dijual kepada pembeli kelak setelah selesai mosalei.

Selama masa mosalei, para peladang laki-laki untuk sementara tinggal menetap dalam hutan kecuali untuk sesekali mereka masuk kampong untuk membeli kebutuhan hidup di hutan. Sebelum masuk hutan mereka telah membawa bekal seperlunya seperti beras (owoha), sagu (tawaro), garam (pe’anihi), ikan kering (ika moahi), tembakau (inoso), korek api (api-api/tinggu), gula (gola), kopi (kopi). Sedangkan sayur-sayuran dapat diperoleh di hutan seperti tinira ue, dan daun melinjo (tawa huko). Kegiatan masak-memasak dilakukan sendiri tanpa bantuan perempuan. Mereka membangun rumah (pineworu) sebagai tempat berteduh dan tempat tidur . untuk menahan hawa dingin dan nyamuk pada malam hari mereka membakar potongan-potongan kayu dan kulit kayu di bawah kolong rumah atau didekatnya.

Setelah mosalei, maka mereka akan kembali ke kampung sambil beristirahat sejenak. Lahan akan dibiarkan selesai 1-2 minggu dengan maksud agar pepohonan dan akar-akaran yang telah ditebang dan dipotong-potong itu mongering, sehingga memudahkan dalam pembakaran nantinya.

Monduehi

Monduehi adalah suatu tahapan kegiatan dalam monda’u yang dilakukan dengan sasaran menebang pepohonan besar. Tahap awal monduehi disebut molowo yakni suatu kegiatan penebangan hutan selama satu hari pada salah satu kawasan hutan dalam areal perladangan sebagai pertanda dimulainya monnduehi. Hari baik untuk molowo adalah matanggawe atau o tindo. Setelah molowo maka peladang akan mombado (larangan untuk masuk hutan selama 4 hari.

Dalam tahapan ini  hamper semua pepohonan yang berada dalam rencana lokasi atau lahan perladangan ditebang  baik di kemiringan  (mosila ano) maupun di lembah (lelawuta). Pepohonan yang biasanya tidak ditebang  adalah pohon yang terlalu besar atau yang kayunya keras serta sebagian pohon  beringin (kapu) khususnya kapu boru  (pohon beringin yang berbentuk  seperti burung tudung (boru=tudung) yang dianggap keramat . moduehi dikerjakan dengan menggunakan  parang (opade) dan kampak (opali). Kampak digunakan untuk menebang pohon sedangkan parang diperlukan untuk memotong dahan-dahan yang menjulang ke atas.

Moduehi dikerjakan secara gotong royong(samaturu) sesame peladang lainnya atau dengan tenaga bayaran. Peladang yang melakukan kerja sama ini biasanya bermukim dalam suatu rumah yang sama (seperti yang telah diuraikan pada tahapan mosalei. Pada hari pertama mereka akan mengerjakan areal salah satu peladang, hari kedua areal peladang lainnya, demikian seterusnya hingga monduehi selesai. SK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *