Historia

Perempuan Kok Berpolitik?

×

Perempuan Kok Berpolitik?

Sebarkan artikel ini

Bulan November 2012 menjadi momen bagi kaum perempuan untuk berpartisipasi secara aktif di dunia politik khususnya diperhelatan pemilu Pemilukada Sulawesi Tenggara. Dan di bulan itu, ada saja cara para calon gubernur Sulawesi Tenggara memberi kesan peduli perempuan. Mereka dengan lantang berteriak di balkon kampanye, bahwa, mereka peduli nasib kaum hawa. Para calon gubernur yang diusung sejumlah partai politik mulai berupaya melakukan pendekatan komunikasi politik yang mengesankan adanya keinginan mengakomodir kepentingan perempuan.

Dalam berbagai kegiatan seperti, dialog terbatas hingga kampanye terbuka, misalnya, calon-calon menyatakan pentingnya keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di dunia politik. Trik politik ’baik hati’terhadap perempuan ini, tentu hanya sebuah alasan, apalagi kalau bukan ingin meraih simpati kaum perempuan dengan harapan agar dipilih. Terlebih melihat realitas pemilih perempuan merupakan pemilih dengan jumlah terbesar selama pemilu di Indonesia.

Upaya semacam ini hanya berlaku saat di kampanye saja, usai berkampanye dipastikan janji-janji para calon itu urung dilakukan. Tidak susah menebak arah politik yang demikian, karena dengan memeriksa dokumen visi misi para calon saja, maka rakyat akan tahu gaya politik ”pura-pura” ini. Dari temuan dokumen visi misi ke tiga calon gubernur sulawesi tenggara, sama sekali tidak memunculkan secara spesifik isu-isu yang berkaitan hak-hak perempuan.

Visi misi tiga calon gubernur masing-masing pasangan Nusa, pasangan BM Amirul dan pasangan Arbae, tak satu pun tertulis upaya memperjuangkan nasib perempuan di pemerintahan. Alih-alih mengakomodir justeru perempuan hanya menjadi lahan eksploitasi politik semata.

Ini sangat ironis, sebab perempuan selaku kelompok yang memiliki jumlah suara terbesar dalam beberapa pemilu terakhir, ternyata tidak memiliki peran dan posisi yang signifikan dalam pengelolaan kehidupan politik. Dengan kata lain posisinya sebagai mayoritas pemilih belumlah memberikan jaminan terhadap terpenuhinya kepentingan politik perempuan. Malah sebaliknya, ada kecenderungan upaya sistematis yang meminggirkan posisi politik perempuan, yang pada gilirannya menjadikan perempuan sebagai korban kebijakan poltik dan ekonomi yang dikelola berdasarkan perspektif dan cara-cara yang patriarki.

 

 

Kalau demikian, sangat wajar apabila banyak pertanyaan sejauhmana keseriusan partai-partai politik dan calon-calon kepala daerah dalam memenuhi kepentingan perempuan selaku pemilih suara terbesar. Apakah partai dan calon-calon kepala daerah tidak memahami kepentingan perempuan? Apakah tidak ada komitmen partai dan calon-calon kepala daerah tentang hal ini? Apakah kepentingan perempuan tidak pernah bisa diperjuangkan? Kalau bisa diperjuangkan, apa yang dilakukan partai dan calon-calon kepala daerah. Bagaimana partai-partai berikut calon-calon kepala daerah melakuannya?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mendorong solidaritas perempuan kendari untuk melaksanakan riset kecil di enam kabuaten/kota di sulawesi tenggara. Riset ini memang ditunjukan untuk melihat kembali dengan sungguh-sungguh apa dan bagaimana partai politik menempatkan posisi perempuan dalam perhelatan pesta demokrasi sekelas pilkada di sulawesi tenggara. Juga untuk melihat sikap pengurus partai politik melihat dan memaknai kepentingan perempuan di kancah politik.

Jauh di pedalaman sana, nasib perempuan harus berjuang keras menghidupi anak-anak mereka dari sistem perladangan, namun faktanya hak-hak mereka hilang setelah adanya ekspolitasi sumber daya alam yang besar dan semua itu merupakan buah dari partik kebijakan yang berlebihan dari penguasa, baik itu bupati maupun gubernur.

Kini perdebatan keterwakilan perempuan sedang tajam-tajamnya. Pertanyaannya adalah, apakah  perkembangan ini akan berujung pada pemenuhan kepentingan perempuan atau tidak.

Jika melihat hasil penjaringan hingga penetapan calon gubernur sulawesi tenggara oleh partai-partai politik yang seluruhnya calon adalah laki-laki maka menunjukkan belum adanya itikat para dari pengurus parpol yang mau mengaakomodir keterlibatan perempuan dalam kancah politik lokal.

Keputusan-keputusan politik yang berkaitan dengan kehidupan orang banyak esensi dan kepentingan yang terkandung di dalamnya sudah ditentukan sepihak dan kekuatan parpol yang notabene dikuasai laki-laki. Yang menjadi masalah dan sumber pesimisme perempuan saat ini adalah, harapan dan kenyataan tentang keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan yang sangat berbeda jauh. Faktor penghambat utama budaya patriarki yang masih dianut sebagian besar partai politik beserta perangkat pengurus partai politik dan masih kuatnya di masyarakat yang melihat perempuan sebagai warga kelas dua, disamping faktor perundang-undangan tentang partai politik yang diduga lahir dari kandungan budaya partriarki.

Hal ini tidak mudah dihadapi perempuan, karena siapapun yang berada di balik pandangan dan sikap itu, sangat menguntungkan upaya para politisi atau mereka yang memegang posisi di pusat kekuasaan karena tujuan mempertahankan kekuasaan. Upaya ke arah ini memang ditopang oleh penggunaan budaya patriarki yang diramu dengan berbagai tafsir agama, budaya, ilmu pengetahuan, bahkan identitas kesukuan atau simbol-simbol masyarakat adat, yang pada intinya meminggirkan posisi perempuan.

Dalam Sebuah kegiatan seminar yang digelar Solidaritas Perempuan Sultra merumuskan kriteria calon kepala daerah, salah satu narasumber yang diundang, Aswan Zanynu S,Sos, M,Si, akademisi Universitas Haluoleo mengungkap sebuah fakta mencengangkan soal partisipasi politikdan pembangunan, dimana kaum perempuan di Sultra lebih sedikit berperan dibanding laki- laki.

Di tahun 2012, Aswan melakukan riset di Kabupaten Kolaka. Dari 102 sample, hanya 3 % yang terlibat pada musyawarah rencana pembangunan (musrembang) itu pun hanya sekedar tahu dan mereka tidak terlibat dalam pengambilan keputusan. Ironisnya masih banyak dari mereka yang tidak mengerti apa itu parpol.

Disinilah pentingnya sebuah proses komunikasi berkelompok sebagai sebuah model berpartisipasi. Yang menjadi pertanyaan besar, mengapa kontribusi perempuan pada proses politik di sebuah momen pemilu masih sangat minim khususnya di Sulawesi Tenggara?

Dari piramida partisipasi politik, lanjut Aswan, terlihat jelas jumlah yang peduli pada pemilu sangat sedikit, padahal selama ini telah banyak usaha kelompok masyarakat yang mempengaruhi kebijakan pemerintah sebagai wujud partisipasi dan kepedulian pada kinerja pemerintah.

Menurut Azwan, dalam kaitan itu masyarakat dapat membagi diri, apakah merupakan kelompok masyarakat yang peduli politik, diantaranya kelompok kepentingan adalah suatu kelompok yang bersatu untuk mencapai tujuan, partisan, pemerhati atau apolitis saja. Setelah menempatkan posisi kita, bahwa melihat para calon melakukan rayuan politiknya di antaranya dengan metode kekerasan, ekonomi, politik, tradisional, ideology ataupun melalui media massa.

Harus lebih hati-hati dalam menggabungkan diri dalam suatu kelompok karena para balon biasanya melakukan berbagai cara untuk masuk terstruktur ke dalam suatu kelompok yang patut di hindari pastinya kelompok instusional atau yang telah diarahkan oleh calon tertentu. Baiklah sampai di sini dulu paparan saya kalau ada tanggapan masukan kita lanjutkan pada sesi diskusi dan selanjutnya saya serahkan pada moderator.

Ada dua hal yang dikemukanan Aswan, pertama, bagaimana melihat indikator keberpihakan pada perempuan pada pemilukada, dan kedua bagaimana menyikapi posisi partisipasi perempuan yang posesif.

Perkembangan ini tentu saja tidak hanya berakibat penderitaan dan ancaman terhadap kehidupan dan keberlanjutan hidup kelompok-kelompok atau keluarga-keluarga atau masyarakat luas yang tidak piunya akses pada kekuasaan atau pengambilan keputusan. Tetapi secara khsusus telah menimbulkan dampak yang luar biasa buruk pada kahidupan kaum perempuan, yang di dalam masayarakat umum masih sering diposisikan sebagai kelompok yang tidak memiliki posisi setara dengan kaum lelaki di dalam pengambilan keputusan.

Dunia partai politik oleh sebagian orang adalah dunia penuh intrik yang hanya mengenal hitam dan putih. Seperti kata pepatah politik ”Tak ada kawan yang abadi, tapi yang ada hanyalah kepentingan abadi”.

Perempuan dan politik merupakan dua dunia yang berbeda dan tidak dapat disatukan. Ibarat air dan minyak. Perempuan tempatnya di dunia perempuan yaitu di rumah, mengurus rumah tangga saja; meski bekerja di luar tetapi tetap juga harus mengurus mengurus rumah tangga, tidak perlu menentukan apa maunya, apalagi berpolitik.

Politik itu digambarkan sebagai dunia laki-laki di luar rumah, tempat laki-laki mengambil keputusan, sebuah kancah yang kotor dipenuhi oleh permainan kekuasaan dan uang. Singkatrnya, bukan tempat untuk perempuan. Kalaupun perempuan memberanikan diri untuk berpolitik maka diapun harus berani bersikap dan bertindak seperti umumnya laki-laki.

Rangkaian pertanyaan tentang kaitan politik dan perempuan ini kerap muncul kala organisasi Solidaritas Perempuan Sulawesi Tenggara melakukan kegiatan diskusi terkait pendidikan politik perempuan di berbagai kesempatan, termasuk diskusi tentang perempuan di momen-momen pemilu, pemilu legislative bahkan pilkada, sehingga terkadang memunculkan perdebatan panjang.

 

Berikut jumlah pemilih tetap pada pemilukada Sulawesi Tenggara tahun 2012;

 

No Kab/Kota Jumlah Laki-laki Jumlah Jumlah Perempuan

 

1 kolaka 122.489 115.501 237.990

2 Kota Kendari 108.486 108.486 216.505

3 Muna 99.193 107.217 206.410

4 Buton 98.738 99.026 197.764

5 Konawe Selatan 94.918 91.467 186.385

6 konawe 90.624 88.131 178.755

7 kota bau-bau 55.304 52.651 107.662

8 Bombana 52.347 51.047

9 Wakatobi 39.772 20.252 76.865

10 Buton Utara 20.615 20.230 40.845

11 Konawe Utara 20.252 18.718 38.970

Jumlah 40411 32695

**Sumber KPU Provinsi

 

Data Jumlah penduduk Se- Provinsi Sultra

No Kabupaten/Kota Jumlah (Jiwa) Ket.

1 Kota Kendari 295.737 L; 149.314, P; 146.423

2 Konawe 246.798 L; 126.102, P; 120.696

3 kolaka 321. 509 L; 165.137, P;156.396

4 kolaka utara 123.755 L; 63.795, P; 59.960

5 konawe selatan 269.853 L; 138.912, P; 130.941

6 muna 273.616 L : 132.112, P : 141.504

7 kota bau-bau 139.717 L; 68.997, P; 70.720

8 buton 260.801 L ; 126.893, P : 133.908

9 bombana 142.006 L; 71.767, P; 70.239

10 wakatobi 94.846 L; 45.529, P; 49.317

11 buton utara 55.825 L; 28.077, P; 27.748

12 Konawe Utara 52.560 L: 27.518, P; 25.042

Jumlah 2.277.020

Sumber : Sultra dalam angka 2011 (BPS sultra 2011)

Jumlah penduduk : 2.277.020 Jiwa

Perempuan : 1.132.867 jiwa

Laki-laki ; 1.144.153 jiwa

 

Naskah dinukil dari Buku Perempuan Sultra dalam Kancah Politik Lokal

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *