Humaniora

Dendang Sunyi “Orang Pinggiran”

×

Dendang Sunyi “Orang Pinggiran”

Sebarkan artikel ini
Perjuangan hidup yang keras dari orang orang pinggiran di Kendari. foto: Joss

Dua anak muda rabu pagi terlihat sibuk. Keduanya baru saja mendapat orderan bongkaran seng bekas sebuah rumah di wilayah kampus lama kendari. Mereka berbagi tugas, satu mengangkut seng yang sudah karatan ke dalam gerobak kayu. Sedang pemuda yang berpostur sedang memilah seng yang masih bagus dan yang apker.

Dengan berkaos tangan kumal, seng yang masih bagus dilipatnya seukuran buku. Sedang sengkaratan langsung disimpan dalam gerobak. Seng-seng yang sudah dilipat tadi siap dijual ke pengepul di wilayah baypass.

“Sesuai pesanan pengepul kami diminta melipat seng dalam ukuran kecil, mungkin mereka tidak mau repot saat memasukkan ke kontainer dan harganya juga beda,”kata usman.

Harga seng yang sudah dilipat biasanya lebih mahal ketimbang seng karatan yang tidak dilipat. Oleh pengepul seng lipatan dihargai 1000 rupiah.pe kilo gram, sedang seng yang karatan tanpa lipat dihargai 500 rupiah per kilo gram. “Kami pastinya memilih melipat karena harganya bagus,”kata Usman.

Tak cuma seng yang mereka buru, tapi semua jenis barang serupa, seperti besi, kawat, hingga kipas angin rusak. Ini sudah menjadi pekerjaan rutin keduanya.

Lakon sebagai pencari barang bekas sudah menjadi bagian hidup Usman dan kamrin. Kedua sahabat itu , setiap hari berkeliling ke sudut sudut kota menggunakan motir butut yang menggandeng gerobak. Mereka keluar masuk gang dan menawarkan jasa pada warga yang ingin membongkar bangunan tak layak huni. “Kami tak.minta upah, kalo mereka mau bongkar, paling kami minta seng bekas sebagai pengantibupah,”kata usman.

Tak ada waktu untuk bersantai, hari senin sampai minggu hampir tak ada bedanya. “Kerja, kerja dan kerja,”kata usman, menirukan kata kata presiden idolanya, Jokowi.

Perjuangan dua anak muda ini tak lebih karena dorongan kemiskinan yang mendera kehidupan. “Lahan hidup makin terbatas, hidup semakin keras,”ujarnya.

Kedua sahabat ini tinggal diperkampungan kumuh di wilayah punggolaka, kendari. Mereka memilih meninggalkan kampong halaman di Muna dan menempuh kerasnya hidup di kendari. Ya kehidupan yang keras memaksa mereka harus terus bergerak, mengais dan menawarkan jasa.

Kendari sudah menjadi kampong halaman mereka yang kedua, di era wabah covid 19 , di tengah banyak orang memilih pulang kampong keduanya justeru tetap bertahan di kendari.

Bertahan di Tengah Korona

Wabah korona seolah tak pernah terpikirkan di benak mereka. Tak ada kamus soal kebijakan kerja dari rumah (work from home) sebagai dampak pencegahan virus Corona-19, dengan kata lain, yang dihadapi para orang di pinggiran kota adalah bekerja dan terus bekerja mencari makan. Ibarat slogan yang tersohor itu bekerja harga mati. Kendati ada bantuan dampak korona, tapi sifatnya hanya sementara  dan keduanya tidak mungkin terus menerus bergantung pada bantuan yang ada.

Terkait hal ini, memang sudah sepantasnya negara alias pemerintah memberikan hak bagi warga kurang mampu demi menolong kelangsungan dan keberadaan kehidupan mereka, sembari  Pemerintah terus berpacu dengan waktu mengatasi dampak sosial wabah Covid-19 dan memperbaiki keadaan ekonomi untuk kembali bergerak dengan baik.

Data kependudukan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2019 menunjukkan, jumlah penduduk miskin di Indonesia di wilayah perkotaan mencapai 9,86 juta orang dan di daerah perdesaan tercatat sejumlah 14,93 juta orang. Hampir bisa dipastikan, termasuk di dalam kategori penduduk tersebut adalah para orang pinggiran terdampak Covid-19 atau yang secara prosentase masih cukup besar di Indonesia.

Bantuan sosial yang digelontorkan pemerintah setahun terakhir, tampaknya dirancang untuk menjaga daya beli kelompok masyarakat yang dianggap paling terdampak wabah Covid-19. Terkait hal ini, sebagian kalangan ekonom cukup optimis, kemampuan fiskal pemerintah masih cukup buat melakukan bantuan sejumlah bantuan dan stimulus ekonomi kepada masyarakat. Tapi diingatkan, tantangan terbesar adalah proses identifikasi penerima bantuan dan distribusi agar tepat sasaran. Selain itu, realokasi anggaran yang dilakukan pemerintah terhadap belanja kementerian atau lembaga maupun transfer ke daerah diprediksi bisa menutupi kebutuhan mendesak warga masyarakat semisal orang pinggiran. SK

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *