Kultur

Jejak Peradaban Islam pada Arsitektur Banua Tada Wolio

×

Jejak Peradaban Islam pada Arsitektur Banua Tada Wolio

Sebarkan artikel ini

Kita dapat melihat karya-karya arsitektur Islam di berbagai belahan dunia dengan tujuan yang satu, yaitu untuk beribadah dan berserah diri kepada Allah. Walaupun demikian, dalam tataran bentuk arsitektur Islam yang dilandasi oleh kesatuan tujuan dan nilai-nilai islami itu tidak hadir dalam representasi bentuk fisik yang satu dan seragam, melainkan hadir dalam bahasa arsitektur yang beragam. Ditinjau secara keseluruhan, arsitektur telah muncul di mana dia dibutuhkan serta tidak terbatas di mana dia didirikan.

Arsitektur pun turut mempengaruhi muncul dan tenggelamnya suatu kebudayaan dan peradaban. Masyarakat muslim sebagai salah satu peradaban terbesar di dunia pun tidak ketinggalan dalam menyemarakkan peradaban dengan arsitektur yang mencerminkan worldview dan nilai-nilai Islam sepanjang sejarah perkembangan dan perjalanannya di muka bumi ini.

Dalam Islam, arsitektur merupakan bagian dari karya seni yang tidak pernah lepas dari keindahan yang merujuk pada kebesaran Allah sebagai Sang Maha Pencipta. Hal ini memberi kesadaran, bahwa kita sebagai manusia hanyalah hamba yang kecil dan tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan kebesaran Allah. Bahkan lebih jauh, rasa kekaguman kita terhadap
keindahan dan estetika dalam arsitektur tak boleh lepas dari kepasrahan dan penyerahan diri kita terhadap kebesaran dan keagungan Allah sebagai Dzat pemilik segala keindahan.

Arsitektur Islam

Arsitektur Islam merupakan wujud perpaduan antara kebudayaan manusia dan proses penghambaan diri seorang manusia kepada Tuhannya, yang berada dalam keselarasan hubungan antara manusia, lingkungan dan Penciptanya. Arsitektur Islam mengungkapkan hubungan geometris yang kompleks, hirarki
bentuk dan ornamen, serta makna simbolis yang sangat dalam. Arsitektur Islam merupakan salah satu jawaban yang dapat membawa pada perbaikan peradaban. Di dalam Arsitektur Islam terdapat esensi dan nilai-nilai Islam yang dapat diterapkan tanpa menghalangi pemanfaatan teknologi bangunan modern sebagai alat dalam mengekspresikan esensi tersebut.

Di Silawesi Tenggara jejak arsitektur islam ditemukan pada Banua Tada atau rumah tempat tinggal suku Wolio atau orang Buton di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Kata banua dalam bahasa setempat berarti rumah sedangkan kata tada berarti siku. Jadi, banua tada dapat diartikan sebagai rumah siku.

Berdasarkan status sosial penghuninya, struktur bangunan rumah ini dibedakan menjadi tiga yaitu kamali, banua tada tare pata pale, dan banua tada tare talu pale. Kamali atau yang lebih dikenal dengan nama malige berarti mahligai atau istana, yaitu tempat tinggal raja atau sultan dan keluarganya.

Banua tada tare pata pale yang berarti rumah siku bertiang empat adalah rumah tempat tinggal para pejabat atau pegawai istana.

Sementara itu, banua tada tare talu pale yang berarti rumah siku bertiang tiga adalah rumah tempat tinggal orang biasa. Bentuk bangunan banua tada tare talu pale tampak dari depan.

Menurut La Ode Ali Ahmadi, petugas arkeologi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Tenggara, konstruksi ketiga jenis bangunan tersebut di atas pada dasarnya adalah sama karena berasal dari satu konstruksi yang sama, yaitu rumah yang memiliki siku atau dalam istilah setempat disebut dengan banua tada (rumah siku).

Meskipun demikian, ketiga jenis bangunan tersebut di atas tetap memiliki perbedaan. Perbedaan ini muncul karena adanya perbedaan status sosial orang yang menghuninya. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada jumlah tiang yang digunakan, bentuk susunan rumah, dan posisi lantai rumah. Rumah tempat tinggal raja atau sultan memiliki tiang samping 8 buah sedangkan rumah pejabat sultan mempunyai tiang samping 6 buah. Sementara itu, jumlah tiang samping pada rumah orang biasa hanya 4 buah.

Jika dilihat dari segi susunan bangunan, rumah tempat tinggal raja terdiri dari 4 tingkat sedangkan rumah pejabat sultan dan orang biasa hanya satu tingkat. Perbedaan juga terlihat pada susunan lantai rumah. Lantai istana raja/sultan dibuat bertingkat-tingkat. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan kebesaran dan keagungan sultan sebagai seorang pemimpin agama maupun sebagai pengayom dan pelindung rakyat. Sementara itu, susunan lantai rumah orang biasa hanya dibuat rata atau tidak bertingkat.

Bentuk bangunan banua tana tare pata pale tampak dari depan Masyarakat luas lebih banyak mengenal malige sebagai rumah adat masyarakat Buton daripada kedua jenis rumah adat Buton lainnya, yaitu Banua Tada Tare Pata Pale dan Banua Tada Tare Talu Pale. Hal ini dikarenakan malige yang merupakan arsitektur peninggalan Kesultanan Buton tersebut sarat dengan nilai-nilai dan kearifan budaya serta peradaban masyarakat Buton di masa lampau. Nilai-nilai ini dapat dipelajari melalui pemaknaan simbol dan ragam hias pada bangunan tersebut. Fungsi dan makna simbolis pada bangunan malige banyak dipengaruhi oleh konsep dan ajaran tasawuf.

Masyarakat Buton pada masa itu menganggap bahwa pemilik malige dalam hal ini Sultan adalah replikasi dari wajah Tuhan (Allah) yang diwujudkan dalam bentuk malige, baik secara konstruktif maupun dekoratif. Bentuk rumah adat tradisional orang Buton diibaratkan tubuh manusia yang memiliki kepala, badan, kaki, dan hati. Bagian kepala dianalogikan dengan atap rumah, badan dianalogikan dengan badan rumah, kaki dianalogikan dengan bagian bawah atau kolong rumah, dan hati dianalogikan dengan pusat rumah.

Menurut keyakinan orang Buton, hati merupakan titik sentral tubuh manusia. Dengan demikian, sebuah rumah juga harus memiliki hati. Itulah sebabnya dalam masyarakat Buton terdapat sebuah tradisi memberi lubang rahasia pada salah satu kayu terbaiknya yang kemudian digunakan sebagai tempat untuk menyimpan emas. Lubang rahasia tersebut dianggap sebagai simbol pusar yang merupakan titik sentral tubuh manusia sementara emas adalah simbol hati rumah tersebut. Pengaruh konsep tasawuf pada bangunan malige muncul sekitar pertengahan abad ke-16 M, yaitu sejak Raja Buton ke-6, Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo, memeluk agama Islam dan dilantik menjadi Sultan Buton yang pertama dengan gelar Murhum Kaimuddin Khalifatul.

Terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa ulama yang mengislamkan dan melantik Raja Lakilaponto menjadi Sultan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Raja Lakilaponto diislamkan oleh seorang ulama ahli ilmu tasawuf dari Negeri Johor yang bernama Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al-Fathani. Pendapat lain mengatakan, Raja Buton ke-6 tersebut diislamkan dan dilantik 34 menjadi Sultan oleh Imam Fathani, yaitu guru dari Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al-Fathani. Pendapat yang terakhir ini lebih diyakini kebenarannya karena Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman dua kali datang ke Buton, yaitu tahun 1526 M dan tahun 1541 M. Pada kedatangannya yang kedua, ia disertai oleh gurunya yang bernama Imam Fathani.

Menurut pendapat ini, Imam Fathani itulah yang mengislamkan lingkungan Istana Buton sekaligus melantik Raja Lakilaponto sebagai Sultan Buton pertama dengan gelar Murhum. Kata Murhum diambil dari nama sebuah kampung di Patani yang bernama Kampung Parit Murhum. Sultan Murhum Kaimuddin menempatkan ajaran tasawuf sebagai pijakan utama untuk mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan negara dan masyarakatnya. Beliau bersama gurunya, Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al-Fathani, menerbitkan undang-undang Martabat Tujuh yang sebagian berisi ajaran tentang penyucian akhlak sebagai undang-undang tertinggi di negeri itu. Selanjutnya, nilai-nilai ajaran tasawuf yang terkandung di dalam undang-undang tersebut diekspresikan baik dalam bentuk manuskrip maupun melalui simbol-simbol yang dilekatkan pada artefak-artefak, seperti pada Benteng Kesultanan (Benteng Wolio) maupun pada bangunan malige.

Hal lain yang melandasi penataan struktur bangunan rumah tradisional orang Buton adalah konsep kosmologi. Konsep ini mengajarkan tentang perlunya keseimbangan di antara seluruh unsur alam semesta. Oleh karena itu, dalam proses pembuatan sebuah rumah, keberadaan sebuah sistem pengetahuan tentang kondisi lingkungan sekitar menjadi sangat penting. Dengan sistem pengetahuan yang dimiliki, masyarakat setempat dapat memilih bahan bangunan yang baik, waktu dan lokasi mendirikan rumah yang cocok, serta bentuk dan desain rumah yang tepat atau seimbang sehingga sebuah bangunan rumah dapat selaras dengan alam sekitar.

Bahan-bahan ramuan terdiri, Kayu, digunakan untuk membuat tiang, dinding, pasak, gelegar, tangga, maupun bahan untuk membuat kerangka atap rumah. Jenis-jenis kayu yang dianggap berkualitas untuk dijadikan bahan bangunan di antaranya adalah kayu pohon nangka, jati, dan bayem.

Bahan lainnya adalah Bambu. Bambu pada umumnya digunakan sebagai lantai rumah. Jenis bambu yang dipilih adalah bambu yang sudah tua dan kemudian diawetkan dengan cara direndam di dalam air laut selama beberapa waktu sebelum dipasang agar dapat bertahan hingga ratusan tahun. Bahan Daun rumbia atau nipa. Daun ini digunakan untuk membuat atap rumah. (Wikipedia) **

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *