Opini

Isi Piring, Kebijakan Publik dan Pentingnya Smart Phone

×

Isi Piring, Kebijakan Publik dan Pentingnya Smart Phone

Sebarkan artikel ini

Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, memiliki akal, budi, rasa, karsa dan hati. Karena manusia memiliki akal untuk berpikir dan karsa untuk bertindak maka ia tak henti menemukan strategy agar bisa bertahan hidup dari ancaman pergerakan zaman dengan berbagai warna dan ragamnya. Manusia dapat melangsungkan hidup dan melanjutkan kehidupan manakala ia bisa memenuhi kebutuhan makan minum hari-hari yang diistilahkan ‘isi piring’ oleh perempuan penjual ikan di pesisir Teluk Kendari. Bicara kebutuhan hidup di era informasi dan digitalisasi hari ini tidak cukup jika hanya bicara kebutuhan makan minum saja atau bahkan tidak cukup jika hanya bicara kebutuhan pendidikan, kebutuhan kesehatan dan kebutuhan perumahan sebagai kebutuhan dasar manusia yang dijamin pemenuhannya oleh Konstitusi dan instrumen HAM. Tapi, ada kebutuhan lain yang hari ini tak dipungkiri sudah menjadi kebutuhan dasar dan sangat penting yakni kebutuhan informasi dan teknologi.

Di zaman ini, informasi dan layanan publik bisa diakses jika memiliki sarana komunikasi dan informasi canggih seperti smart phone serta mahir dalam mengoperasikannya. Mengapa demikian? Arus informasi yang begitu lancar dan penciptaan aplikasi sebagai strategy pemerintah dalam meningkatkan pelayanan publik bagi masyarakat harus berbarengan dengan kepemilikan sarana pendukungnya. Jika tidak, kita akan tertinggal dan berpeluang besar tidak dapat mengakses informasi penting mengenai perkembangan Negara dan adanya program dan kebijakan publik dan global yang tidak menutup kemungkinan akan mengancam keberlangsungan kehidupan kita sebagai masyarakat suatu bangsa.

Akses informasi dan layanan publik akan segera dan mudah diakses melalui smart phone. Contohnya, di Kota Kendari dengan aplikasi New Laika sebagai strategy pemerintah untuk memudahkan warga dalam mengakses layanan publik, telah dilaunching pada Tanggal 9 Desember 2021 dan sudah diterapkan dan berlaku hingga saat ini. New Laika diperuntukkan bagi warga Kota Kendari dalam pengurusan administrasi layanan publik, dll. Namun, karena faktor ekonomi dan pendidikan, hari ini masih ada warga Kota Kendari yang tidak memiliki smart phone, tidak mahir mengoperasikan smart phone dan tidak paham mengakses layanan New Laika. Tentunya, hal ini akan berdampak pada sulitnya mengakses informasi penting tentang layanan publik, perlindungan sosial, dll. Bahkan, mahir menggunakan smart phone menjadi prasyarat pendaftaran bagi calon RT hari ini.

Sudah sangat berbeda dengan pemilihan RT dulu dimana prasyarat yang paling utama adalah tokoh yang dianggap dan berpengaruh di wilayah itu atau bahkan terpilih karena faktor kedekatan dengan pimpinan desa/lurah. Prasyarat tersebut dikatakan tidak cukup jika calon RT tidak mahir mengoperasikan smart phone. Tentunya hal ini akan berdampak kepada orang tua yang ditokohkan warga setempat tidak dapat lagi diusulkan menjadi calon RT karena faktor kebutuhan mahir teknologi tersebut. Bagaimana tidak, hari ini orang tua kita yang lahir pada era tahun 60-an ke bawah rata-rata tidak memiliki dan tidak bisa menggunakan smart phone apalagi sampai harus mengoperasikan aplikasi layanan.

Jangankan orang tua kita dengan usia tersebut, warga sebagai pekerja serabutan yang membanjiri wilayah /daerah kita seperti ibu-ibu dan bapak-bapak penjual ikan, penjual sayur, penjual soami, penjual kue, penjual keliling lainnya, buruh bangunan, buruh cuci, PRT, dan bapak ibu nelayan dan petani yang usianya bisa dikatakan 40 45 tahunan ke-atas juga rata-rata tidak memiliki smart phone dan tidak mahir dalam mengoperasikannya. Tak terkecuali terjadi pula pada warga dengan usia 20-an 30-an yang bermukim di pedesaan dan tak dipungkiri terjadi juga di perkotaan. Adapun, mereka memiliki smart phone hanya digunakan sebatas akses media sosial FB, terima telpon, chat, main game, nonton youtobe. Nah, di kalangan anak sekolah nampak rata-rata memegang smart phone, tapi masih ada diantara mereka yang tidak memanfaatkannya untuk akses informasi pendidikan dan materi belajar. Namun, tak sedikit pula dari mereka tidak memiliki smart phone, sehingga pada masa Covid-19 lalu karena kebijakan pemerintah peserta didik diharuskan belajar daring, mendorong beberapa orang tua siswa/siswa nekat mencuri agar anaknya/siswa bersangkutan dapat mengikuti proses belajar-mengajar secara daring. Di desa anak-anak sekolah belajar daring dikelompokkan dengan jumlah 4 – 5 orang dengan satu smart phone.

Pemandangan tersebut menjelaskan kepada publik bahwa masih banyak warga Indonesia yang tidak dan atau belum mampu memenuhi kebutuhan teknologi untuk akses informasi publik dan belajar daring bagi anak-anaknya. Jadi, bagaimana kita dapat bicara pemenuhan kebutuhan informasi dan teknologi tersebut manakala pemenuhan kebutuhan dasar makan minum saja sangat sulit. Situasi dan kondisi ini masih dialami oleh masyarakat Indonesia, baik yang tinggal dan menetap di perkotaan maupun di pedesaan.

Pemenuhan kebutuhan dasar tersebut masih sangat sulit bagi sebagian besar masyarakat, bahkan karena begitu sulitnya mempertahankan kehidupan untuk pemenuhan kebutuhan makan minum hari-hari saja harus berderai keringat dan air mata. Situasi dan kondisi tersebut dialami oleh masyarakat kelas bawah yang notabene menggantungkan hidupnya dengan bekerja sebagai nelayan, penjual ikan, petani, tukang ojek, buruh bangunan, penjual kaki lima, penjual aneka kue rumahan, penjual keliling, tukang batu, PRT, dan berbagai pekerja serabutan lainnya. Di Negara kita, pekerjaan tersebut belum dipandang dan diakui sebagai sebuah pekerjaan sehingga berdampak pada masih minimnya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-haknya. Masih ada anggapan dan pandangan sosial yang merendahkan pekerjaan tersebut. Masih ada dan bahkan banyak program dan kebijakan publik yang memaksa warganya tergusur dari aktivitasnya menggantungkan kehidupan tanpa berbarengan dengan penciptaan dan kesiapan lapangan kerja. Tidak sedikit petani harus tergusur dari tanah garapnya, nelayan dari lautnya, pedagang dari pasarnya, pemberian upah rendah kepada buruh kasar dsb. Harga pembelian bahan pokok semakin hari semakin mahal. Berlaku hingga hari ini di penghujung Tahun 2022. Hal ini berdampak pada masih banyaknya keluarga pekerja serabutan sulit dan tidak bisa mengakses hak pendidikan tinggi (S1), masih ada anak-anak dari keluarga miskin yang mengalami stunting karena kurangnya pemenuhan gizi, dan akses kesehatan bagi pekerja serabutan pun belum terakomodir dengan baik, hari ini masih ada rumah tangga yang tidak memiliki rumah tempat tinggal dan masih kos-kosan atau numpang sama orang tua dan anggota keluarga lainnya.

Dampak dari fokus ‘isi piring’ tersebut kebanyakan mendorong warga memilih menjadi buruh migran. Bekerja sebagai buruh migran pun belum menjamin pemenuhan kebutuhannya. Bahkan kebanyakan yang terjadi adalah mengalami ketidakadilan dan kekerasan sejak pra pemberangkatan, penempatan hingga pemulangan ke wilayah asal. Setelah di kampung mereka kembali melakoni pekerjaan yang sama yakni fokus pemenuhan ‘isi piring’ dan berupaya setahap demi tahap dapat memperbaiki/membangun rumah, memikirkan pemenuhan hak pendidikan anak ke tingkat S1 sangat sulit untuk digapai sehingga anak tidak melanjutkan pendidikan setelah tamat SMA, anak perempuan memilih atau dipaksa kawin muda dan anak-anak laki-laki memilih atau dipaksa oleh situasi untuk keluar desa bekerja sebagai buruh kasar. Namun, tak sedikit pula anak-anak dari keluarga kelas bawah, demi melanjutkan pendidikan dan bisa membeli smart phone, ia harus bekerja serabutan berbarengan dengan menjalani kuliah.

Merebaknya penawaran teknologi smart phone dan digital lainnya, membludaknya informasi publik melalui media online yang dapat diakses melalui smart phone, tidak menjadikan masyarakat kelas bawah tergiur dan harus tahan godaan meski itu adalah kebutuhan pada era digital hari ini. Mereka masih fokus mengurus ‘isi piringnya’ yakni tentang apa yang akan dimakan sebentar dan hari esok. Jadi tidak heran, jika ada pertemuan kelompok di lingkungannya, masih ada warga yang tidak mengakses informasi adanya pertemuan karena tidak masuk dalam grup kelompok yang informasi disebar disitu. Giat dan tekun bekerja demi ‘isi piring’ yang bisa dinikmati oleh anak dan anggota keluarganya saat itu dan berharap bisa sampai esok hari. Berjuang agar bisa memperoleh hasil kerja layak untuk pembelian bahan pokok. Penghasilan yang diperoleh tiap hari tiap bulannya dan bahkan telah bertahun-tahun tidak bertambah, tidak sebanding dengan membludaknya harga bahan pokok yang mau tidak mau harus dipenuhi tanpa menunggu dan melihat hasil kerja berapa rupiah. Seolah situasi itu membunuhnya, namun tetap tegar menjalani hidup dan mempertahankan kehidupan. Situasi demikian sangat dirasakan mendalam oleh perempuan ibu rumah tangga kelas bawah karena peran gendernya oleh konstruksi sosial dalam kerja-kerja domestik mengurus rumah tangga dan memastikan hidangan keluarga. Semoga mereka dapat melaluinya dan tidak putus asa.

Situasi dan kondisi warga seperti yang disebutkan diatas Penulis temukan di setiap wilayah yang pernah dikunjungi khususnya wilayah dimana Penulis berasal, tinggal dan menetap serta di beberapa wilayah kerja Penulis melakukan pengorganisasian dan pemberdayaan pada kerja-kerja organisasi sejak Tahun 2012 hingga saat ini. Negara yang diberi amanah untuk memperhatikan dan berkewajiban terhadap pemenuhan hak-haknya, belum maksimal dan bahkan masih minim dalam melaksanakan amanah Konstitusi. Keberpihakan Negara kepada fakir miskin dan kelompok marjinal masih sangat minim dan belum prioritas meski telah banyak program dan kebijakan untuk penanggulangan kemiskinan.

Di era informasi dan digitalisasi hari ini, masih banyak suara-suara tangis anak-anak karena lapar, masih terdengar desah pilu pekerja serabutan untuk pemenuhan ‘isi piring’ dan biaya pendidikan anak, masih ada suara-suara juang dan penuh harap warga kecil untuk mempertahankan sumber mata pencaharian dari ancaman program dan kebijakan publik yang akan menggusurnya. Negara fokus pada pembangunan infrastruktur untuk memperlancar peningkatan investasi. Tapi belum melihat dampak pembangunan tersebut terhadap warga Negara kelas bawah yakni mereka yang bekerja hari-hari demi memenuhi ‘isi piring’ agar bertahan hidup dan melanjutkan kehidupan. Menghadapi 2023 solusi jitu dan kebijakan Negara yang responsif sangat dibutuhkan yakni pembangunan untuk peningkatan investasi berjalan seiring dengan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan kebutuhan dan hak-hak warga Negara kelas bawah, sebagaimana tujuan Negara dibentuk.

Penulis: Wa Ode Surti Ningsi, Aktivis Perempuan Sultra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *