Environment

Negara Perlu Lindungi Masyarakat Rentan dari Dampak Perubahan Iklim

×

Negara Perlu Lindungi Masyarakat Rentan dari Dampak Perubahan Iklim

Sebarkan artikel ini

Jakarta, suarakendari.com- Penanganan perubahan iklim kini ditafsirkan sebagai bagian dari kewajiban negara untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi manusia (HAM). Pada tanggal 28 Juli 2022, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi
resolusi yang menyatakan bahwa hak atas lingkungan yang bersih, sehat, dan
berkelanjutan sebagai hak asasi manusia (HAM) universal.

Menurut Majelis Umum PBB, pemenuhan atas hak tersebut dihambat oleh fenomena degradasi lingkungan secara global, termasuk dampak perubahan iklim. Dua bulan setelahnya, tepatnya
tanggal 22 September 2022, dalam kasus Torres Strait Islanders1, Human Rights Committee2 menyatakan Pemerintah Australia melanggar HAM masyarakat Torres Strait Islands dikarenakan upaya adaptasi perubahan iklim Pemerintah Australia yang tidak memadai dan tepat waktu.

Pada tahun 2020, Human Rights Committee menerima pengaduan dari beberapa penduduk masyarakat adat minoritas di Torres Straits Islands terkait tidak memadainya upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim Australia yang berakibat pada pelanggaran hak-hak sipil politik mereka. Hak-hak tersebut tercantum dalam Pasal 2 ICCPR, Pasal 6 ICCPR (hak untuk hidup), Pasal 17 ICCPR (hak atas privasi, keluarga,
dan tempat tinggal), Pasal 24 ICCPR (hak anak), dan Pasal 27 ICCPR (hak atas budaya minoritas).

Human Rights Committee sendiri merupakan komite beranggotakan ahli-ahli yang memiliki mandat, termasuk diantaranya meninjau pelaksanaan International Covenant on Civil and Political Rights oleh negara dan menerima dan memberikan keputusan terkait pengaduan pelanggaran hak-hak sipil politik dari individu di
negara anggota ICCPR.

Pengadu mendalilkan Pasal 6 telah dilanggar karena Pemerintah Australia gagal mencegah hilangnya nyawa yang dapat diprediksi dari dampak perubahan iklim dan melindungi hak atas hidup pengadu. Terkait Pasal 17, pengadu
mendalilkan bahwa perubahan iklim telah menimbulkan gangguan terhadap kehidupan pribadi, keluarga, dan rumah pengadu yang kemungkinan harus meninggalkan tempat tinggal mereka. Pengadu mendalilkan pelanggaran Pasal 27 dikarenakan perubahan iklim telah menyebabkan perubahan gaya hidup tradisional para pengadu dan mengancam mereka untuk pindah dari pulau yang menjadi bagian inti dari budaya mereka. Pelanggaran Pasal 24 (1) didalilkan berdasarkan kegagalan
Pemerintah Australia dalam mengambil langkah untuk melindungi hak generasi yang akan datang dari komunitas pengadu termasuk anak pengadu yang akan sangat terdampak oleh perubahan iklim.

Human Rights Committee menyatakan bahwa pengaduan ini dapat diterima (admissible) sesuai dengan fungsi Human Rights Committee dan kemudian menyatakan Pemerintah Australia terbukti melanggar Pasal 17 dan 27 ICCPR. Australia melanggar Pasal 17 dikarenakan kegagalan untuk menjelaskan penundaan
langkah-langkah adaptasi perubahan iklim, khususnya berkaitan permintaan peningkatan tanggul laut (upgraded seawalls) oleh pengadu, dan tidak menangani berkurangnya sumber pangan masyarakat akibat perubahan iklim. Pasal 27 dilanggar dikarenakan Australia gagal mengambil langkah adaptasi yang tepat waktu dan mumpuni untuk melindungi kemampuan kolektif pengadu dalam menjaga cara hidup
tradisional dan meneruskan budaya, tradisi, serta penggunaan sumber daya di darat dan laut ke generasi berikutnya.

Meskipun tidak menyatakan adanya pelanggaran Pasal 6 ICCPR (hak untuk hidup), Human Rights Committee memberikan tafsiran yang dapat dikembangkan di kasus-kasus berikutnya. Dalam melindungi hak atas hidup, negara berkewajiban untuk mengambil segala langkah yang diperlukan (due diligence obligations) dalam rangka menangani ancaman yang dapat diprediksi secara logis (reasonable foreseeable threat) dan situasi yang mengancam kehidupan (life threatening situation). Dampak perubahan
iklim dapat dicantumkan dalam kedua situasi tersebut. Terdapat perbedaan penafsiran
(partially dissenting) di antara Human Rights Committee atas keberlakuan Pasal 6, dimana 3 (tiga) anggota menyatakan Pemerintah Australia terbukti melanggar Pasal 6. Alasannya, Pemerintah Australia tidak mengambil langkah-langkah adaptasi yang tepat waktu setelah menerima berbagai pengaduan masyarakat terkait mitigasi dan adaptasi dan mengetahui tentang dampak perubahan iklim yang telah dirasakan pengadu.

Terdapat 4 (empat) keunikan dari Keputusan Human Rights Committee dalam kasus Torres Strait Islanders. Pertama, kasus ini pertama kalinya climate-vulnerable inhabitants dari pulau berdataran rendah (low-lying islands) mengajukan tuntutan hukum kepada suatu negara terkait perubahan iklim ke Badan Traktat HAM PBB (UN human rights treaty bodies). Kedua, kasus ini pertama kalinya negara dinyatakan melanggar HAM oleh Badan Traktat HAM PBB dikarenakan tidak memadainya upaya adaptasi perubahan iklim. Ketiga, negara dinyatakan bertanggung jawab atas emisi Gas Rumah Kaca yang diproduksi oleh negara tersebut. Keempat, negara berkewajiban mengambil langkah-langkah positif (positive measures) untuk melindungi hak masyarakat adat atas budaya yang terancam oleh dampak perubahan iklim.

Kasus Torres Strait Islanders perlu dicermati oleh pemerintah-pemerintah di seluruh dunia, terutama Indonesia sebagai negara dengan jumlah climate vulnerable inhabitants yang tinggi. Badan Pusat Statistik (2020) menyatakan bahwa dampak perubahan iklim seperti kenaikan
air laut, ancaman gelombang ekstrim, dan
banjir rob akan mengancam 42 juta penduduk Indonesia yang tinggal kurang dari 10 meter di atas permukaan laut.

Selain itu, Indonesia berada dalam posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. IPCC (2021) mencatat perubahan iklim berdampak pada peningkatan gelombang laut ekstrim dan cuaca ekstrim di wilayah Asia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyimpulkan bahwa dampak perubahan iklim mengubah morfologi pantai, merendam pulau-pulau kecil, dan mencemari sumber air tawar. Dampak perubahan iklim telah dirasakan di pulau-pulau kecil sebagaimana
terlihat dalam data Satelit LAPAN3. Pulau Nipa, Pulau Anak Krakatau, Pulau Kalinambang, Pulau Anak Ladang dan Pulau Karakitang telah kehilangan wilayahnya karena terdampak kenaikan permukaan air laut.

BNPB (2020) juga mencatat selama tahun 2016-2018, 1.685 desa tepi laut terkena gelombang pasang.4 Ilmuwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memperkirakan adanya kenaikan permukaan air laut di wilayah barat Indonesia setinggi 3.10-9.27 mm per tahun.

Lebih lanjut, berdasarkan laporan BPS (2020), cuaca ekstrim, dan gelombang laut menghantam
kehidupan nelayan tangkap dan berdampak pada masyarakat yang tinggal di pesisir. Badan Pusat Statistik, Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir: Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir, (Jakarta: BPS RI, 2020)

Sebagai negara penghasil emisi GRK terbesar ke-7 di dunia , Indonesia perlu mengakselerasi upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, khususnya di pulau-pulau berdataran rendah yang rentan akan dampak perubahan iklim. Pendayagunaan Nature based Solution (NbS), khususnya ekosistem karbon biru, perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Ekosistem karbon biru, yang terdiri dari padang lamun dan mangrove, memiliki kemampuan penyimpanan karbon yang lebih tinggi dari hutan
terestrial (Mcleod, 2011). Mangrove juga berperan penting dalam adaptasi perubahan
iklim sebagai penahan laju ombak. Indonesia merupakan negara dengan pemilik mangrove terluas terbesar di dunia. Namun, laju degradasi dan deforestasi mangrove di Indonesia cukup mengkhawatirkan.

Pada sebuah studi yang dilakukan pada tahun
2009-2019, Indonesia mengalami deforestasi mangrove seluas 182,091 ha dan degradasi mangrove seluas 79,050 ha.8 Oleh karenanya, pemerintah Indonesia perlu menetapkan mangrove, khususnya mangrove eksisting, sebagai critical natural resources yang harus dilindungi, serta menghentikan segala upaya kegiatan yang dapat merusak mangrove.

Di Indonesia, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tercantum dalam Konstitusi (Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945). Putusan No. 55/Pdt.G/2013/PN.Smdn (Perkara Samarinda Menggugat) dan Putusan No. 374/Pdt.G/LH/2019/PN.JKT.PST (CLS Polusi Udara Jakarta) telah mengakui kerusakan
lingkungan sebagai pelanggaran hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Namun demikian, kausalitas antara dampak perubahan iklim dan hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat belum pernah disimpulkan dalam putusan pengadilan.
Sebagaimana ditegaskan dalam Resolusi PBB pada tanggal 28 Juli 2022, dampak perubahan iklim berimplikasi buruk terhadap pemenuhan efektif HAM (effective enjoyment of human rights), termasuk hak atas lingkungan yang baik, sehat, dan berkelanjutan. Keputusan Human Rights Committee dalam kasus Torres Strait Islanders perlu dijadikan momentum bagi Pemerintah, aparat penegak hukum, akademisi, dan masyarakat sipil dalam mewujudkan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang
lebih ambisius dan responsif. Menunda untuk melakukan mitigasi dan adaptasi yang memadai, berpotensi untuk menimbulkan ancaman pelanggaran HAM oleh negara.

Dalam pernyataan bersama dua lembaga masing-masing Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) dan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), disampaikan beberapa langkah aksi untuk menindaklanjuti (call for actions) kasus Torres Straits Islanders: “Pertama, Untuk Pemerintah Indonesia: Pemerintah perlu meningkatkan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim berdasarkan kajian komprehensif tentang dampak perubahan iklim yang melibatkan masyarakat terdampak (genuine participation) dengan metode yang teruji secara ilmiah. Langkah ini perlu dikomunikasikan secara berkala dengan transparan dan akuntabel. Lebih dari itu, guna
menjalankan amanat Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945, Pemerintah Indonesia perlu menetapkan ekosistem karbon biru dan hutan sebagai critical natural capital yang tidak bisa dipindahkan (irreplaceable) dan tidak bisa digantikan
(non-substitutable) dalam rangka menjamin pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Penetapan ini harus diiringi dengan pembentukan dan pelaksanaan instrumen dan kebijakan perlindungan lingkungan hidup yang kuat,”tegas Chenny Wongkar, pengiat IOJI

Kedua,. Untuk hakim: Hakim perlu mengakomodir pertimbangan hukum terkait dampak perubahan iklim secara ilmiah, serta menghubungkan kausalitas antara HAM
dan perubahan iklim dalam putusannya. Untuk itu, diharapkan hakim merujuk dan mereferensikan pada dokumen hukum relevan, salah satunya kasus Torres Straits Islanders.

Ketiga, untuk akademisi/komunitas ilmiah: Mengarusutamakan diskursus dan
penelitian terkait dampak perubahan iklim utamanya pada masyarakat terdampak langsung.

” Untuk LSM dan masyarakat sipil: Bersama-sama mengawal komitmen dan
target perubahan iklim Indonesia, memberikan pemahaman tentang hak-hak
dasar kepada masyarakat terdampak dan melakukan upaya pendampingan
kepada masyarakat terdampak yang sedang membela hak-hak nya dari potensi
pelanggaran hak atas lingkungan hidup yang sehat,”kata Stephanie R Juwana.
Sk

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *