Environment

Teluk Kendari dalam Cengkraman Mafia Tanah?

×

Teluk Kendari dalam Cengkraman Mafia Tanah?

Sebarkan artikel ini
Kawasan teluk kendari yang kini dalam ancaman serius menyusul jual beli lahan oleh oknum mafia tanah. foto: Joss

Praktik mafia tanah diduga telah membuat hilangnya sebagian besar areal di kawasan teluk Kendari, menyusul makin maraknya bangunan di sepanjang teluk kendari. Di sisi selatan teluk Kendari misalnya, kawasan yang dulunya dipenuhi hutan mangrove kini satu persatu hutan mangrove tergusur dan dijadikan lokasi tambak dan pendirian bangunan. Bahkan, seluruh lahan teluk kendari yang berada di jalan bay pass menuju Andonohu  diduga telah beralih menjadi kepemilikan pribadi. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya sejumlah bangunan permanen seperti rumah tinggal, rumah makan dan kafe atau tempat hiburan malam.

Ironisnya, pemerintah seolah ‘tutup mata’ melihat praltik pengambil alihan kawasan hutan yang notabene dilindungi Negara tersebut oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab secara sepihak tersebut.

Sejumlah organisasi LSM yang bergerak di lingkungan hidup mengimbau agar pemerintah kota kendari untuk peduli pada kondisi luasan lahan teluk yang kian hari kian menyusut jumlahnya akibat praktik alih fungsi lahan.

Menurut LSM pratik pembangunan di sepanjang bibir teluk memilik andil besar pada meningkatnya sedimentasi lumpur yang menyebabkan mendangkalnya teluk kendari. “Praktik alih fungsi lahan teluk kendari merupakan problem serius bagi biodiversity di sana dan harus segera ditangani pemerintah kota,”kata Kisran Makati dari Konsorsium Agraria Sulawesi Tenggara.

 

Mangrove Tersisa 20 Hektar Saja

 

Mennyusutnya luasan kawasan mangrove di kendari sempat diungkap Arifin, petugas Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Kendari dalam diskusi yang digelar AJI Kendari. Pria bertubuh sedang ini melontarkan keprihatinannya pada kondisi hutan mangrove di kawasan teluk kendari saat ini.

“Saya benar-benar prihatin dimana secara fakta, hutan mangrove di teluk kendari terus menyusut akibat telah beralih fungsi,”kata Arifin.

Tersisa dua puluh hektar hutan mangrove saja yang masih ada, selebihnya kini dikuasai oleh oknum-oknum warga dan telah disertifikatkan secara.

“Saya juga bingung kenapa warga bisa menguasai lahan di kawasan teluk kendari, padahal dalam rencana tata ruang wilayah Kota Kendari, kawasan teluk kendari merupakan kawasan konservasi yang tidak boleh di kuasai atau diperjualbelikan,”ujarnya.

Kawasan hutan mangrove di teluk kendari yang kian menyusut. foto: Joss

Kendati demikian, sesuai tugas dan fungsinya, BLH Kendari akan terus melakukan pelestarian dan perlindungan hutan mangrove di kawasan tersebut dan tetap melakukan pendekatan persuasive dengan warga agar tidak melakukan pembangunan dan perusakan hutan mangrove.

Warga Kendari, Muhammad Ali mengaku prihatin dengan aktifitas jual beli tanah di kawasan teluk Kendari, mengingat kawasan tersebut adalah tanah Negara dan merupakan kawasan konservasi perairan laut.

“Bagaimana mungkin laut bisa disertifikat, ini sangat disayangkan,”kata Muhammad Ali dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan AJI Kendari.

Menurutnya, jika ditelusuri maka akan sangat banyak actor yang terlibat dari proses jual beli tanah teluk kendari, terutama keterlibatan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Kendari selaku penerbit sertifikat.

“Ini sangat mengherankan sekaligus sangat tidak masuk akal jika BPN tidak mengetahui tanah-tanah yang mereka sertifikat itu masuk dalam kawasan teluk, sebab dalam aturannya, sebelum sertifikat terbit terlebih dahulu dilakukan pengukuran tanah. Mana mungkin mereka (BPN, Red) mengukur di atas air,’kata Ali yang juga politisi salah satu partai ini.

Sejumlah aktifis lingkungan  menuding adanya mafia tanah di kawasan teluk Kendari. “Aktifitas penguasan lahan di teluk kendari sangat massif dan terstruktur dan tidak berdiri sendiri. Jika ditelusuri maka akan sangat banyak aktior-aktor yang terlibat di sana,”kata Asdar.

Ia mencontohkan, terbitnya sertifikat tentu tidak terjadi begitu saja, ada proses atau tingkatan yang terjadi layaknya pengurusan tanah selama ini. Misalnya, sebelum sertifikat tanah diterbitkan, ada penerbitan surat keterangan kepemilikan tanah (SKT) yang diterbitkan oleh pemerintah kelurahan atau desa sehingga ini menjadi dasar oleh badan pertanahan untuk menerbitkan sertifikat.

“Tetapi perlu ingat, sebelum sertifikat diterbitkan, petugas berkewajiban melakukan peninjauan lahan untuk pengukuran. Jadi pertanyaan kita, kenapa sertifikat bisa terbit di atas laut? Berarti selama ini, petugas BPN tidak melakukan peninjauan lapangan atau pengukuran lapangan,”ungkap Kisran.

Beberapa waktu lalu, sejumlah lembaga pemerhati lingkungan dan organisasi wartawan kerap mengundang resmi Badan Pertanan Nasional Kota Kendari berdiskusi terkait terbitnya sertifikat di atas laut teluk kendari, namun kerap tidak hadir. Ini mengindikasikan pihak BPN Kendari tidak peduli atau bisa jadi mereka dengan sengaja menghindari diskusi dengan para pihak, karena takut menuai kritikan. Ini artinya, isu mafia tanah di teluk memang benar adanya,”tohok kisran.

Elemen pemerhati juga meminta kepolisian daerah sulawesi tenggara untuk turun tangan mengatasi permasalahan yang diduga melipatkan mafia tanah ini.   SK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!