HistoriaJelajah

Negeri Watu Sangia

×

Negeri Watu Sangia

Sebarkan artikel ini

 

Saya mampir ke rumah ketua adat Pongkalero, Sahibu. Di sana warga telah hadir sejumlah tokoh adat, pemuka agama dan sejumlah anak-anak muda desa. Mereka menjamu dengan penuh keramahan. Dua jam berada di rumah angin mulai berhembus kencang, hingga nyaris mengangkat atap rumah. Kami semua yang berada dalam rumah hanya bisa terdiam sambil membiarkan angin mereda.

Sahibu, toko adat Desa Pungkalaeo menjulurkan jari menunjuk sebuah tanjung yang menjorok dominan ke lautan. Di seberang terlihat jelas pulau sagori dengan pasir putihnya. “Tak lama lagi hutan di tanjung itu akan hilang dan siap diolah perusahaan tambang,”kata Sahibu. Tanjung itu adalah ‘benteng’ bagi Desa Pongkalaero dengan dua desa lainnya di pesisir. Benteng kokoh ini mampu menahan hembusan angin laut yang terkenal kencang itu. Nah, mungkin itu pula makna dari para leluhur yang terus meminta anak-anak mereka untuk tetap  menjaga dengan kuat hutan-hutan mereka, sebab jika tidak, bukan saja mata rantai sumber daya alam yang akan hilang, tetapi ekosistem laut juga akan terancam jika laju ekploitasi dilakukan. Bukan itu saja ancaman bagi keselamatan warga desa dan harta benda masyarakat menjadi pertaruhan besar, seperti yang akan terjadi jika kelak nikel yang beerada semenanjung kabaena dibongkar, demi memuskan nafsu para pemodal yang serakah. Sepenggal kisah miris ini menghinggapi kehidupan masyarakat di Pulau Kabaena di hari-hari belakangan ini.

Menjejak tanah kabaena khusus di sisi selatan adalah kali pertama bagi saya. Saya dan Abdul Halim rekan jurnalis Metro TV menumpang kapal ‘Setia Kawan” melalui Pelabuhan Kasipute, Kecamatan Rumbia, Kabupaten Bombana. Pelabuhan Kasipute merupakan pintu masuk menuju Pulau Kabaena. Ada beberapa kapal yang beroperasi melayani rute tersebut, di antaranya Era Mas, Setia kawan dan Kabaena Ekspres.

Untuk menuju Pulau Kabaena, kita dapat menggunakan kapal penumpang reguler yang beroperasi satu kali sehari. Jarak tempuh kurang lebih lima jam mengharuskan kami membayar ongkos 80 ribu rupiah per orang. Kapal lambat laun membelah lautan biru dengan panorama alam membentang.

Di kejauhan Nampak rumah-rumah penduduk berjajar rapi baak anai-anai. Rumah-rumah warga suku bajo dan bugis pesisir. Pulau dengan luas 876 Km2 tersebut dihuni sekira 12.000 jiwa. Pulau Kabaena terdiri atas enam kecamatan yang sebagian besar berada di pesisir dengan komunitas Suku Bajo sebagai penghuninya.

Persebaran Suku Bajo di Pulau Kabaena antara lain di Kecamatan Kabaena Barat (Desa Baliara Laut yang terdiri atas Dusun Bambanipa Laut dan Dusun Tanjung Malake, Desa Baliara Kapulauan dan Desa Sikele yang terdiri atas Dusun Tanjung Perak, Dusun Pulau Sagori dan Dusun Pulau Mataha). Di Kecamatan Kabaena Selatan, Suku Bajo tersebar di Desa Batua dan Desa Pangkalero dan Desa Mapila di Kecamatan Kabaena Utara.

Hutan hijau beratap langit yang panas mengernyitkan mata setiap penumpang kapal. Beberapa pulau seperti mengapung di lautan terlihat nampak berwarna kecoklatan. pulau-pulau kecil berpenghuni ini nampak gersang. Bukit-bukit di belakang rumah penduduk kelihatan gosong seperti habis terbakar. Inilah gugus pulau-pulau kecil yang menjadi incaran para penambang. Beberapa pria berkulit putih bersih dan bermata sipit yang sekapal dengan kami memandang bukit-bukit kecil itu dari balik dinding kapal. Sedapatnya matanya yang kecil Nampak silau cahaya matahari yang terik di lautan. Dari kantung baju Ia mengeluarkan kacamata hitamnya, lalu digunakan. Kedua anak muda ini adalah tim eksplorasi sewaan salah satu perusahaan tambang di kabaena. Karena tidak puas keduanya naik ke anjungan kapal, saat menjelang sore.

Saya ikut beranjak naik anjungan. Angin laut yang mulai dingin langsung menyerbu wajah. Di kejauhan mulai nampak gunung watu sangia. Gunung itu memberi tanda, kapal sudah hampir tiba di ibukota kabaena, Kelurahan Sikeli.

Bentang alam pulau kabaena didominasi oleh pegunungan. Kokoh dengan kesan anggun. Diantara deretan pegunungan, sebuah bukit kars menjulang gagah bernama Batu sangia. Simbol yang mewakili kehidupan masyarakatnya. Pantai beraneka warna membentuk garis imajiner, batas antara darat dan samudera. Sementara gugusan pulau-pulau kecil yang terbentuk dari atol maupun bukit pasir yang ditumbuhi pinus adalah daya tarik tersendiri. Sebuah lanskap yang memanjakan mata.

Masyarakat kabaena umumnya memilih membangun pusat-pusat pemukiman di lembah-lembah gunung yang terdapat aliran sungai maupun di pesisir pantai. Tanah yang subur memungkinkan pertanian sebagai penyokong utama ekonomi mereka. Tak heran jika kerajaan buton saat itu menjuluki daerah ini sebagai “kobaena” atau penghasil beras meski orang-orang eropa lebih suka menyebutnya sebagai “comboina”. orang-orang pribumi sendiri menyebut kampung halaman mereka sebagai tokotu’a.

Di masa lampau pada sekitar abad ke-16, kerajaan Tokotu’a atau kabaena yang berpusat di kaki gunung sangia wita bernama tangkeno, mencapai puncak kejayaannya. Kemakmuran tercipta seiring dengan tumbuh suburnya pertanian, yang dibarengi dengan berkembangnya khasanah budaya, seni dan kearifan lokal. Ironisnya, Setelah pemerintah memegang kendali kuasa atas segala kekayaan alam atas nama Negara, negeri kabaena justru terjerembab dalam kemiskinan yang akut.

Pulau Kabaena, di masa lampau merupakan pusat Kerajaan Moronene, salah satu etnis di Sultra. “Benteng Tawulagi, tempat pelantikan mokole (raja), merupakan bukti kuat bahwa Kabaena pernah menjadi pusat Kerajaan Moronene,” kata tokoh budaya Kabaena, Abdul Majid Ege, sebagaimana ditulis Yamin Indas wartawan senior di Kendari asal Kabaena, di situs pribadinya.

Menurut Madjid, ada beberapa benteng penunjang benteng utama Tawulaagi, yaitu Benteng Doule, Tontowatu, Mataewolangka dan Tuntuntari. “Benteng Tawulagi merupakan tempat pelantikan mokole, mataewolangka tempat mengintai musuh dari arah selatan, Benteng Doule tempat mengintai dari arah barat dan utara dan dua benteng penunjang lainnya masing-masing tuntuntari dan tontowatu merupakan tempat mengintai dari arah timur,” katanya.

Di wilayah daratan tenggara Sulawesi sebagai asal muasal etnis Moronene Kabaena, tidak ditemukan benteng seperti di Kabaena. Itu membuktikan pusat Kerajaan Moronene memang di Kabaena, bukan di wilayah daratan. Di Benteng Tawulagi, kata Abdul Majid Ege, selain masih tampak batu besar dan agak tinggi tempat melantik Mokole, juga terdapat sebuah meriam besar. Dulu, kemungkinan besar untuk melawan penjajah Belanda maupun Tobelo.”Tobelo merupakan sekelompok orang pada zaman dulu yang kerjanya sebagai perompak laut, bahkan tidak segan-segan merampas dan membunuh warga di daratan,” katanya.

Menurut Abdul Madjid, benteng-benteng di Kabaena diperkirakan didirikan pada tahun 1600-an yang digunakan sebagai tempat persembunyian dan tempat bertahan dari para musuh.

Dengan wilayah pegunungan dan laut, Pulau Kabaena memiliki banyak kekayaan alam. Di laut, keanekaragaman terumbu karang menjadi faktor penentu banyaknya ketersediaan ikan. Sirkulasi air laut yang berhadapan dengan laut lepas menjadikan daerah tersebut menjadi penghasil rumput laut. Sementara di darat, kekayaan alamnya juga tak kalah, sehingga kuasa pertambangan bermunculan. Setidaknya ada kandungan nikel, emas dan batu kromrik matahari.

Naskah dan Foto : Joss Hasrul

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *