Historia

Sang Primadona Laut

×

Sang Primadona Laut

Sebarkan artikel ini
Nelayan konawe selatan membersihkan rumput laut. foto: Joss

 

Hari menjelang siang, tepat sinar matahari di tengah ubun-ubun, dua perahu sarat muatan rumput laut melintas. Air laut mulai surut, Dua lelaki dewasa sibuk mendayung menjaga keseimbangan kapal menuju dermaga kecil di ujung desa. Setelah posisi perahu benar-benar aman barulah mereka membongkar muatan, menurunkan hasil panen rumput laut yang masih segar dan berwarna keemasan itu. Rumput laut kemudian dihampar di atas para para yang terbuat dari bilah kayu bulat beralas terpal biru. Dua orang nelayan yang tergabung dalam kelompok kerja nelayan torobulu mulai membersihkan rumput laut dengan  cara melilit batang rumput laut dengan seutas tali yang disampirkan dalam bilik kayu, lalu ditarik dalam jarak dua meter.

Pekerjaan ini dilakoni warga setempat sejak sepuluh tahun lalu.

“Sejak boomingnya rumput laut, masyarakat sini semua langsung menanam rumput laut, yang tadinya tidak punya kerja, asal mau berusaha, semuanya bisa tanam rumput laut,”cerita  Basri nelayan di Desa Torobulu, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan. Warga begitu  antusias dalam lima tahun belakangan, apalagi beberapa dari masyarakat di desa ini sudah merasakan manisnya harga rumput laut. Satu kondisi yang memacu warga menjadi lebih produktif membudidaya rumput laut.

“Anak-anak muda disini yang tadinya kebanyakan nganggur, sekarang banyak yang sudah mampu beli motor sendiri, mereka tinggal datang ke pengumpul minta tali sama bibit, terus tanam rumput laut. Tunggu 45 hari, panen, dapat uang”, lanjutnya.

Lain lagi dengan kisah dari seorang pembudidaya rumput laut di Desa Bororo, Kecamatan Moramo. Kisah dimana rumput laut yang menjadi tumpuan ekonomi utama di desanya, sumber penghasilan utama yang mampu menarik minat dari tenaga kerja bidang lain untuk berbudidaya rumput laut. “Banyak orang dari gunung yang turun ke pantai untuk berbudidaya rumput laut sembari mereka bercocok tanam di gunung” kata Haji Udin, Ketua Kelompok nelayan di Bororo. Ia seolah meneguhkan betapa besarnya pengaruh rumput laut dalam kehidupan masyarakat di desanya.

“Dulu, sebelum ada rumput laut, masyarakat pesisir hanya terpaku pada kegiatan menangkap ikan, budidaya ikan pun hanya terbatas karena hanya terpaku pada tambak-tambak yang dimiliki oleh pemilik lahan. Sekarang tanpa tambak pun masyarakat bisa langsung berbudidaya dengan rumput laut” ujarnya sambil menunjuk lokasi budidaya rumput laut miliknya yangb berada di ujung desa.

ibu ibu bekerja membersihkan rumput laut. fotyo: Joss

Memang, hegemoni rumput laut memang sangat tampak di sebagian besar desa pesisir diKonawe Selatan kini. Hegemoni ini sangat dengan mudah terlihat. Begitu masuk ke desa pesisir, maka akan langsung tampak tumpah ruahnya masyarakat yang sedang menjemur rumput laut di pekarangan rumah, bahkan sampai ke bahu-bahu jalan. Begitu pula bila kita sampai di pinggir pantai desa tersebut, maka akan terlihat hamparan luas lahan rumput laut yang terbentang tak tampak ujung habisnya.

Potensi Besar

Rumput laut menjadi sumber pendapatan primadona di wilayah pesisir Sulawesi Tenggara (Sultra) hampir dua  decade . Menurut Laporan Tahunan Data statistik Perikanan tahun 2011, produksi rumput laut Sultra mengalami peningkatan produksi yang sangat besar. Produksi rumput laut di tahun 2009 sebesar 185 ribu Ton dan melonjak di tahun 2010 sebesar 518 ribu Ton. Lonjakan produksi rumput laut yang besar menjadi tanda bahwa bagaimana masyarakat pesisir sangat antusias berbudidaya rumput laut. Roda ekonomi pedesaan dapat berkembang dan terus berputar dengan membudidayakan rumput laut.

Tak hanya di Konawe Selatan, seluruh kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki potensi dan pengembangan rumput laut dengan total produksi diperkirakan ± 146.856 Kg/Tahun dengan luas lahan produksi ± 12.238 Ha yang didominasi jenis Eucheuma Cottoni.

Produksi tersebut diasumsikan, bahwa tingkat produksi rata-rata 3 ton/Ha/tanam dengan jumlah tanam rata-rata 4 kali per tahun dan dapat ditingkatkan hinga 4 – 5 kali lipat mengingat luas perairan laut yang dapat dikonversi menjadi lahan budidaya rumput laut ± 83.000 Ha. Jika potensi tersebut dimanfaatkan hingga 60% saja atau seluas 49.800 Ha, maka produksi rumput laut Sulaweasi Tenggara mencapai 759.600.000 Kg/tahun.

Perluasan lahan Produktif hingga 60% dari potensi sangat memungkinkan mengingat perairan laut sulawesi Tenggara sangat cocok untuk budidaya rumput laut, hal itu terbukti dari tingginya kualitas rumput laut Sulawesi Tenggara dan dapat ditanam sepanjang tahun.

Sejalan dengan program Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, yaitu peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, rumput laut yang merupakan salah satu produk unggulan Sulawesi Tenggara diharapkan dapat memberikan nilai tambah. Agar dapat memberikan nilah tambah, kedepan produk rumput laut tidak diperdagangkan antar pulau dalam bentuk kering (gelondongan), tetapi terlebih dahulu diolah  dalam bentuk tepung keraginan.

 Lokasi bahan baku untuk Industri rumput laut :

Teluk Pao-Pao,  Teluk Molawe,    Teluk Bone

Teluk Kolono,    Teluk Kasipute,   Teluk Masaloka

Teluk Lawele,     Teluk Lohia,       Teluk   Lasongko

Teluk Kamaru,    Teluk Kapuntori  Teluk Wakatobi,  Teluk Sampolawa

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah yang menargetkan produksi rumput laut nasional sebesar 5,1 juta ton. Indonesia kala itu berambisi menggusur Filipina sebagai negara penghasil rumput laut terbesar di dunia dengan jumlah produksi mencapai 5 juta ton per tahun. SK

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *