Historia

Nasib Petani Aren, Bertahan dalam Kepungan Tambang

×

Nasib Petani Aren, Bertahan dalam Kepungan Tambang

Sebarkan artikel ini

Di Tangkeno, Kabaena Tengah, bahan baku air aren tidak lah sulit, sebab, pohon-pohon aren tumbuh subur di hutan desa, khususnya di lembah-lembah bukit dekat sumber air. Ada juga pohon aren yang tumbuh di areal perkebunan warga. Setiap pohon aren diberi tanda khusus berupa bambu betung berdiameter 30 cm dan memiliki panjang satu meter, lengkap dengan nama pemiliknya. Bambu tak sekedar sebagai penanda hak milik, tetapi berfungsi sebagai penyimpanan air nira yang telah disadap.

Di Desa Tangkeno, Kecamatan Kabaena Tengah terdapat sejumlah lokasi penbuatan Gula Aren yang berjarak sekitar dua kilo meter dari Desa. Letaknya, di lembah subur, penuh dengan aneka tanaman jangka panjang.

Para pemuda desa bekerja mengambil air aren saat lepas shalat subuh. Matahari belum pula nampak di ufuk. Adalah Amar (30 tahun), pemilik sentra gula aren di desa ini. Sejak pagi pria dua anak ini sudah bergulat dengan asap pekat di dalam gubuk miliknya. Sesekali Ia menyeka matanya yang terus berair dengan kain baju yang disampir di bahu. Asap berasal dari proses pembakaran kayu di tungku tanah yang dibuat khusus dengan cara melubangi tanah seukuran satu meter. Tangan kanan mengaduk-aduk air nira dalam wajan tua yang telah mendidih. Sesekali tangannya mengipas bara kayu di tungku tanah agar api tetap menyala.

Amar melakoni pekerjaan ini sejak masih duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar. Pengetahuan itu turun dari ayahnya, Burhan, yang juga seorang pembuat gula aren di Desa Tangkeno. “Ini sudah semacam bisnis keluarga, dan membuat gula aren sudah turun temurun,”ujar Amar.

Gubuk berukuran 6 x 5 meter dan berdinding papan kayu dibangun Amar di pinggir jalan desa, tepat di area kebun cengkeh miliknya. Ia tak sendiri bekerja di gubuk itu. Sehari-hari Ia ditemani, Idris dan Gunar yang masih kerabat dekatnya. Namun di hari itu, kedua rekan Amar berhalangan hadir, membuat pemuda asal Tangkeno itu harus bekerja ekstra. Bekerja memproduksi gula aren memang tak gampang, karena, memerlukan beberapa tahapan pekerjaan, seperti, kegiatan menyadap air aren, memasak air aren hingga proses pencetakan. Karena kerumitan itu, warga menyiasati dengan membentuk kelompok usaha bersama.

Di seantero Pulau Kabaena, Desa Tangkeno dikenal sebagai desa penghasil gula aren bercita rasa tinggi. Karena kualitas gula yang dihasilkan cukup baik, maka banyak pedagang dari Sikeli dan sekitarnya memesan gula di desa ini. Setidaknya, terdapat 10 kelompok usaha gula aren di desa itu. Salah satunya kelompok usaha milik Amar. Dalam seminggu Ia dapat memproduksi gula aren sebesar 300 Kg. Namun, semua tergantung pesanan. Sebongkah gula aren dihargai 7000 rupiah, ukurannya kecil karena dicetak dalam batok kelapa.

Sayang, tradisi membuat gula aren perlahan meredup. Tidak banyak lagi anak-anak seangkatan Amar yang mau melakoni pekerjaan ini. Banyak pemuda di Kabaena memilih bekerja sebagai buruh tambang , seiring kehadiran pertambangan di Pulau berpenduduk 30 ribu jiwa tersebut. Pola hidup warga yang dulunya sebagai petani aktif, perlahan berganti menjadi masyarakat konsumtif. Banyak warga kini telah menjual tanah dan areal perkebunan mereka ke investor tambang karena tergiur uang instan.

Kondisi yang membuat penggiat LSM Sagori, Sahrul Gelo, sedih sekaligus geram dengan sikap pemerintah daerah yang terus mengeluarkan ijin tambang di daerah itu. “Terdapat 30 Ijin Usaha Pertambangan di Pulau Kabaena. Pemberian ijin tambang di Pulau Kabaena telah mengubah perilaku sosial dan budaya di masyarakat Kabaena. Masyarakat yang dulunya sebagai petani kini menjadi buruh tambang. Warga kehilangan mata pencaharian utama mereka sebagai petani karena tidak ada lagi lahan yang dapat digarap,”ujar Sahrul Gelo.

Ancaman hilangnya pangan lokal kini semakin di depan mata. Hasil penelitian LSM Sagori, salah satu lembaga yang bernaung di lembaga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan telah 15 tahun bekerja di Pulau Kabaena, menemukan fakta mencengangkan, dimana, saat ini ketergantungan masyarakat dengan pangan impor telah mencapai 90 persen. “Dulu pangan lokal cukup tersedia di Kabaena, karena hampir setiap warga memiliki areal pertanian sendiri. Kita mau makan beras merah, sayuran dan daging semua tersedia dengan mudah. Nah, kini daun kelor saja sudah diimpor dari luar kabaena, ini sangat ironis,”kata Sahrul Gelo.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *