KENDARI, suarakendari.com – Presiden Prabowo Subianto secara resmi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2025 yang mengatur penyesuaian jenis dan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor mineral dan batu bara (minerba). Aturan yang akan berlaku efektif pada 26 April 2025 ini mencakup sejumlah komoditas strategis seperti batu bara, nikel, tembaga, emas, perak, platina, dan timah.
Penyesuaian tarif PNBP ini disebut-sebut bertujuan untuk memperkuat ketahanan fiskal negara, mendukung program pembangunan nasional yang berkelanjutan, serta meningkatkan kualitas layanan publik. Pemerintah melalui PP ini melakukan perubahan signifikan pada beberapa tarif royalti, terutama pada komoditas bijih nikel.
Salah satu poin yang menjadi sorotan utama adalah perubahan skema tarif royalti untuk bijih nikel. Jika sebelumnya pengusaha nikel dikenakan tarif tunggal sebesar 10% dari Harga Mineral Acuan (HMA), kini skema yang berlaku adalah multitarif dengan rentang antara 14% hingga 19% dari HMA. Kenaikan tarif yang cukup signifikan ini sontak menuai reaksi keras dari kalangan pengusaha nikel di berbagai daerah, termasuk Sulawesi Tenggara yang dikenal sebagai salah satu produsen nikel terbesar di Indonesia.
“Kenaikan royalti ini sangat memberatkan kami. Dengan skema multitarif yang mencapai 19%, daya saing kami di pasar global bisa tergerus,” ujar salah seorang pengusaha minerba di Kendari yang enggan disebutkan namanya.
Ia menambahkan bahwa kenaikan biaya produksi akibat royalti yang lebih tinggi dapat mengancam keberlangsungan operasional perusahaan, terutama bagi perusahaan dengan margin keuntungan yang tipis.
Kebijakan ini dinilai kurang mempertimbangkan kondisi pasar komoditas yang fluktuatif dan berpotensi menghambat investasi di sektor pertambangan nikel. Mereka khawatir, kenaikan tarif royalti ini akan berdampak pada penurunan produksi, pengurangan tenaga kerja, hingga potensi relokasi investasi ke negara lain dengan kebijakan yang lebih kompetitif.
Sementara itu, pemerintah berargumen bahwa penyesuaian tarif PNBP ini telah melalui kajian yang mendalam dan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk potensi pendapatan negara dan keberlanjutan lingkungan. Kenaikan royalti diharapkan dapat meningkatkan kontribusi sektor minerba terhadap kas negara, yang selanjutnya akan digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan dan layanan publik.
Penyesuaian ini adalah langkah yang diperlukan untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sumber daya alam kita. Dana yang terkumpul akan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Kendati demikian, kalangan pengusaha nikel tetap berharap adanya dialog lebih lanjut dengan pemerintah untuk mencari solusi yang adil dan tidak memberatkan industri. Mereka mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan skema tarif yang lebih fleksibel dan disesuaikan dengan kondisi pasar global serta biaya produksi yang dihadapi oleh perusahaan.
Pemberlakuan PP Nomor 19 Tahun 2025 ini dipastikan akan menjadi perhatian utama para pelaku industri pertambangan, khususnya nikel, dalam beberapa waktu ke depan. Dampak dari kebijakan ini terhadap investasi, produksi, dan daya saing sektor minerba
Indonesia di kancah internasional akan menjadi sorotan utama. Bagaimana pemerintah akan merespons kekhawatiran para pengusaha nikel, masih menjadi pertanyaan besar yang menanti jawaban. Sk