Jelajah

Denyut Kehidupan Bungin

×

Denyut Kehidupan Bungin

Sebarkan artikel ini
Membersihkan rumput laut menjadi aktiftas rutin warga khususnya kaum ibu. foto: Joss

Suara Tok…klotok…klotok…klotokkk… katinting yang Saya tumpangi memecah pagi yang hening. Moncong perahu melaju kencang membelah air laut yang tenang. Sesekali Kami berpapasan dengan perahu lain yang juga mengantar penumpang. Beberapa dari Kami melambaikan tangan dan dibalas dengan lemparan senyum. Saya bersama tujuh penumpang lain hendak ke desa bungin permai, salah satu desa yang dihuni komunitas bajo terbesar di Konawe Selatan.

Waktu baru menunjuk pukul 10 pagi, tapi terik sudah terasa membakar kulit, mungkin karena area yang begitu terbuka hingga panas begitu cepat menyerap energy. Untunglah,  panorama alam yang Kami lewati segera membuat kami melupakan panasnya mentari. Terlebih melewati deretan rumah ikan milik warga. Rumah ikan biasa mereka sebut rumpon, berupa rumah panggung  yang diberi jarring apung dan dipasangi lampu penerang agar ikan bisa masuk.

Kami juga melewati belantara hutan bakau yang sebagian besar terlihat gundul, hingga nampak jelas tambak-tambak udang di belakang hutan. Gundulnya mangrove tak lepas dari aktifitas pembuatan tambak  baik pengusaha local maupun pengussal asal luar Konawe Selatan yang belakangan makin ramai datang membeli lahan dan membuka tambak di sana. Padahal, sebagian besar hutan mangrove Tinanggea masuk dalam kawasan hutan lindung negara.

Tak Ada Akses Darat

Lokasi desa bungin permai berada di tengah laut, kurang lebih dua mil dari garis pantai. Tak ada jalan darat, jadi akses satu satunya adalah menggunakan perahu katinting. Setidaknya ada sepuluh perahu penumpang yang nangkring setiap hari menunggu penumpang di bibir dermaga tinanggea.  Kapal-kapal kayu ini milik warga dan menarik tariff 10.000 rupiah per penumpang.

Lima belas menit melaut, perahu Kami akhirnya  bersandar di dermaga desa. Di sana ada banyak warga yang duduk santai, begitu juga anak-anak tampak asyik bermain di laut. Mereka menceburkan diri dan tertawa lepas.

Umumnya kampung nelayan, bangunan-bangunan di desa ini seluruhnya terbuat dari kayu, berjejer rapi dengan tonggak kayu sebagai pondasi. Bangunan-bangunan ini menjadi dominan membentuk koloni besar dari kejauhan.

Dari desa, kita akan bisa melihat kapal tambang berlabuh di sisi timur, termasuk jeti tambang milik PT Ifishdeco, perusahaan tambang terbesar di konawe selatan.

Delapan tahun terakhir, keberadaan tambang kian meresahkan warga nelayan, termasuk di warga desa bungin. Keberadaan tambang telah merusak kualitas air laut yang selama ini digunakan warga untuk membudidaya rumput laut, termasuk lokasi pencarian ikan nelayan menyusul rusaknya ekosistem laut sekitar tinanggea.

Desa Bungin mayoritas di huni etnis bajo, menjadi perkampungan terapung terbesar di daerah Konawe Selatan. Di beberapa tempat, perkampungan bajo dihuni tak lebih dari 100 KK. Tapi di Desa Bungin jumlah jauh lebih besar, terdapat 1400 jiwa atau 310 KK.

Saya bertemu Pak Jusmin, mantan Kepala Desa Bungin. Pria parubaya  dengan ramah mengantar Saya mengelilingi desa. Sesekali warga menegur Kami dengan sopan. Mengobrol sebentar lalu mengantar kami menuju rumahnya, tak jauh dari balai desa.

“Di desa ini terdapat kurang lebih seribu jiwa. Hampir semua warganya bermata pencaharian sebagai nelayan,”kata Jusmin.

Aktifitas memberishkan rumput laut

Setiap hari warga disibukkan bekerja sebagai pengolah rumput laut. Kaum lelaki dan perempuan berbagi pekerjaan, kaum bapak memanen agar dan kaum ibu mendapat giliran membersihkan dan menjemur rumput laut. Setiap rumah tangga memiliki lokasi penjemuran rumput laut. Dan atas perapian terdapat penjemuran ikan kering.

Menurut Jusmin,sejak 15 tahun silam, Desa Bungin telah resmi menjadi wilayah adminitrasi Kecamatan Tinanggea. Tentu saja melalui perjuangan panjang, sebab sempat menjadi polemik antara tokoh masyarakat yang sepakat menjadi desa dan tokoh masyarakat yang ingin bertahan di konsep komunitas.

Salah satu pemandangan di sudut desa bungin permai. foto: Joss

Terdapat lima RT di kampung ini. Fasiltas desa tersedia,seperti, kantor desa, balai, masjid hingga gedung sekolah. Setiap RT dihubungkan dengan jembatan beralas papan dibuat untuk memudahkan menjangkau setiap blok ke blok lainnya.

Problem terbesar dari desa bungin adalah air bersih. Warga terpaksa harus mengambil air ke daratatan yang berjarak dua mil. Tak heran puluhan jerigen air milik warga selalu parkir di dermaga dan siap dibawa ke lokasi pengisian air bersih. Terkadang warga juga harus membeli air ke pengusaha gallon demi memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Lokasi yang berada di tengah laut bebas, membuat Desa Bungin rentan terkena musibah bencana alam. Tercatat dua kali desa ini diterpa bencana badai dan angin putting beliung. Tahun 2010 silam, puluhan rumah porak poranda diterpa angin kencang hingga membuat atapo rumah penduduk beterbangan dan jatuh ke laut. Beruntung pemerintah Konawe Selatan memberikan bantuan perbaikan rumah kepada warga kehilangan tempat tinggal.

Demikianlah denyut kehidupan terus berlangsung di desa bungin permai.  (SK)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *