EnvironmentKultur

Mengenal Banto’a Namo Nu Sara, Kearifan Lokal Masyarakat Hukum Adat Kaledupa

×

Mengenal Banto’a Namo Nu Sara, Kearifan Lokal Masyarakat Hukum Adat Kaledupa

Sebarkan artikel ini

 

Imam desa itu duduk bersila  di atas tanah beralas terpal. Ia dikelilingi belasan orang lainnya tanpa suara.  Sejumput gula diambilnya lalu dilarung dalam batok kelapa (pengganti kotak dupa) berisi  bara api. Mulut pria tua itu terus memunajatkan doa di tengah asap dupa yang terus mengepul menebar aroma bau kembang gula. Sementara seorang lainnya menyiapkan  delapan tempurung kelapa berisi potongan kecil batang tebu merah, ubi merah atau kano, sebatang rokok, potongan telur masak, potongan buah pisang merah, kue baje, cucur dan daun siri. Tempurung atau biasa disebut sasa ini  nantinya akan disimpan di sejumlah tempat; seperti sudut karang, di laut, di tanjung dan tempat yang dikeramatkan. Tetap isi dari sasa sendiri berbeda-beda di setiap tempat di kaledupa. Prosesi ini bagian ini bertujuan sebagai penghormatan terhadap para leluhur yang dimasa hidupnya pernah membuka dan menjaga kampung dan segala isinya.    Ini merupakan bagian dari tradisi upacara adat  Masyarakat Limbo Kiwolu, Desa Darawa Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara  melaksanakan penutupan sementara wilayah tangkapan (temporary fishery closure) gurita pada Selasa tanggal 1 Februari 2022. Kegiatan ini merupakan upacara yang menandai ditutupnya wilayah tangkapan (namo nu sara) di Uju Nu Umbu (bagian dari wilayah Barata Kaledupa) yang akan menutup segala aktivitas penangkapan gurita dan budidaya perikanan lainnya.

Temporary fishery closure yang dalam bahasa Kaledupa lebih dikenal dengan istilah Banto’a namo Nu Sara merupakan langkah pengelolaan perikanan gurita yang dilakukan oleh masyarakat Limbo Kiwolu sebagai upaya untuk menjaga salah satu sumber penghidupan utama mereka yaitu gurita. Penangkapan gurita bagi masyarakat Limbo Kiwolu menjadi sumber penghidupan bukan hanya untuk nelayan laki-laki tetapi juga bagi nelayan perempuan.

Keterampilan untuk menangkap gurita telah mereka warisi secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Namun terjadi perubahan besar pada kondisi perikanan gurita mereka dari tahun ke tahun yang semakin menurun baik dari jumlah tangkapan maupun ukuran gurita itu sendiri.

Berangkat dari kondisi tersebut di atas, masyarakat Limbo Kiwolu Desa Darawa bekerjasama dengan Forkani mulai tahun 2016 melakukan monitoring hasil tangkapan gurita secara partisipatif, di mana nelayan melakukan pendataan gurita hasil tangkapan mereka setiap harinya. Data ini kemudian menjadi dasar bagi mereka untuk melakukan diskusi secara berkala setiap 3 bulan tentang kondisi perikanan gurita mereka. Mulai dari memahami kondisi perikanan gurita hingga menentukan pilihan pengelolaan yang dapat dilaksanakan secara mandiri hingga menetapkan aturan pengelolaan disepakati oleh masyarakat. Kegiatan ini didukung oleh Yayasan Pesisir Lestari dalam kemitraan dengan Blue Ventures.

Mursiati, salah satu anggota Forkani menjelaskan bahwa temporary fishery closure gurita (Banto’a Namo Nu Sara) di Desa Darawa merupakan salah satu kearifan lokal Masyarakat Hukum Adat (MHA) Barata Kahedupa dalam pengelolaan sumber daya perikanan dengan menutup suatu kawasan dari aktivitas tangkapan dan akan dibuka kembali untuk kepentingan umum. Nilai-nilai inilah kemudian yang menjadi salah satu landasan penting dalam temporary fishery closure gurita di Desa Darawa.

“Masyarakat menutup kawasan penangkapan gurita bukan hanya untuk meningkatkan jumlah atau hasil tangkapan tetapi mempertahankan sumber daya yang menjadi tumpuan hidup mereka. Melalui langkah ini mereka berharap kondisi ekosistem yang dimiliki terutama perikanan gurita akan tetap memberikan sumber penghidupan hingga anak cucu mereka di masa depan,” jelas Mursiati.

Selain itu, melalui pengawasan terhadap wilayah penutupan, mereka juga dapat mengawasi wilayah kelola mereka dari berbagai aktivitas penangkapan yang tidak ramah lingkungan mengingat wilayah mereka dapat diakses secara terbuka oleh nelayan dari luar desa. Pengawasan yang dilaksanakan masyarakat tidak hanya berdampak pada wilayah penutupan sementara, tetapi juga pada budidaya rumput laut yang juga menjadi sumber penghidupan masyarakat di desa itu.

Seperti yang dikatakan oleh Surhadin M dan Samiudin (masyarakat Desa Darawa) bahwa temporary fishery closure tidak hanya membuat hasil tangkapan mereka bertambah, baik secara jumlah maupun ukuran tetapi juga mereka bisa melindungi wilayah laut mereka dari penangkap yang tidak ramah lingkungan dan berpengaruh pada kualitas budidaya rumput laut.

“Semenjak ada penutupan ini, gurita bertambah termasuk ukurannya. Selain itu karena kami melakukan pengawasan jadi tidak ada penangkap dari luar masyarakat Darawa yang biasa membom ikan atau meracuni laut kami, sehingga rumput laut juga tidak terganggu dan tumbuh subur,” ucap keduanya setelah melakukan perayaan pembukaan temporary fishery closure.

Banto’a Namo Nu Sara (temporary fishery closure) di Desa Darawa pertama kali dilaksanakan  pada tahun 2018, dimana masyarakat menetapkan untuk menutup wilayah penangkapan gurita di Fulua Nto’oge antara bulan Juli Hingga September sesuai dengan data hasil monitoring/pendataan tangkapan gurita yang menunjukan bahwa dalam rentang waktu tersebut hasil tangkapan mereka didominasi gurita berukuran kecil.

Sejak tahun 2018 sampai dengan Februari tahun 2022, masyarakat Limbo Kiwolu di Desa Darawa telah empat kali melakukan Banto’a namo nu Sara (temporary fishery closure) dengan lokasi yang berpindah-pindah, di antaranya, Fuluan Tooge, Kappiso, Tonua Tolo dan Uju Nu Umbu. Penentuan lokasi dan waktu selain didasarkan pada tren data tangkapan gurita, lewat pengalaman dan pembelajaran pada 2018 yang terbukti bukan hanya gurita yang berkembang tetapi juga rumput laut, masyarakat memutuskan untuk lokasi penutupan selalu disesuaikan dengan musim dan lokasi budidaya rumput laut, hal ini sekaligus memaksimalkan pengawasan bersama oleh masyarakat yang setiap saat ke lokasi budidaya rumput laut sekaligus melakukan monitoring wilayah temporary fishery closure.

Tujuan penutupan sementara perikanan gurita selama beberapa waktu (biasanya sekitar 3 bulan) adalah sebagai pembelajaran bagi masyarakat tentang pengelolaan perikanan berbasis masyarakat, serta untuk memberikan waktu dan tempat bagi gurita untuk tumbuh lebih besar dan untuk bertelur/berkembang biak, karena gurita dalam hal ini spesies Octopus cyanea, mempunyai masa hidup yang singkat sekitar 12 bulan (Herwig et al. 2012). Gurita dewasa betina mampu bertelur 150.000 – 170.000 telur dan merawatnya sampai menetas. Octopus cyanea diyakini bertelur sepanjang tahun dengan periode pemijahan puncak selama bulan Juni dan Desember di Tanzania (Guard dan Mgaya, 2015).

Dengan siklus hidup gurita Octopus cyanea yang singkat, penutupan sementara merupakan pengelolaan perikanan yang sesuai untuk diimplementasikan, sehingga harapannya ketika pembukaan penutupan sementara, gurita sudah tumbuh dengan besar dan mempunyai nilai lebih.

Naskah dan Foto:

Yayasan Pesisir Lestari: https://www.pesisirlestari.org/ 

Narahubung: Indah Rufiati [email protected] & Made Dharma [email protected]

Pesisir Lestari adalah organisasi konservasi berbasis di Bali yang bertujuan mendorongkan pengelolaan sumber daya laut berbasis masyarakat pesisir untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan melestarikan ekosistem laut yang berkelanjutan untuk generasi masa depan. Bermitra dengan Blue Ventures, organisasi konservasi laut yang berbasis di Inggris, kami membangun kemitraan dengan 16 organisasi lokal yang bekerja sama dengan masyarakat pesisir di 64 desa di 14 provinsi di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *