Humaniora

Perempuan Berjuang Hidupi Keluarga dengan Berdagang Buah Nanas

×

Perempuan Berjuang Hidupi Keluarga dengan Berdagang Buah Nanas

Sebarkan artikel ini

Namanya Krismiyati. Usianya terbilang muda, baru beranjak 26 tahun, asal Landono. Sehari hari –Kris begitu biasa disapa –berdagang buah nanas di pinggir jalan baypass arah lepo lepo kendari. Ia mengambil lokasi di sisi kiri bahu jalan yang jarak agak jauh dari pedagang lain.

Buah nanas itu diambil bukan dari hasil kebunnya, melainkan dibelinya dari petani nanas di Desa Sabulakoa, desa yang berjarak 10 KM dari rumahnya. “Selain sabulakoa, saya juga membeli nenas di mowila dan kadang mesan sama teman di Raha atau juga membeli dari pedagang asal Enrekang di kendari,”cerita Krismiyati.

Semua pedagang di jalan baypass kendari, lanjut Kris membeli di daerah yang disebutnya tadi. Tapi separuh pedagang juga mengambil daerah Arongo, Ranomeeto Barat, Konawe Selatan yang merupakan kampung transmigrasi penghasil buah nanas lokal.

Pedagang nanas di kawasan ini adalah pedagang musiman, jumlah mereka tak banyak hanya ada 11 pedagang saja, berjualan di sepanjang jalan baypass. Satu buah nanas dihargai antara Rp.15.000 – Rp.45.000 tergantung ukuran dan berat buah.

Kris dan para pedagang harus menunggu berjam-jam di lokasi ini menanti pembeli. “Alhadulillah kadang ada lima biji yang laku, beda beda tergantung rejekinya,”kata Kris.

Keuntungan yang tak seberapa itu, Ia sisipkan untuk membeli bahan makanan untuk keluarganya dan sisanya untuk diputar lagi membeli buah nanas baru,.

Kehidupan telah menempahnya menjadi perempuan kuat. Krismiyati mengaku setiap pagi Ia harus menempuh jarak 45 km mengendara motor dari desanya untuk menjual dagangannya demi menghidupi dua anaknya.

“Jalan menuju kampong Saya tak semulus jalan dalam kota, jalannya berlubang, kala hujan berlumpur, kala panas debu memenuhi udara. Sudah biasa, jadi dinikmati saja,”keluhnya.

Kondisi jalan konawe selatan memang tak semulus  sepuluh tahun lalu, terutama di daerah yang menghubungkan Kendari dan Mowila, Landono hingga ke kawasan Taman Nasional Rawa Aopa. Jalan berlubang dan sebagaian besar tidak lagi dibaluti aspal. Padahal jalur inilah yang digunakan mendistribusikan semua bahan pangan menuju kota kendari. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara yang sedianya pemilik kuasa atas perbaikan jalan di daerah ini urung menepati janji memperbaiki jalan jalan yang berstatus jalan provinsi di daerah ini.

 

Kendati jalan tak mendukung ekonomi petani, warga petani terkhusus kaum perempuan harus terus melanjut hidup mereka demi menghidupi keluarga mereka. SK

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *