Saya merancang perjalanan berikutnya bersama kawanku Sura. Kami ke arah Selatan Kendari. Tepatnya di daerah Lainea. Daerah yang menurut saya memiliki biota wisata alam yang cukup komplit, hutan, sungai hingga pantai membentang sepanjang mata memandang. Belum lagi kekayaan budaya dan kearifan lokal masyarakatnya. Tempat dimana pepatah “Sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui,” berlaku. Kita bisa menjangkau semua spot wisata sekaligus hanya dalam kurun dua atau tiga hari trip.
Di sini Kami menyaksikan kejayaan sejarah masa silam, menyaksikan sisa-sisa peninggalan era penjajahan jepang dan perlawanan patriotik pejuang lokal La Padi , benteng-benteng kokoh dan landasan pesawat masih kokoh berdiri hingga kini. Tapi sebelum menjelajahi semua itu, Kami ingin melihat kembali kejayaan bertani ladang orang-orang lokal di sebuah bentang alam bernama Ana Sepu atau Ana Homa sekaligus ingin bernostalgia dengan kehidupan yang pernah saya lalui di kampung dimasa kanak-kanak dulu.
Ana sepu atau ana homa merupakan bekas ladang yang telah ditinggalkan sekitar 5-9 tahun untuk kemudian diolah kembali sebagai lokasi peladangan. Sebagai areal perladangan yang ditinggal dalam waktu yang relative lama tersebut, ana homa sudah ditumbuhi oleh pepohonan walaupun masih kecil atau rata-rata diameter 15-30 cm. Selain itu pula sudah banyak ditumbuhi oleh bambu bambuan, umbi-umbian, akar-akaran dan berbagai jenis rerumputan lainnya.
Bagi para peladang tradisional, terdapat berbagai pertimbangan untuk membuka ladang ana homa yakni, apabila lokasi yang akan dijadikan sebagai areal perladangan sudah terlalu jauh dari areal perkampungan penduduk. Hal ini sangat terkait masalah energy, waktu dan biaya yang akan dikeluarkan oleh peladang yang tentu akan semakin besar jika ladangnya jauh. Kedua lahan tersebut telah cukup subur untuk ditanami kembali, kendati gulma atau rerumputan yang tumbuh biasanya masih banyak. Hal inilah yang menyebabkan para peladang saat membuka ana homa tidak terlalu luas, karena kuatir tidak dapat dibersihkan, lain hanya kalau hanya ingin mondau tau pertimbangan yang terakhir ini tidak menjadi masalah.
Ana homa yang dibuka oleh setiap peladang umumnya adalah bekas ladangnya sendiri. Sebab itulah peladang lain tidak akan membuka ana homa tersebut selama yang bersangkutan masih akan membuka sendiri. Dalam hal ini berlaku semacam konsensus diantara para peladang untuk tidak saling berebut lahan yang bukan bekas ladangnya. Bahkan kalau seandainya ada tanaman jangka panjang yang ditanam oleh para peladang di lokasi tersebut dan setelah lama ditinggalkan kemudian produktif , seperti misalnya mangga, langsat, durian, maka buah-buahan tersebut akan menjadi milik peladang pertama dan hal ini diakui dalam masyarakat tolaki. Penjelasan tentang Ana Sepu dan Ana Homa ini dapat dibaca pada buku Pranata Hutan Rakyat yang ditulis Antropolog Halu Oleo University, DR.Sarlan Adi Jaya bersama senior Yusran Taridala.
Sungguh perjalanan yang telah membawa Kami untuk tidak hanya melihat kembali tetapi juga belajar cara petani bercocok tanam padi ladang dan menanam bahan cadangan makanan lainnya yang semuanya serba tradisional. Juga melihat cara unik petani membuat pagar dari susunan kayu atau bambu yang saling terhubung antara satu kebun dengan kebun lainnya, susunan pagar yang sekilas mirip labirin ini masing-masing memiliki pintu-pintu tersendiri, dan di tengah-tengah setiap kebun berdiri rumah kebun bertiang empat yang dindingnya terbuat dari bilah bambu yang dianyam rapi. Benar-benar unik. SK