Historia

Kisah di Balik Pencarian Goa Terbesar di Sulawesi

×

Kisah di Balik Pencarian Goa Terbesar di Sulawesi

Sebarkan artikel ini
Puncak Gunung Mekongga. Dokumen Foto milik Gunung Mekongga/FB

Empat pendaki terjebak di dasar tebing Mekongga, gunung tertinggi di jazirah tenggara Sulawesi. Sudah berhari-hari mereka menunggu kedatangan tim yang melakukan evakuasi. Linto Mustafa Ibrahim (26 tahun), ketua tim Ekpedisi Penelusuran Goa, Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala), Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra), yang menjadi saksi hidup kisah para petualang sejati kala itu, menceritakan kembali kisah pilu perjalanan mereka dalam pencarian gua terbesar di sulawesi tahun 2012 silam.

Jutaan butir air jatuh ke bumi saat tujuh pendaki menapak Gunung Mekongga yang agung. Mereka meraba jalan dengan langkah penuh hati-hati. Padu padan cuaca buruk dan medan ekstrim membuat pergerakan tim ekspedisi pencarian goa terbesar di Sulawesi ini kian melambat. “Kawan-kawan harap berhati-hati, di bawah kita tebing curam. Saat turun tolong berpegang di batu, rumput atau pepohonan,”instruksi Linto Mustafa pada rekan-rekannya. Sepatu dan baju mereka basah kuyup. Beban carrier (tas punggung) yang melekat di tubuh seolah menambah beban perjalanan mereka.

Linto Mustafa Ibrahim adalah ketua tim ekpedisi pencarian goa Mekongga hari itu. Pemuda yang dipercaya memimpin Mapala Universitas Sulawesi Tenggara ini begitu sadar akan bahaya yang tengah mereka hadapi. Tak jarang Ia harus membantu rekannya yang kelelahan, mengangkat tas jinjing dan menyemangati mereka. Ia sudah lima tahun bergelut di dunia pencinta alam dan keluar masuk hutan. Diliriknya jam tangannya. Jarum jam menunjuk angka 1 siang itu. Linto optimis dapat menjangkau sungai kecil di balik dinding tebing di bawahnya, untuk membuat basecamp sebelum hari mulai gelap.

Meski hujan mengguyur deras, lima pendaki terus bergerak dan sukses mencapai teras tebing di kedalaman 25 meter. Sementara dua pendaki lainnya masih berada dibelakang dan tersisa sepuluh meter saat mencapai dasar. Linto menunggu cemas dua rekannya itu dengan tubuh basah kuyup. Hari itu mereka hendak menuju pulang setelah sehari sebelumnya, Rabu (28/12/2012) Linto bersama tim ekspedisi berhasil menemukan goa yang dicari. Bahkan mereka berhasil mendekati bibir goa sekaligus mendokumentasikan fisik gua serta dan memasang bendera Mapala Unsultra, sebagai symbol penemuan.

“Jalur yang sangat susah dan hutan lebat yang rapat memaksa kami harus memanjat punggungan 2 gunung. Setelah berada di atas punggungan ternyata di bawah kami ada tebing yang begitu tinggi,”kata Linto.

“Sebelum turun saya berinisiatif melakukan survey jalurnya, apa layak atau tidak untuk dituruni. Saya berpendapat jalur tersebut masih bisa dijangkau melihat masih ada pohon dan akar-akar besar yang menempel didinding tebing,”tambahnya.

Kegiatan pendakian di gunung mekongga. Foto: Ika Yusufdin/FB
Pendakian di gunung mekongga. Foto: Ika Yusufdin

Cuaca pegunungan Mekongga memang dikenal ganas, hutan hujan tropis kadang membentuk pola cuaca berubah-ubah, terkadang hujan dan kabut muncul secara tiba-tiba. Belum lagi kanopi hutan yang lebat menutupi tanah disekitarnya, membuat suhu bertambah begitu dingin. Biasanya kondisi seperti inilah yang sangat ditakuti para pendaki, karena suhu dingin bisa membuat serang sesak napas yang akut.

Hudianto (23 tahun) salah satu tim ekspedisi yang peka terhadap suhu dingin. Kondisi suhu siang itu membuatnya sesak napas, hingga membuat gerakannya melambat. Di sisa tenaganya Ia mencoba menuruni tebing curam. Baru mencapai sepuluh meter, tiba-tiba kuda-kuda Hudianto yang diakrab dipanggil Odi ini goyah. Pemuda bertubuh besar melakukan kesalahan fatal dengan berpijak di tanah licin. Rupanya, hujan deras telah membuat tanah dan batu yang dipenuhi lumut menjadi kian licin. Akar pohon yang dipakai berpegang menahan beban dirinya tercerabut.

Hudianto panik bukan kepalang. Ia pasrah. Tubuh yang besar terjun bebas terhempas sejauh 10 meter dan mendarat persis di atas bebatuan tebing yang tajam. Sekejap Ia berusaha bangkit, namun kembali ambruk. Sebuah batu lancip menembus paha kanannya. Lima rekannya dibawa panik luar biasa. “Saat kami temukan, tubuh Hudianto tak lagi bergerak,”kata Linto. Sementara itu darah perlahan mengucur dari paha Hudianto dan bagian tubuh lainnya.

“Kami semua tak dapat menahan tangis melihat nasib Hudianto,”kata Linto, sedih. Namun, pemuda yang sudah malang melintang di rimba raya ini kembali sadar dan mencoba bersikap tenang. Ia berusaha mengecek nadi rekannya itu. “Ternyata Hudianto hanya pingsan, itu membuat kami sedikit lega,”kata Linto. Saat Hudianto siuman rasa optimisme tim kembali menggelora. “Itulah momen paling mengharukan bagi kami,”ujar Linto dengan mata berkaca-kaca.
Dewi keberuntungan nampaknya masih memihak pada para pendaki dari Mapala Unsultra ini. Sebab, jika saja Hudianto terhempas melebar, maka bukan tidak mungkin akan jatuh ke dasar tebing yang diperkirakan dalamnya mencapai 60 meter itu. Linto mencoba memadang di sekelilingnya, yang terlihat hanyalah pepohonan lebat dan batu-batu cadas tajam berserakan.

Siang itu Linto dan rekannya praktis tidak bisa berbuat banyak, selain mengurusi Hudianto yang kesakitan. Mereka tak menyangka akan terjebak di teras tebing yang lebarnya tak lebih dari 4 x 4 meter persegi itu. Kondisi cukup gelap di sekitar tebing dan sesekali berubah terang benderang karena tersambar cahaya kilat di langit. Mereka kemudian perlahan mengevakusi korban ke sebuah lembah melalui celah tebing yang dalamnya sekitar 50 meter.

Air hujan tak berhenti tumpah dari langit, mengguyur tubuh para pendaki tanpa ampun. Kondisi ini kian membuat para pendaki dihantuai rasa cemas. Apalagi kondisi logistik yang kian menipis menambah beban yang begitu besar. Rasa letih di tubuh Linto berpacu dengan waktu. Memaksa Linto harus membuat keputusan cepat. Ia memutuskan membuat basecamp di lembah tebing itu. Tenda didirikan. Alat penerang dinyalakan. Linto pun memimpin musyawarah. “Kami berembuk mencari solusi keluar dari krisis itu. Dan tak ada cara lain, selain mencari pertolongan,”kata Linto.

Tawaran Linto sendiri tak langsung diamini kawan-kawannya. Ada sebagain rekannya memilih mengevakuasi Hudianto bersama-sama keluar dari mulut tubir jurang yang ekstrim itu. Namun kondisi itu dianggap riskan oleh Linto. Ia memberi pertimbangan logis, dimana kondisi fisik Hudianto yang terluka parah tidak memungkinkan untuk dievakuasi oleh mereka berenam.
“Saya sangat mengerti kondisi teman-teman yang sudah mulai kehabisan tenaga tidak mungkin bisa mengevakuasi Hudianto. Jadi tak ada cara lain selain bergerak keluar mencari pertolongan,”kata Linto.

Setelah semuanya sepakat, Linto mengajukan diri mencari bala bantuan di perkampungan. Tentu saja resikonya harus menuruni tebing. Ia meminta dua orang untuk ikut menemaninya melanjutkan perjalanan. Dua rekannya, Cula dan Ompe menyanggupi tawaran Linto untuk turun gunung mencari bala bantuan di kampung terdekat.

Sebenarnya Linto cukup sedih meninggalkan empat rekannya (Hudianto, Henggar, Arya dan Guntur) itu, namun sebagai ketua, Ia merasa bertanggung jawab atas keselamatan jiwa rekan-rekannya, Linto harus rela menempuh perjalanan yang cukup menguras tenaga itu. Saat hendak pergi, Linto menunjuk Arya sebagai pemimpin baru bagi rekan-rekannya di lembah. “Saya cukup tau kecakapan Arya, dia tipe pendaki yang pantang menyerah dan sangat bisa diandalkan,” kata Linto.

Mapala Unsultra sendiri berdiri sejak 23 tahun silam. Basic kepemimpinan memang ada baiknya dan terbukti ampuh menjadi bekal penting bagi para penggiat dunia alam liar. Dan sebagai organisasi Pencinta Alam, Mapala membekali setiap individu anggotanya dengan latihan kepemimpinan diri yang cukup. Dampaknya pun mereka terbiasa dengan kepemimpinan individu yang baik. Tak hanya memimpin di saat kondisi normal, tetapi juga di saat genting. “Intinya harus ada tumbuh saling percaya. Itu sesuatu yang mutlak, sekaligus modal bagi setiap invidu pencinta alam,”tambah Linto.

Keesokan harinya, tepatnya, Jumat 29 Desember 2011, Linto meninggalkan basecamp. Ia dua rekannya memulai perjalanan mencari pertolongan. Ia sedih meninggalkan rekan-rekannya dengan kondisi logistik yang sangat terbatas. “Saya meninggalkan mereka dengan bekal tinggal segenggam beras dan beberapa bungkus mie instan,”ungkap Linto. Saat itu Ia berada di ketinggian 1800 meter, tepat lokasi kecelakaan yang mereka alami. Bersama dua rekannya, Linto menuruni gunung melalui jalur tebing yang curam. Menggunakan peta dan alat navigasi mencari rute terdekat yang biasa digunakan warga pencari rotan, tepatnya di jalur selatan gunung menuju Desa Tamborasi.

Pagi-pagi benar ketiganya berlalu meninggalkan basecamp, berusaha sekuat tenaga menembus kabut dan hujan. Perjalanan itu pula mereka mencoba meninggal jejak jalur seperti mengiris kulit pohon dan mengikat slayer mereka di pepohonan dengan tujuan memudahkan tim penolong nantinya untuk menemukan para korban. Menjelang sore ketiga pendaki itu berhasil menemukan sungai tamborasi, dan membuat basecamp untuk bermalam.

“Kami merasa lega menemukan sungai, kami yakin perkampungan sudah sangat dekat,”kata Linto. Perjalanan itu sempat membuat satu rekannya bernama Cula mengalami cedera. Telapak kaki pria kurus itu terluka. Kondisi itu mempengaruhi pergerakan mereka mencapai kampong. Meski begitu mereka tetap semangat, setelah dua hari perjalanan yang cukup sulit, mereka akhirnya menemukan perkampungan dan menelpon rekan-rekannya meminta bantuan.

**

Di Kota Kendari yang berjarak 170 KM dari lokasi kejadian, Handphone Arwan ganda Saputra (30 tahun) berdering. Mimik wajah salah satu senior Mapala Unsultra ini mendadak berubah, saat mendengar sepotong informasi dari seseorang di ujung telepon. Ia lalu menulis pesan berantai itu ke situs jejaring sosial sebagai tindakan emergency respon.

Beragam tanggapan bermunculan. Ada empati mendalam dari semua pihak, terutama para rekan dan aktivis pencinta alam. Info penting itu terkait kecelakaan yang dialami seorang pendaki yang terjatuh di lembah tebing Gunung Mekongga, tepatnya di ketinggian 1800 meter dpl. Arwan pun mencoba mencari bantuan dengan membuat laporan ke tim SAR Kolaka. Arwan Ganda mendapat info dari Linto Mustafa Ibrahim yang memberi kabar yang mengharu biru itu. Linto dan dua rekannya berhasil selamat setelah menempuh dua hari perjalanan yang cukup sulit.

Di tempat terpisah, kantor SAR Kolaka cukup sigap merespon informasi laporan para pendaki yang hilang. Satu jam setelah menerima laporan, tim SAR Kolaka bersiap menuju Desa Tamborasi, desa dimana tiga pendaki yang selamat beristrahat.

Hari itu juga tim SAR Kolaka, kalangan Pencinta Alam dan kepolisian tiba di Desa Tamborasi menemui Linto dan kawan-kawan. Melihat kondisi fisik yang melemah, tim medis SAR langsung memberikan pengobatan pada para pendaki yang selamat itu. Berat tubuh ketiganya terlihat turun drastis. Menunjukkan asupan makanan yang sangat terbatas semasa dalam perjalanan ekspedisi. Ketiganya dianjurkan beristrahat penuh untuk memulihkan tenaga. Linto mengaku selama perjalanan mereka tak lagi memenuhi 2000 kalori di tubuh mereka.

“Kami hanya mendapat asupan makanan dari hutan seperti daun-daunan di hutan,”ujarnya.
Adalah Budiraharjo, ketua tim operasi dari SAR Kolaka langsung memimpin upaya pencarian. Sebelum memulai pencarian, SAR meminta informasi dari ketiga pendaki seputar posisi lokasi keberadaan empat korban. Dari informasi yang diberikan Linto, jarak dari desa ke tempat para korban kurang lebih 9 Km. Dari informasi ini tim relawan pencarian korban bergerak menuju lokasi.

Jumlah relawan yang ke TKP sejak hari pertama berjumlah 58 orang dengan 3 kali pemberangkatan. Melibatkan tim SAR unit kolaka, Polres Kolut, Polsek Rante Angin, Kelompok Pencinta Alam di Kendari, Kolaka, serta penduduk setempat. Sayang saat pemberangkatan pertama empat tim relawan dari kepolisian terpaksa harus kembali karena tidak mampu menembus beratnya medan yang dilalui.

Linto juga membeberkan seputar kondisi rekan-rekannya, dimana saat ditinggalkan cukup memprihatinkan terutama soal persediaan logistik yang semakin menipis. Berbagai spekulasi pun mencuat seiring dengan kondisi para korban. Di balik semangat optimisme ada pula proyeksi kemungkinan terburuk dialami para korban, terutama korban Hudianto yang terluka parah. Secara psikologi memungkinkan para pendaki yang lapar cenderung memunculkan sifat individu mereka.
“Itu yang saya takutkan, jangan sampai sifat individu itu muncul dan membuat mereka tercerai berai untuk menyelamatkan diri sendiri, ”kata Anto, seorang penggiat alam di Kolaka. Jika itu yang terjadi maka akan semakin menyulitkan tim melakukan pencarian.

Berhasil Ditemukan

Kabar belum ditemukannya para korban memang sempat mencuatkan spekulasi dari sebagai orang khususnya yang menaruh perhatian pada troublenya korban. Bahkan memunculkan empati yang luar biasa dari banyak kelompok pencinta di daerah ini. Buktinya, Rabu pagi relawan pencari bertambah. Jumlahnya mencapai 56 orang. Mereka rata-rata dari KPA di Kendari dan Kolaka yang datang dengan suka rela menawarkan diri menjadi relawan untuk membantu melakukan mencarian. Mereka adalah dari klub mahasiswa pencinta alam seperti Mahacala dan sejumlah KPA.

“Ini semangat yang besar dari kami pencinta alam sebagai rasa solidaritas sesame pencinta alam,”ujar Iwan seorang aktifis pencinta alam.

Sementara itu polisi juga ikut andil besar melakukaan pencarian dan telah melebur menjadi tim sejak pencarian hari pertama, pada Senin (2/1/12) lalu. Dari Markas Kepolisian Daerah Sultra telah memerintahkan jajaran kepolisian di Kokaka dan Kolaka Utara untuk membantu pencarian bersama tim SAR.

Beruntunglah keempat teguh terhadap pendirian. Mereka bertahan meski dengan bekal yang telah habis. Kata Linto, saat ekspedisi mereka membawa GPS, untuk menentukan titik koordinat. Ini pula yang membantu mereka saat terjadi insiden, ploting posisi lokasi tempat para korban langsung dihubungkaan dengan rute yang kirim untuk para tim penyelamat. Linto dan dua rekannya memberikan titik koordinat itu, yang menuntun para penyelamat ke lokasi tujuan. Berdasarkan plot itulah tim SAR bergerak menuju lokasi para pendaki.

Dua hari melakukan pencarian tim relawan memperoleh titik terang dan berhasil menemukan jejak para korban, sesuai dengan titik koordinat yang ada. Para korban ditemukan dalam kondisi lemah dan dehidrasi yang luar biasa. “jika saja tak segera ditemukan, mungkin saja nasib akan berkata lain,”ujar Budi, tim SAR usai melakukjan evakuasi.
Lantas apa yang melatarbelakangi tujuh pendaki ini melakukan penjelajahan mencari liang perut bumi yang konon terbesar di sulawesi?

Cerita bermula, ketika pertengahan Desember 2011 silam. Kesibukan nampak di Markas Mapala Universitas Sulawesi Tenggara. Tujuh anggota pencinta alam telah melakukan persiapan-persiapan untuk melakukan ekspedisi. Mereka begitu bersemangat. Packing alat dan logistik untuk kegiatan ekspedisi di gunung Mekongga. Ini kali ke empat kegiatan Mapala naik turun di gunung tertinggi di Sulawesi Tenggara itu, sejak sepuluh tahun terakhir. Mereka tak hendak menuju puncak Mekongga, melainkan tertarik dengan potensi gua yang konon terbesar di Sulawesi itu.

Goa Mekongga memang tengah menjadi perbincangan hangat dan menjadi incaran para penjelajah alam negeri ini. Selain tingkat tantangan pencarian yang harus menjejalahi tebing terjal, juga karena eksplorasi Mekongga yang masih minim khususnya goa alamnya.

Pencarian goa terbesar ini sebenarnya bukan hal baru. Bahkan telah dijajal oleh pendaki-pendaki dari pulau jawa. “Pernah tahun 2003 silam, kawan-kawan dari Mapala Universitas Atmajaya, melakukan ekspedisi pencarian goa vertical Mekongga, namun mereka tak berhasil menemukan,”kata Linto, panggilan akrab penggila ekpedisi gunung hutan ini. Di tahun yang sama Mapala dari Univesitas Jogyakarta juga mencoba menjajal ganasnya hutan Mekongga dengan mencari lembah terdalam itu. Lagi-lagi tim ekpedisi itu gagal mencapai target dan harus pulang dengan tangan hampa.

Penelitian ekpedisi ilmiah potensi alam goa Sulawesi Tenggara memang menantang para pencinta alam, salah satunya goa-goa di kawasan pegunungan Mekongga. Apalagi, selama ini belum ada penemuan spekltakuler terhadap goa di berbagai tempat di Sulawesi Tenggara. Berbagai informasi hasil ekplorasi dari para aktifis KPA (Kelompok Pencinta Alam) di Sultra, penemuan goa-goa di daerah kerap menjadi pembicaran para penggiat lingkungan, misalnya saja hasil ekplorasi goa di Desa Mangolo, Kabupaten Kolaka dikenal sebagai desa yang memiliki gua terbaik di daratan Sultra. Menjadi unik karena memiliki kawasan Karst yang cukup besar. Ada juga goa yang punya nilai sejarah seperti Gua Liakobori di Muna karena berkaitan dengan kehidupan masa prasejarah.

Atau goa Watuburi di Kabaena Barat, Kabupaten Bombana, yang mempunyai keunikan karena merupakan kombinasi goa vertical dan horizontal dengan panjang mencapai 200 meter. Demikian pula goa alam dengan spesifik vertical terdalam di berada di Pulau Wawonii dan Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe. Termasuk goa di Tanjung Peropa dengan kedalamaan kurang lebih 100 meter dengan kombinasi vertical horizontal. Bahkan di goa-goa ini terdapat curug atau air terjun (waterpall) yang indah.

Mapala Unsultra pun mencoba membangun kembali impian para pencinta alam itu dengan melakukan riset ke berbagai peta dan hasilnya mereka menemukan sebuah titik yang diyakini sebuah goa terbesar melalui riset situs goggle map. “Kami mencoba mengawinkan penemuan melalui riset internet dengan peta bumi, dan kami yakin goa inilah yang dimaksud,”cerita Linto. Dari riset kecil itulah, Linto bersama tim Mapala Unsultra menggodok persiapan ekpedisi.

Bagi penggiat alam, goa punya nilai tersendiri. Secara ilmiah goa memiliki ekosistem tersendiri dari eksositem di sekitarnya. Mempunyai nilai estetika yang berbeda dengan potensi alam lain di luar goa. Punya potensi sumber daya alam air yang abadi (acuifer). Karenanya secara biologi goa menarik untuk dipelajari. “Ada potensi hidrology berupa air abadi didalam goa yang tidak dipahami oleh banyak kalangan, inilah yang menarik minat para pencinta alam untuk mempelajari nilai ilmiah di goa melalui ilmu speleologi,”kata Iwan, salah satu aktifis pencinta goa di Kendari.

Speleologi sebagaimana ditulis Wikipedia, adalah ilmu yang mempelajari tentang goa termasuk proses pembuatannya (speleogenesis), struktur, fisik, sejarah dan aspek biologis. Asal kata speleologi berasal dari bahasa Yunani spelaion yang berarti goa dan logos yang berarti ilmu. Speleologi sering dikaitkan dengan aktivitas penjelajahan gua yang dikenal dengan istilah caving. ***

Naskah Ditulis Yos Hasrul

Dokumen Foto: FB Gunung Mekongga , Iyka Yusufdin/FB

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *