Historia

Jejak Lampau Tanah Pewutaa

×

Jejak Lampau Tanah Pewutaa

Sebarkan artikel ini
warga nelayan di desa pewutaa mencari ikan di rawa aopa. foto: Joss

Dalam perjalanan melintasi taman naisonal rawa aopa, saya ingin melihat tradisi kuno di sepanjang susuran rawa besar ini. Di mana suku tolaki dengan kekayaan tradisi dan budaya mereka yang masyhur dapat hidup berdampingan dengan rawa besar.

Suku tolaki, suku mayoritas yang leluhur mereka berada di daratan konawe. Banyak dari mereka adalah petani, peternak sapi dan kambing. Mereka mendiami kawasan benua, kawasan subur di sepanjang rawa aopa, yang kemudian menjadi Kampung halaman Suku Tolaki di benua dan sekitarnya.

Rawa aopa yang masuk dalam situs ramsar (lahan basah) dunia terbesar ke dua dunia ini mengairi hampir separuh wilayah daratan sulawesi tenggara yang memiliki sumbernya dari kawasan gambut.

Luasnya mencapai 12.000 hektare yang berada di wilayah administratif empat kabupaten di sulawesi tenggara. Desa pewutaan adalah Salah satu desa yang berada dalam batas kawasan.

Di masa lalu, tanah pewutaa menjadi lokasi pembuatan gerabah tanah. Banyak orang dari desa sekitar, seperti; benua, puao, datang mengambil tanah di sana untuk membuat aneka kerajinan berbahan tanah. Mungkin karena itu, Pewutaa dalam bahasa tolaki berati pokok tanah atau bisa juga berarti tanah yang dicari.

Ronal dan Gaib, warga Desa Pewutaa secara bergantian memberikan informasi yang cukup detil tentang sejarah Pewutaa. “Di masa lalu, Desa Pewutaa dikenal sebagai kampung penghasil gerabah atau kerajinan berbahan dasar tanah. Kualitas gerabah yang dihasilkan sangat baik, karena tanah yang digunakan merupakan tanah terbaik. Tak heran, banyak warga dari desa lain datang mengambil tanah di desa ini (pewutaa),”ungkap Gaib, tokoh masyarakat Desa Pewutaa.

Tanahnya punya ciri khas, berwarna kehitaman berlurik. Teksturnya sepintas seperti kulit ular hitam. Warga meyakini itu adalah tanah kualitas baik dan cocok untuk bahan aneka kerajinan berbahan tanah.

“Gerabah, belanga yang dibuat dijamin tahan lama,”kata Gaib.

Mungkin karena kualitasnya, tanah pewutaa banyak diincar pengusaha. Gaib yang sudah uzur ini bercerita, pernah sekali waktu, seorang pengusaha asal jawa datang dan menawar tanah dengan harga yang lumayan besar di pewuta’a, namun tawaran itu ditolak pemerintah desa. “Leluhur kami menitipkan pesan agar menjaga tanah-tanah di sini (pewutaa), ini menandakan keberadaan tanah-tanah disini sangat berharga dan merupakan harta karun yang dititipkan kepada generasi Pewutaa,”demikian Gaib.

Desa Pewutaa berada di sisi Timur Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW), merupakan bagian dari wilayah administrasi kecamatan angata dan menjadi desa pembatas kawasan konservasi dengan kawasan hunian masyarakat. Desa berada paling ujung di Konawe Selatan bagian barat yang berbatasan dengan kabupaten tetangga, konawe.

Mayoritas penduduknya beretnis tolaki, suku terbesar di daratan Sulawesi Tenggara. Mereka diperkirakan mendiami kawasan pewutaa jauh sebelum sebelum jaman kemerdekaan.Jumlah penduduk Desa Pewutaa yakni, 1038 jiwa atau 3 persen dari jumlah penduduk Kecamatan angata sebesar 17.183 jiwa.

Desa pewutaa sendiri memiliki luas 9,70 KM2 menjadi batas antar wilayah sekaligus desa yang berdekatan dengan kawasan taman nasional rawa aopa watumohai. Wilayah tersebut saat ini menjadi salah satu daerah prioritas sehingga Pemkab Konawe Selatan bersama dengan Balai TNRAW memprakarasi masterplan pengembangan wisata dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan.

Potensi Wisata 

Pemerintah konawe selatan dan Balai TNRAW sendiri telah melakukan penandatanganan Memorandum Of Understanding (MoU) pada tanggal 4 Juli 2018 yang mencakup pengembangan di tiga sektor yaitu bidang pertanian, bidang perikanan dan wisata. Adapun luas areal yang akan dikembangkan menjadi destinasi wisata Rawa Aopa secara keseluruhan yaitu 30 Ha, dimana 12 hektar masuk kedlam Kawasan TNRAW.

Rawa Aopa terletak di zona tradisional yang didalamnya terdapat aktifitas masyarakat untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam secara tradisional seperti penangkapan ikan dan pengambilan tumbuhan rawa (totole) untuk bahan anyaman tikar. Keberadaan site yang seluruhnya merupakan badan air, menyebabkan kecilnya kemungkinan peruntukkan Ruang Usaha dalam konteks pengembangan wisata, sehingga lokasi untuk mengakomodir kegiatan wisata yang terletak pada zona pemanfaatan dan zona tradisional seluruhnya berada pada ruang publik.

Tipe ekosistem Rawa Aopa merupakan tipe vegetasi rawa gambut terluas di daratan Sulawesi. Kombinasi unsur lingkungan yang terdapat pada Rawa Aopa meliputi penutupan badan air oleh vegetasi yang lebih dari 90%, material dasar rawa yang bergambut dan topografi disekitarnya yang berupa gugusan perbukitan, secara akumulatif telah menciptakan kondisi pengendalian tata air (hidrologi) yang sempurna bagi keseimbangan ekosistem daratan Sulawesi Tenggara secara umum. Kondisi tersebut juga merupakan habitat ideal bagi berbagai jenis burung air dan burung migran yang berjumlah 23 spesies.

Jembatan penghubung rawa aopa di desa pewutaa. foto: Nardin

Bagi masyarakat sekitar khususnya di desa pewutaa, keberadaan rawa secara tidak langsung telah memberi warna berbeda dalam tatanan sosial, budaya dan ekonomi sehingga menjadi karakter pembeda dengan masyarakat lainnya. Dalam tatanan sosial, seiring dengan perubahan waktu jumlah masyarakat yang mengakses sumber daya alam semakin meningkat sehingga tercipta komunitas dengan aturan atau kearifan lokal tertentu. Hingga saat ini, keberadaan rawa dapat mempengaruhi terbentuknya komunitas masyarakat diantaranya: perajin tikar pandan rawa (totole), nelayan, pengasapan ikan air tawar (skala rumah tangga), pembudidaya ikan air tawar dan pengusaha warung.

Dari unsur budaya, keberadaan rawa banyak memberi pengaruh dalam hal pemanfaatan sumber daya alam. Dengan pengetahuan local yang dimiliki, rutinitas penangkapan ikan secara tradisional telah membudaya secara turun temurun seperti teknik memancing (molonduri), membubu, memukat, menjala dan menangkap langsung dengan tangan (mekaroro). Hasil tangkapan umumnya dijual langsung melalui pengepul atau diecer, namun tidak sedikit pula yang melakukan pengolahan setengah jadi melalui teknik pengasapan dengan tujuan meningkatkan nilai jual dan pengawetan. Jenis budaya lain yang tidak kalah uniknya adalah melalui kerajinan tikar pandan rawa, masyarakat menjadikan tikar tersebut sebagai salah satu persyaratan dalam prosesi pernikahan.^^

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *