Humaniora

Cokelat Made In Malaha

×

Cokelat Made In Malaha

Sebarkan artikel ini

Tak banyak seperti Igonk. Pemuda rajin yang kini menggawangi Mardet, perusahaan pembuat coklat jadi di desanya ini punya mimpi besar menduniakan coklat lokal. Karenanya, Ia tetap setia merawat usahanya itu. Ini pula yang menjadi alasan saya mengunjungi desa malaha, kabupaten kolaka, ingin ketemu pemuda telaten ini.

Berkat usahanya, desa malaha kini menjadi pembcaraan seantero kolaka, gaung kesuksesan bahkan menjangkau kendari dan ibu kota indonesia, Jakarta.

Syahdan, 2015 silam, igonk, mencoba membangun sebuah usaha coklat jadi. Ia penasaran dengan silver queen yang melegenda dan menguasai jagat pasar coklat dunia, padahal kakao yang notabene bahan baku coklat jadi melimpah subur di daerahnya. Tapi apa boleh buat, butuh alat untuk mengolah kakao menjadi coklat.

Di sanalah ihwal pertemuannya dengan Herna, penggiat ekonomi kreatif dan pariwisata. Mereka berbincang lama. Igonk menceritakan kegelisahannya atas nasib petani kakao di daerahnya, kolaka. “Petani hanya menjual kakao mereka ke papalele /penampung dengan harga murah, ini tidak sebanding dengan biaya pemeiliharaan dan biaya panen,”ujarnya.

Lebih ironi lagi, igonk melihat banyak anak-anak maupun orang dewasa mengkonsumsi coklat seperti silver queen yang dibeli di warung warung. Baginya ini pemandangan miris, “bukankah sebaiknya kita memproduksi sendiri,”pikirnya.

“Saya bermimpi bisa mengolah kakao menjadi coklat jadi, coklat yang bisa dimakan langsung oleh masyarakat di sini,”ujarnya.

Kakao Roundtable

Kakao merupakan salah satu dari tiga komoditas andalan Indonesia di pasar komoditas dunia selain kelapa sawit dan karet. Dengan luas lahan mencapai 1.719. 087 ha, setiap tahunnya kakao menyumbang devisa sekitar US$ 1,5-1,8 milyar. Mayoritas lahan perkebunan kakao dikelola oleh rakyat yang mencapai 94,61 persen, (1.616.949 ha). Petani yang membudidayakan kakao berjumlah 1.566.796 Kepala Keluarga (KK). Mayoritas petani kakao berada di wilayah Sulawesi yaitu sebanyak 792.621 KK, selebihnya berada di wilayah Sumatera 354.747 KK (22,64%), Jawa 149.278 KK (9,53%), Bali dan Nusa Tenggara140.412 KK (8,96%), Maluku dan Papua 88.082 KK (5,62%), dan Kalimantan 41.656 KK (2,66%).

Pengembangan perkakaoan nasional dan Sulawesi Tenggara khususnya, masih menghadapi berbagai tantangan menyangkut:
• Perdagangan kakao dalam negeri dan ekspor kini makin terkonsentrasi pada beberapa perusahaan asing multinasional (MNCs). Mereka bergerak dari hulu hingga hilir dengan membeli biji kakao langsung dari petani lokal, mendirikan pabrik pengolahan kakao, sekaligus sebagai eksportir produk akhir kakao berupa makanan atau kosmetik;

Lebih 20 program dan proyek untuk meningkatkan produksi dan mutu kakao yang ada di Sulsel, Sultra dan Sulbar dengan anggaran lebih dari 20 triliun. Program dan proyek tersebut lebih diarahkan untuk kepentingan perusahaan industri kakao, dan tidak menyetuh problem mendasar dalam tata niaga kakao yang kurang menguntungkan petani kakao skala kecil.
• Model tata niaga kakao yang berlangsung saat ini tidak menguntungkan bagi petani kakao skala kecil, sangat rentan terhadap permainan harga baik oleh pedagang pengumpul maupun perusahaan industri kakao. Ketidakpastian harga kakao menjadi salah satu faktor yang mendorong petani kakao beralih untuk menanam kelapa sawit;
• Peran pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) dalam meningkatkan produksi dan menjamin mekanisme tata niaga kakao yang lebih adil bagi petani kakao di daerah penghasil, termasuk tata ruang dan alih fungsi lahan;
• Posisi tawar petani kakao yang rendah terhadap kebijakan perkakaoan nasional dan daerah, termasuk akses pasar, kurangnya akses modal, informasi teknis, dan teknologi pertanian;
• Pentingnya untuk meletakkan tanggungjawab yang lebih besar kepada perusahaan industri kakao agar menjalankan prinsip-prinsip perdagangan yang lebih adil dan berkelanjutan serta menghormati Hak Asasi Manusia dalam seluruh rantai pasokan kakao.
Kakao Roundtable penting dengan dua alasan: pertama, seiring dengan berbagai intervensi yang ada saat ini, dua hingga tiga tahun ke depan, produksi kakao diperkirakan akan kembali meningkat. Karena itu, saat ini adalah waktu yang tepat untuk menemukan mekanisme tata niaga yang lebih adil bagi petani kakao skala kecil; kedua, membuat solusi jangka panjang untuk meningkatkan posisi tawar dan suara para petani kakao, akses pasar, akses modal, informasi teknis, dan teknologi pertanian, termasuk peran pemerintah daerah dan perusahaan industri kakao.

Kakao Roundtable adalah pertemuan berkala stakeholders kakao di Sulawesi Tenggara untuk membahas berbagai isu faktual yang terkait dengan pengembangan komoditas kakao, termasuk tata niaga, pemberdayaan organisasi petani, kebijakan pemerintah pusat dan daerah, tanggungjawab sektor bisnis dan lembaga keuangan serta lingkungan hidup.
Kakao Roundtable untuk pertama kali merupakan inisiatif World Agroforestry Centre (ICRAF) melalui field office program AgFor Sulawesi, Perkumpulan TERAS dan YPSHK.

Naskah & foto : Joss Hasrul

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *