HistoriaPolitik

Mengurai Masalah di Tapal Batas Desa

×

Mengurai Masalah di Tapal Batas Desa

Sebarkan artikel ini

 

KALAU Anda kebetulan berjumpa dengan warga dan bertanya dari mana asalnya, maka mereka lebih senang menyebut diri sebagai orang Lebo  ketimbang Lembono dan Nanga. Kasus yang jamak terjadi di belahan desa-desa lain di Kabupaten Konawe Kepulauan.

————————–

Desa Lebo dulunya hanya satu wilayah adminstrasi, namun untuk alasan pemekaran wilayah kabupaten,  wilayah Lebo ikut terkena imbas dan akhirnya dimekarkan menjadi tiga  desa, masing-masing Desa Lebo Jaya, Desa Lembono dan Desa Nanga.

Imbas dari proses pemekaran pun dirasakan warga. “Dulu Pak Harun adalah kepala desa di Lebo, tapi status kewargaannya tercatat di Desa Lembono. Tanah, rumah dan kebun  beliau semua berada di sana,”cerita Jufri, warga Lebo, sembari tersenyum.

Kisah Harun adalah satu dari banyak cerita ekses dari terjadinya pemekaran di desa-desa pasca pemekaran di Konawe Kepulauan.

Sebenarnya, masih banyak warga yang bingung dengan keadaan tapal batas di tiga desa ini, ada yang memberi patokan  sesuai bangunan gerbang di tengah jalan Desa, namun setelah ditarik garis batas, ternyata banyak bangunan rumah warga terkena garis batas.

Awalnya warga tidak mau mengakui keberadaan desa-desa baru yang ada saat itu, karena menganggap Desa Lebo belum selayaknya dimekarkan, mengingat luas wilayah dan jumlah penduduknya yang sangat sedikit. “Kalau Anda kebetulan berjumpa dengan warga di sini, maka mereka lebih senang menyebut diri sebagai orang Lebo  ketimbang Lembono dan Nanga,”kata Jufri.

Menurut Jufri, kala itu wilayah Lebo “tercerai berai” karena urusan politik. “Semua orang tau pemekaran Lebo dilakukan karena alasan kepentingan politik pemekaran Wawonii sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB) sehingga menyebabkan wilayah Lebo menjadi terpecah,”katanya.

Kondisi ini menyisakan problem bagi warga, terlebih bagi aparat desa. Mereka sulit menentukan batas-batas wilayah desa karena luas wilayah yang sempit  menyebabkan batas  desa hanya dibatasi oleh rumah penduduk. “Jujur saja, jika diukur, keseluruhan bentang wilayah tiga desa ini hanya kurang lebih 1 KM saja. Ini sangat tidak pantas dimekarkan,”kata Jufri.

Masalah tapal batas desa nampaknya menjadi masalah serius di wilayah Lebo, Lembono dan Nanga karena kerap menjadi ajang perdebatan sengit warga dan aparat desa, baik untuk urusan pembagian raskin maupun menarik retribusi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) desa.

Belum jelasnya masalah tapal batas desa, disebabkan oleh beberapa factor, seperti ketidak pedulian pemerintah dan sebagian warga, serta belum adanya pemetaan wilayah oleh pemerintah kecamatan Wawonii Timur Laut. Banyaknya, problem di masyarakat, maka tuntutan kejelasan status tapal batas pun dinilai sangat penting dilakukan secepatnya. Demi mencegah terjadinya silang sengketa yang dapat berbuntut konflik  antara desa. Namun seiring waktu, warga maupun pemerintah kini mulai saling memahami tapal batas masing-masing.

Desa Lebo sendiri dihuni kurang lebih 120 KK yang seluruh masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Seperti halnya daerah lain di Wawonii, secara geografis Desa Lebo berada persis di pinggir pantai (Berhadapan laut Banda), faktanya justeru  tak ada satu warga yang menjadi nelayan. Warga Lebo, Lembono dan Nanga  kerap mencari ikan namun hanya kebutuhan makan sehari-hari, alias tidak untuk dijual.

Dari infomasi yang diperoleh dari pak Kadir, warga Nanga, diketahui bahwa, status tanah pemukiman dan tanah kebun warga merupakan tanah warisan secara turun temurun dari para leluhur desa. Untuk tanah pekarangan milik warga sebagian telah disertifikat melalui program PRONA, sedangkan untuk tanah kebun belum mendapat sertifikat.

Di areal perkebunan warga, umumnya ditumbuhi pohon kelapa dalam, cengkeh dan pala. Dari perkebunan tersebut, warga dapat makan dan menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi. Kadir petani di Desa Lebo mengaku panen cengkeh berlangsung setahun sekali. Untuk sekali masa panen dapat menghasilkan antara 100- 200 Kg cengkeh.

Hasil bumi  yang biasa digunakan untuk bahan rokok ini biasanya dijual ke pengumpul yang datang ke  desa dan terkadang dijual langsung ke Kota Kendari. Sedangkan, hasil dari perkebunan kelapa dalam dijadikan kopra dan dijual ke pengumpul. Untuk masa panen kelapa dalam berlansung setiap tiga bulan sekali, setiap warga biasanya dapat menghasilkan kopra antara 1-2 ton. Sayang harga kopra dirasakan warga sangat kecil, yakni hanya 500 ribu rupiah per seratus kilo gram atau 500 rupiah per kilo gram.       ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *