Environment

Tambang Batu Rambah Kawasan Langgapulu

×

Tambang Batu Rambah Kawasan Langgapulu

Sebarkan artikel ini

Setelah moramo dan moramo utara aktifitas penambangan batu berskala besar kini merambah kawasan kecamatan kolono timur. Aktifitas penambangan batu dilakukan di pinggir jalan penghubung desa langgapulu dan Desa Wisata Namu. Jalan ini merupakan jalan baru yang dirintis dengan tujuan untuk membebaskan masyarakat dari keterisoliran wilayah agar bisa mendistribusikan hasil bumi mereka.

Aktifitas pertambangan batu di kawasan desa langgapulu, kecamatan kolono timur, kabupaten konawe selatan. foto: Joss

Di samping itu, keberadaan jalan juga diharapkan menjadi penunjang pengembangan kepariwistaan desa wisata namu dan pariwisata pantai tawatawaro langgapulu. Namun sayangnya, kondisi jalan sejauh 10 KM yang dana pembangunan bersumber dari APBD Kabupaten Konsel kini terancam rusak akibat dilalui oleh kendaraan alat berat milik perusahaan tambang batu.

Tak hanya itu, aktifitas tambang di kawasan hutan yang selama ini dikenal sebagai penyangga kawasan suaka margasatwa tanjung amolengu dengan tipe hutan alam terbuka ini dikuatirkan menjadi pintu masuk kerusakan lebih masif pada ekosistem kawasan khususnya kehidupan flora dan fauna yang menjadi bagian dari ekosistem kawasan hutan.

Timbun Laut 

Saat ini perusahaan juga telah menimbun laut dengan bongkahan batu dan lebih dulu menggusur kawasan hutan mangrove di pesisir langgapulu untuk membangun pelabuhan terminal khusus atau jetty.

Penimbunan laut di pesisir Langgapulu dikuatirkan akan berdampak pada pariwisata pantai Tawatawaro. foto: Joss

Selain rusaknya kawasan hutan dan ekosistem mangrove, aktifitas penambangan batu juga mengancam keberadaan kawasan pariwisata pantai tawatawaro yang berada cukup dekat dengan lokasi pembangunan pelabuhan khusus.

“Saya kuatir aktifitas penambangan akan merusak kualitas air laut di kawasan ini,”keluh Syamsuddin, pengelola wisata pantai tawa tawaro.

Pantai cantik ini menjadi primadona setahun belakangan dan banyak dikunjungi wisatawan karena panorama  pantai dan potensi bawa lautnya yang memukau. Kawasan ini dulunya merupakan kawasan budidaya ikan hias mengingat kondisi air lautnya yang sehat karena belum terkontaminasi sedimentasi lumpur tambang.

Petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tenggara saat dikonfirmasi terkait kawasan hutan yang tambang mengaku jika kawasan ini berada dalam kawasan dengan status Areal Penggunaan Lain (APL), artinya klawasan yang ditambang  tidak masuk dalam kawasan hutan lindung maupun konservasi. Sehingga, sepenuhnya, kawasan hutan tersebut adalah lahan masyarakat yang kemungkinan besar dibeli perusahaan.

Meski begitu, perusahaan dinilai oleh para penggiat lingkungan telah melakukan “langkah keliru” dengan membangun pelabuhan khusus tambang, karena diduga perusahaan belum mengantongi  ijin resmi dari pihak berwenang dalam hal ini kementrian perhubungan.  “Ini yang harus diperjelas dulu, apakah perusahaan ini sudah memiliki ijion resmi membangun pelaabuhan khusus atau belum,”kata Wawan, pemerhati lingkungan di Sulawesi Tenggara. SK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *