Kultur

Mengenal Tradisi Santiago di Tanah Buton

×

Mengenal Tradisi Santiago di Tanah Buton

Sebarkan artikel ini

Negeri kesultanan buton memiliki kekayaan tradisi ada adat istiadat peninggalan masa lalu dan tetap lestari hingga kini. Salah satunya tradisi santiago atau tradisi berziarah ke makam para Sultan-sultan Buton yang ada di dalam Benteng Wolio dan sekitarnya.

Di masa lalu, di era Kesultanan Buton tradisi ini dilaksanakan pada hari ke dua Idul Fitri atau setiap tanggal 2 Syawal usai sholat Isya hingga menjelang sholat subuh yang turut dimeriahkan oleh pejabat kesultanan dan masyarakat Karena begitu ramai dan meriahnya kegiatan yang berlangsung di hari lebaran   maka sering disebut dengan raraea malo, yang berarti berlebaran di malam hari.

Namun pada  era perang kemerdekaan khususnya saat pendudukan Jepang jadwal tradisi ini sempat bergeser karena keadaan yang tidak memungkinkan.  Kala itu, Kesultanan Buton mengadakan Santiago di pagi hari tanggal 2 Syawal hingga sore menjelang malam Tradisi Santiago ( ziarah Kubur).

Pada tradisi Santiago, Sultan Buton beserta perangkatnya  menuju makam para Raja dan Sultan. Saat melewati perkampungan ,  rombongan Sultan dan perangkatnya akan mrndapat sajian  makanan depan rumah penduduk. Pemilik rumah akan menghadang rombongan tersebut dengan alunan syair kabanti dengan tujuan agar rombongan tersebut mampir mencicipi hidangan tersebut.

Pada era reformasi ini tradisi santiago kembali digelar dengan  menggelar siarah pada enam Makam Sultan Buton, masing-masing Sultan Murhum, Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, Sultan Dayanu Iksanuddin, Sultan Syamsuddin, Sultan Mulharuddin Abd. Rasyid, Sultan Adilil Rahim dan Sultan Malik Sirulllah.

Pada penyelenggaraan tradisi santiago ini, Iring-iringan Santiago dimulai dari Kamali Kara Istana Sultan Hamidi menuju Masjid Agung Keraton Buton untuk menjemput Syarana Hukumu, lalu ke makam para Sultan untuk ziarah kubur. Nah, air yang digunakan untuk penyiraman Makam Sultan dibawa khusus oleh gadis muda yang dipayungi oleh Kenipau. Gadis belia ini dalam tradisi Santiago dinamai Salawatu. Sungguh lua biasa, sebuah tradisi warisan leluhur yang hingga kini masih bisa kita saksikan di Buton, Indinesia.

Dokumentasi foto : Dadi Mangura keraton molagina/fb

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *