Historia

Mungkinkah Perlindungan Tanaman Sagu Sebagai Sumber Pangan Lokal?

×

Mungkinkah Perlindungan Tanaman Sagu Sebagai Sumber Pangan Lokal?

Sebarkan artikel ini
Rumpun sagu

Sagu erat kaitannya dengan kehidupan etnik Tolaki, karena sagu memiliki nilai sejarah bagi Tolaki. Sagu telah dikenal masyarakat Tolaki sejak abad ke-7 dan berkembang pada abad ke- 15 hingga masa kini. Sagu memiliki kedudukan yang sangat vital. Sagu sebagai simbol ekonomi Tolaki sebagai ukuran kekayaan (hapo-hapo), cadangan pangan, sumber makan dan usaha lainnya. Pada masa lalu, sagu juga merupakan harta warisan (hapo-hapo tiari), dan simbol kesejahteran. Sagu memiliki nilai filosofi berupa nilai sosial kekeluargaan atau kekerabatan, nilai persatuan dan kesatuan dan nilai religius. Secara ekologi, setiap pemukiman Tolaki terdapat lahan sagu (epe) yang berfungsi untuk menahan dan menyuburkan tanah, dimanfaatkan untuk membuat sumur karena dapat menyimpan air, pada ekosistem sagu hidup berbagai habitat berupa ikan dan tumbuhan yang dapat dimanfaatkan. ekosistem sagu dapat menyediakan kehidupan berbagai jenis ikan. Dengan demikian, sagu merupakan salah satu elemen penting dalam kehidupan masyarakat Tolaki.Kata Kunci: Sagu, Sejarah, dan Tolaki

Sagu atau tanaman sagu dalam kehidupan masyarakat Tolaki, merupa-kan suatu tanaman yang cukup penting. Beberapa indikator terkait dengan pernyataan di atas adalah, pertama, bah-wa tanaman sagu merupakan suatu tanaman yang menjadi sumber ma-kanan pokok bagi masyarakat etnik Tolaki. Kedua, pada masa lalu masyara-kat Tolaki memperkembangkan teknologi tepat guna pengolahan kayu, bagian luar batang sagu (kulit luar pohon sagu)

Berbagai isu kunci yang menjadi temuan dari Audit Sosial Bisnis dan Hak Asasi Manusia yang dilakukan YPSHK Sultra di tiga sektor yaitu perkebunan, pertambangan dan energi. Di Desa Puuloro Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe sebagai wilayah sasaran audit di sektor perkebunan. Sebagaimana diketahui bahwa di Desa Puuloro kini sedang beroperasi dua korporasi perkebunan sawit yang tergabung dalam satu manajemen group PT. SJAI (Sinar Jaya Agro Investama). Dua perusahaan yang dimaksud adalah PT. HAM (Harlitama Agri Makmur) dan PT. SSL (Sultra Sawitindo Lestari).
Di Desa Puuloro, salah satu isu kunci yang menjadi temuan Audit Sosial Bisnis dan HAM yang telah berlangsung selama enam bulan ini adalah hilangnya mata pencaharian dan pergeseran ruang hidup masyarakat Puuloro sebagai akibat dari pembukaan dan alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit. Dimana lahan yang dulunya difungsikan oleh warga Desa Puuloro sebagai kebun sagu, tanaman lainnya, sebagian besar kini telah berubah menjadi lahan perkebunan sawit milik PT. HAM dan PT. SSL. Selain itu, dampak dari pembukaan lahan secara besar-besaran tersebut telah mengakibatkan sumber mata air yang menjadi habitat tanaman sagu kini tergeser sehingga bila tidak segera diatasi tanaman sagu sebagai sumber pangan lokal utama bagi masyarakat Puuloro bisa mengalami kepunahan.

Round Table Discussion dengan tajuk Meningkatkan Tanggung Jawab dan Kemitraan Untuk Pembangunan dan Masyarakat Berkelanjutan yang diselenggarakan YPSHK Sultra pada Kamis 7 Mei 2015 silam telah  menginisiasi upaya dalam rangka mengatasi dampak hilangnya mata pencaharian dan potensi punahnya tanaman sagu. Diskusi ini dihadiri oleh Bappeda Kabupaten Konawe, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Konawe, Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe, Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Konawe, Dinas Sosial Kabupaten Konawe.

Dalam kegiatan tersebut mantan Camat Sampara Maruahin Taha yang juga mewakili Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Konawe mengungkapkan Desa Puuloro adalah desa yang kaya akan sumber mata air. Bahkan di desa tersebut terdapat sumber mata air yang cukup besar. Sehingga di desa tersebut sangat potensial untuk membudidayakan tanaman sagu.

“Pada saat awal masuknya perusahaan di Desa Puuloro mereka banyak menjanjikan kesempatan kerja. Pada saat saya masih menjadi camat, saya juga sempat melakukan mediasi beberapa kesepakatan antara dengan masyarakat. Salah satu hasil dari kesepakatan tersebut bahwa perusahaan hanya menggunakan lahan selama 30 tahun. Kemudian kesepakatan tentang pohon sagu milik warga, perusahaan hanya boleh melakukan penanaman sawit 20 meter dari pohon sagu milik warga. akan tetapi kesepakatan ini sepertinya tidak diindahkan” ungkap Maruahin.

Menurut Maruahin, kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit tidak selamanya berdampak negatif. “Sejak perusahaan masuk pendapatan masyarakat meningkat karena pertanian tradisional yang dilakukan masyarakat hasilnya jauh lebih sedikit dan sedangkan bertanam padi hanya sebagai kegiatan pendukung saja. Lagipula menanam padi itu sudah dilarang pada kemiringan-kemiringan lereng gunung tertentu” ujar Maruahin.

Ia menambahkan, dengan masuknya perusahaan justru telah membuka jalan desa sejauh 12 km sampai perbatasan Kota Kendari. Karena dulunya sebelum perusahaan masuk, masyarakat hanya mengandalkan atau menunggu jadwal pasar Pohara untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari, tapi sekarang setelah terbukanya akses jalan ini, malam haripun mereka langsung turun berbelanja dikota kendari untuk memenuhi kebutuhan harian mereka.

Demikian pula yang diungkapkan oleh perwakilan dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Konawe Muh. Ilyas. Ia mengakui bahwa dengan masuknya perusahaan perkebunan, pertambangan dan perusahaan lain telah membuka peluang kerja bagi masyarakat sehingga banyak tenaga kerja terserap di dalam perusahaan. Perusahaan pun membuka peluang kesempatan kerja bagi siapa pun yang berpotensi untuk bekerja di perusahaan. Namun pihak Dinas Pertanian dan Perkebunan berharap agar tanaman kakao yang sementara giat-giatnya dibudidayakan oleh pemerintah dan masyarakat agar juga diperhatikan karena sekarang ini banyak tanaman kakao dan tanaman rempah yang lain yang sudah mencapai sudah seharusnya dipanen seperti lada tergeser dan dialihfungsikan oleh perusahaan menjadi perkebunan kepala sawit. “Padahal tanaman kakao lagi giat-giat dibudidayakan, tumpang tindih penggunaan lahan seperti ini sangat mengganggu kami dari Dinas Pertanian Kabupaten Konawe. Untuk itu mari kita himbau bersama agar perusahaan mengetahui dan sadar atas batas-batas penanaman mereka” katanya.

Sementara itu, Jayadi Rama selaku perwakilan Bappeda Kabupaten Konawe mengungkapkan masalah yang utama adalah ketenagakerjaan dan dampak lingkungan yang tidak hanya dirasakan oleh warga Desa Puuloro, akan tetapi dirasakan juga oleh desa-desa lain di sekitarnya. seperti banjir yang baru-baru ini melanda Desa Andaroa yang berada di jalan poros Kendari – Unaaha sehingga mengganggu fasilitas umum seperti jalan. Ia mengharapkan dalam diskusi dan pertemuan serupa Dinas Tenaga Kerja dan Badan Lingkungan Hidup juga ikut hadir.

Ungkapan Jayadi tersebut juga dibenarkan Esther yang mewakili Dinas Sosial Kabupaten Konawe. Menurutnya sangat penting semua stakeholder terkait dapat dihadirkan dalam satu meja agar semua pihak bisa memberikan masukkannya. “Sangat penting bagi semua pihak untuk duduk sama-sama dalam satu meja untuk mencari solusi atas berbagai masalah yang timbul akibat kehadiran investasi. Dinas Tenaga Kerja, Badan Lingkungan Hidup, LSM dan Tokoh Masyarakat. Utamanya dinas tenaga kerja sangat perlu karena banyak konflik terkait buruh, kontrak kerja dll” tambahnya.

Selain itu, Yora Dachlan yang mewakili Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe menghimbau kepada semua pihak agar kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit tidak hanya dipandang dari segi legalitasnya. Kalau kita memandang dari asas legalitas memang hampir tidak ada problem. Menurutnya saat ini yang menjadi masalah pokok karena posisi masyarakat yang sangat lemah dalam hal kelembagaan.
“Belum ada pendampingan yang dilakukan oleh LSM dan masyrakat bahkan tidak mendapatkan perlindungan dari pemerintah,”.

Yora menambahkan seharusnya pemerintah melakukan penyiapan terhadap masyarakat ketika sebuah perusahaan akan masuk di wilayahnya, namun itu tidak dilakukan. Sekarang ini kalau perlu ada studi banding masyarakat dengan masyarakat di luar Sulawesi yang berhasil komunikasinya dengan perusahaan, jadi mereka bisa menularkan ilmunya dengan masyarakat yang ada disini” ungkap Yora.

Dari diskusi yang berlangsung selama tiga jam tersebut, di akhir sesi semua pihak yang hadir menyepakati agar ke depan kehadiran investasi baik perkebunan, pertambangan dan investasi lainnya tidak menggeser tanaman sagu sebagai sumber pangan lokal. Oleh karena itu semua pihak bersepakat untuk melakukan upaya perlindungan terhadap tanaman sagu dan sumber mata air sebagai sumber penghidupan masyarakat.

Diskusi ini merupakan tindak lanjut dari kegiatan yang diselenggarakan YPSHK sebelumnya di Hotel Clarion Kendari pada tanggal 31 Maret 2015. Dimana pertemuan tersebut dihadiri oleh perwakilan masyarakat dari tiga wilayah sasaran audit, SKPD Kabupaten Konawe dan Konawe Selatan yang terkait, organisasi masyarakat sipil, perusahaan pertambangan, perkebunan, asosiasi petani, asosiasi pengusaha serta stakeholder lainnya.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *