HistoriaTokoh

Legenda Madjid Ege, Penjaga Menara Air Pulau Kabaena

×

Legenda Madjid Ege, Penjaga Menara Air Pulau Kabaena

Sebarkan artikel ini
Abdul Madjid Ege, tokoh/sesepuh adat Tokotua (Kabaena)
Semangat Pak Abdul Madjid Ege tak rapuh, meski di usianya yang tergolong sepuh, 73 tahun. Ia masih cukup kuat mendaki bukit-bukit di Tangkeno. Berjalan berkilo-kilo jauhnya, mengurusi rakyat hingga berdikusi sampai larut malam. Ingatannya benar-benar tajam, bercerita dengan detil setiap senti sejarah negeri Tokotua. Sesekali Ia melempar kelakar kepada jurnalis-jurnalis muda yang meminta berpose kepadanya. “Sebenarnya Saya sudah tidak ingin lagi difoto. Malu melihat wajah saya yang tua,”ujarnya sembari tertawa renyah.
Abdul Madjid Ege adalah tokoh sekaligus budayawan Kabaena. Beliau adalah Kepala Desa Tangkeno yang hingga kini masih kukuh mempertahankan tradisi budaya Kabaena di tengah kerasnya benturan modernisasi. Meski begitu, Madjid Ege cukup moderat terutama untuk urusan adat istiadat. Sistem perkawinan orang moronene yang terbilang pelik dapat dibuatnya jadi sederhana. Dalam urusan adat perkawinan misalnya, jika dahulu dalam adat biasa ditetapkan kebutuhan yang harus ditanggung seorang lelaki jika yang menikahi gadis Kabaena, yakni berupa mahar beras dan kerbau. “Kalau menikah dengan orang biasa maka dalam adat ditetapkan 4 ekor kerbau, sedangkan jika menikahi kaum bangsawan maka maharnya harus 8 atau 12 ekor kerbau,”ungkapnya. “Karena kerbau semakin mahal dan langka. Jadi diganti dengan sapi saja. Untuk apa memberatkan mereka yang mau menikah, jadi ya disesuaikan saja semampunya,”kata Madjid.
Madjid boleh berompromi soal mahar pernikahan, namun tidak untuk tanah yang telah menjadi falsafah orang-orang Tokotua sejak dulu. Madjid Ege yang juga budayawan Kabaena menyebut, tiga palsafah itu yakni, wita wutonto atau Tanah adalah diri kita, wita toroanto atau tanah adalah tempat kehidupan kita dan wita petanoanto atau tanah adalah kuburan kita.
“Tanah adalah diri kita artinya, janganlah kamu menjual tanah karena sama artinya menjual diri. Tanah adalah kehidupan kita, janganlah menjual tanah karena sama saja kamu menjual sebagian kehidupanmu. Dan, tanah adalah kuburanmu yang berarti, janganlah engkau menjual tanah karena sama saja kamu menjual kuburanmu sendiri,”urai Madjid.
Suasana Desa Tangkeno, Kabaena

Bagi orang kabaena saat hendak menjual tanah maka mereka tidak menyebut menjual tanah tapi menjual kebun atau jual. “Tidak boleh menyebut menjual tanah, mengingat tanah adalah sumber kehidupan kita. Makanya saat pertambangan marak , saya tidak pernah setuju tanah-tanah di Tangkeno digarap untuk tambang,”katanya. Sayang, Palsafah ini tak lagi dipatuhi sebagian besar generasi Kabaena, seiring masuknya pertambangan di daerah itu.

Di masa pertambangan masih aktif, tiga perusahaan tambang datang ke Tangkeno dan saat mereka masuk dan membawa surat-surat ijin Madjid dengan tegas menolak tanah-tanah Tangkeno ditambang. “Beberapa orang tambang protes dan menanyakan soal penolakan saya. Saya bilang sama mereka, benar Anda punya ijin dari pemerintah daerah, tapi untuk menambang harus terlebih dahulu ada sosialisasi pada masyarakat adat. Dan kalau masyarakat adat tidak mengijinkan, maka perusahaan tambang tidak berhak untuk menambang, karena ini adalah kawasan hutan adat,”ungkap Madjid Ege.

Ketegasan Madjid Ege sudah berkali-kali dicoba perusahaan, namun selalu saja tidak bisa menambang di Tangkeno. Penolakan Madjid Ege tentu beralasan.“Ketika bentang alam kita sudah rusak, apalagi yang mau dilihat. Hari ini boleh saja mencari kekayaan karena tambang, tetapi pernahkah kita berpikir bahwa di hadapan kita masih ada anak cucu kita. Hari ini kita boleh perkaya diri, tapi ketika alam ini hancur, pernahkah kita pikirkan bahwa ke depan itu masih banyak generasi yang akan tumbuh. Kita yang tua ini akan mati,”ujarnya.

 

Ketegasan Madjid yang didukung seluruh warga Tangkeno secara sadar telah menjadi benteng pertahanan bagi alam Kabaena, sekaligus menyelamatkan kehidupan sebagian besar penduduk Tokotua. “Ini yang membuat saya harus bertahan. Kalau saya terima tambang artinya saya ikut menghancurkan kehidupan alam Tangkeno, maka saya akan memikul dosa berkepanjangan. Dan orang-orang yang ada di bawah sana akan protes dan berdemo di Tangkeno,”kata Abdul Madjid Ege.

Desa Tangkeno dari ketinggian

Madjid bersyukur Desa Tangkeno akhirnya dicanangkan sebagai Desa Wisata. “Setidaknya pengembangan desa wisata memiliki nilai strategis untuk menyelamatkan Tangkeno dari pertambangan, saya sudah sedikit lebih lega,”ujarnya. Bagi Madjid, menyelamatkan tangkeno berarti menyelamatkan Pulau Kabaena dari kehancuran. Hal ini tak lepas dari keberadaan alam Tangkeno yang punya nilai strategis bagi daerah di sekitanya, sebab di hutan alam di pegunungan Kabaena tengah terdapat sejumlah sungai besar yang mengalir ke berbagai kawasan di Kabaena Timur, Kabaena Utara, Kabaena Selatan, Barat dan Tengah. Dengan kata lain, hutan dan pegunungan Kabaena Tengah adalah menara air bagi pulau berpenduduk sekitar 25.000 jiwa tersebut.

Tangkeno sendiri merupakan desa yang berada di ketinggian kurang lebih 600 MDpl. Desa ini berada di bawah kaki gunung Sangia Wita yang memiliki ketinggian kurang lebih 1000 Mpdl. Diantara gunung-gunung Sabampolulu merupakan gunung paling tinggi yang memiliki ketinggian 1500 meter dari permukaan laut (Mpdl), sekaligus menasbihkan Sabampolulu sebagai gunung tertinggi di Sulawesi Tenggara. Selain Sabampolulu dan Sangia Wita terdapat pula gunung lainnya yakni Gunung Puputandasa, Putolimbo dan Watu Sangia. Sangia Wita berarti Tanah Dewa, Watu Sangia berarti Batu Dewa. Sedangkan, Sabampolulu artinya muncul dan mengejar. Sabampolulu sendiri memiliki arti muncul dan mengejar. “Jika dikaitkan dengan rencana Kabaena menjadi daerah otonomi baru maka berarti nama Sabampolulu menjadi strategis, yakni, daerah baru yang mengejar ketertinggalan dari daerah lain,”ujar Majid Ege.
Sejak dulu gunung-gunung Kabaena yang menjadi incaran para investor tambang. Di jaman penjajahan, Jepang pernah berusaha untuk menambang nikel di kawasan ini. “Dulu mereka (orang Jepang) sempat menggali membawa bongkahan tanah ke kapal-kapal mereka,”kata Madjid. Tak heran banyak terdapat lubang-lubang galian di sekitar gunung sangia wita dan sambampolulu.
Perang berakhir tak berarti penjajahan sumber daya alam pergi dari Kabaena. Kabaena menjadi daerah incaran investor asing. PT INCO, Tbk, bahkan, mengklaim wilayah kabaena di bagian selatan dan tengah menjadi wilayah konsesi mereka, namun urun ditambang tanpa alasan yang jelas. Booming tambang di tahun 2008 silam, negeri tokotua diserbu perusahaan tambang. Seluruh wilayah di berbagai penjuru Kabaena tak ada yang tidak dikapling. Rakyat tergiur wangi duit hingga berlomba-lomba menjual tanah-tanah mereka.
Serbuan tambang juga merambah tanah Tangkeno. Setidaknya, tiga perusahaan tambang saling berebut mengkapling gunung-gunung di Kabaena Tengah untuk dijadikan wilayah konsesi tambang mereka. Namun, Kepala Desa bersama warga desa menentang dan tidak mengijinkan perusahaan untuk menambang. “Tidak satu genggam pun tanah boleh dibawa dari Tangkeno,”kata Majid Ege.
Pernah, sekali waktu, perusahaan menyuruh orang sewaan dari desa sebelah Tangkeno datang melakukan penggalian tanah di kawasan itu. Beberapa warga Tangkeno kemudian melaporkan ke Abdul Majid Ege. Darah Madjid mendidih. Lelaki tua itu marah besar. “Saya minta tanah yang ada dimobilmu itu tidak boleh dibawa, saya minta tidak segenggam tanah pun kamu turunkan di desa terumbu tua. Tanah-tanah ini harus dikembalikan di Desa Tangkeno,”hardik Madjid.
“Dia bilang sekedar mau tau berapa kadar nikelnya pak. Saya bilang tidak perlu kamu tau. Dan saya bilang kalau kamu tau kadar nikel di sini itu berapa maka kami bisa kalah, karena kamu itu punya uang. Kamu bisa beli. Dan kami harus tetap bertahan karena pemerintah itu punya kekuatan untuk tekan kita, karena kamu itu bisa beli berapa saja yang kamu mau. Jadi tidak perlu tau kadar nikel. Saat itu mereka langsung turunkan tanah yang mereka ambil dan setelah itu langsung pulang. Jadi dia gunakan orang lokal di sebelah desa untuk mengambil sampel tanah, karena tidak berani mengambil orang tangkeno karena pasti saya pasti larang,”.
“Saya tidak tau ke belakang nanti, saya tidak tau apakah anak-anak itu masih mau bertahan atau tidak. Tapi untunglah desa ini sudah menjadi desa wisata, semoga selalu terlindungi dan tidak lagi diganggu dengan tambang,”.
“ Sangat sayang kalau bentang alam ini rusak, sebab sejak kecil kami ke hutan-hutan yang lebat, rimbun, sangat sayang kalau jadi tandus, nanti tidak ada lagi kesejukan di tempat ini. Tidak ada lagi yang bisa kita andalkan,”. Selain tangkeno, di wilayah Kabaena, kondisi lingkungannya kini dalam kondisi memprihatinkan.
***
Suhu udara di Tangkeno sangat dingin. Terlebih di bulan Oktober. Angin bertiup kencang, membuat atap-atap rumah seolah mau terlepas. Di bulan itu warga menyiapkan jaket dan selimut tebal. Di musim tertentu, awan akan sangat dekat dengan kepala Anda. Tangkeno merupakan pemekaran dari Desa Enano. Pada awal pemekaran, Desa Tangkeno bernama Desa Enano di Tangkeno, sedangkan Desa induk disebut Desa Tangkeno di Enano. Perubahan nama Desa dari Desa Enano di Tangkeno menjadi Desa Tangkeno terjadi pada tahun 2013. Mayoritas penduduknya berkerja sebagai petani. Sebagian lagi bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil dan pedagang hasil bumi.
Tanah Tangkeno cukup subur untuk berbagai jenis palawija. Suhu yang dingin membuat aneka tanaman jangka panjang seperti cengkeh, pala dan kelapa dapat tumbuh subur di tempat ini. Beberapa warga, bahkan, pernah mencoba menanam pohon apel. Sayangnya, bibit pohon apel bantuan pemerintah itu sebagian besar mati akibat dimakan ternak kambing. “Mereka menanam tapi tidak menjaganya. Sehingga kambing leluasa memakan bibit pohon apel,”ungkap Madjid. “Ada beberapa pohon apel yang tumbuh besar, bahkan sempat berbuah, walau buahnya kecil-kecil,”kata Madjid.
Foto bersama para jurnalis dengan Abdul Madjid Ege, sesepuh adat Tokotua (Kabaena)

Di masa lampau pada sekitar abad ke-16, kerajaan Tokotu’a atau kabaena yang berpusat di kaki gunung sangia wita bernama tangkeno, mencapai puncak kejayaannya. Kemakmuran tercipta seiring dengan tumbuh suburnya pertanian, yang dibarengi dengan berkembangnya khasanah budaya, seni dan kearifan lokal. Ironisnya, Setelah pemerintah memegang kendali kuasa atas segala kekayaan alam atas nama Negara, negeri kabaena justru terjerembab dalam kemiskinan yang akut.

Pulau Kabaena, di masa lampau merupakan pusat Kerajaan Moronene, salah satu etnis di Sultra. “Benteng Tawulagi, tempat pelantikan mokole (raja), merupakan bukti kuat bahwa Kabaena pernah menjadi pusat Kerajaan Moronene,” kata tokoh budaya Kabaena, Abdul Madjid Ege. Menurut Madjid, ada beberapa benteng penunjang benteng utama Tawulaagi, yaitu Benteng Doule, Tontowatu, Mataewolangka dan Tuntuntari. “Benteng Tawulagi merupakan tempat pelantikan mokole, mataewolangka tempat mengintai musuh dari arah selatan, Benteng Doule tempat mengintai dari arah barat dan utara dan dua benteng penunjang lainnya masing-masing tuntuntari dan tontowatu merupakan tempat mengintai dari arah timur,” katanya.
Di wilayah daratan tenggara Sulawesi sebagai asal muasal etnis Moronene Kabaena, tidak ditemukan benteng seperti di Kabaena. Itu membuktikan pusat Kerajaan Moronene memang di Kabaena, bukan di wilayah daratan. Di Benteng Tawulagi, kata Abdul Majid Ege, selain masih tampak batu besar dan agak tinggi tempat melantik Mokole, juga terdapat sebuah meriam besar. Dulu, kemungkinan besar untuk melawan penjajah Belanda maupun Tobelo.”Tobelo merupakan sekelompok orang pada zaman dulu yang kerjanya sebagai perompak laut, bahkan tidak segan-segan merampas dan membunuh warga di daratan,” katanya. Menurut Abdul Madjid, benteng-benteng di Kabaena diperkirakan didirikan pada tahun 1600-an yang digunakan sebagai tempat persembunyian dan tempat bertahan dari para musuh.
Aneka tanaman jangka panjang milik petani di Desa Tangkeno

Cerita keindahan negeri Tangkeno, tak hanya menjadi buah bibir masyarakat Sultra, tetapi hingga luar negeri. Tak heran di waktu tertentu para turis asing kerap mampir ke Tokotua. Mereka datang dari benua yang jaraknya bermil-mil, demi menikmati keindahan alam Tangkeno. Para turis mendapati kehidupan yang berbeda, berbicara dengan orang-orang lokal yang benar-benar beradat. Sebagai keturunan Mokole Kabaena, penduduk Tangkeno masih menjalani gaya hidup tradisional. Mereka berbicara dalam bahasa tradisional Tokotua, dan berladang sebagaimana yang dilakukan leluhur mereka selama berabad-abad. Pada hari-hari festival, mereka berkumpul di alun-alun untuk menonton tarian lumense yang diiringi oleh suara seruling dan tabuhan tambur. Lumense jenis tarian yang dibawakan para wanita tua dengan gerakan gemulai bak gadis belia.

“Pernah ada 25 pelajar termasuk guru asal Inggeris mampir di sini (tangkeno). Saya tanya gurunya, kenapa kamu kasi sengsara itu anak-anak dengan berjalan kaki di Tangkeno? Dia jawab, saya sengaja supaya mereka tau bahwa alam itu seperti ini,”cerita Madjid Ege.
Guru bule mengaku di negerinya tidak ada lagi alam seperti di Tangkeno. “Saat keluar rumah mata kami langsung tertuju pada gedung-gedung tinggi,”kata bule itu pada Madjid. “Mereka menginap selama dua hari. Mandi di Sungai yang bening dan merasakan angin di ketinggian,”tambah Madjid
Masyarakat kabaena umumnya memilih membangun pusat-pusat pemukiman di lembah-lembah gunung yang terdapat aliran sungai maupun di pesisir pantai. Tanah yang subur memungkinkan pertanian sebagai penyokong utama ekonomi mereka. Tak heran jika kerajaan buton saat itu menjuluki daerah ini sebagai “kobaena” atau penghasil beras meski orang-orang eropa lebih suka menyebutnya sebagai “comboina”. orang-orang pribumi sendiri menyebut kampong halaman mereka sebagai tokotu’a.
Madjid sekali waktu diwawancara salah satu turis. Madjid pun bingung karena disodorkan pertanyaan berbahasa Inggris. Namun, Ia tak patah semangat. Lelaki sepuh itu pun menjawab serius dalam bahasa Kabaena. Kontan si bule pun ikut kebingungan, karena Ia sama sekali tidak dapat berbahasa Kabaena. “Saya mau jawab apa? Saya tidak bisa berbahasa Inggris, jadi Saya jawab saja pakai bahasa Kabaena,”kata Madjid, disambut gelak tawa wartawan. ***
Naskah dan Foto: Joss Hasrul

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *