KABAENA, suarakendari.com– Di lembah-lembah hijau Desa Tangkeno, Kecamatan Kabaena Tengah, alam menyediakan kemewahan yang tak ternilai: pohon-pohon aren yang menjulang gagah. Sumber air nira ini tak perlu dicari jauh, tumbuh subur di hutan desa dan kebun-kebun warga. Uniknya, setiap pohon aren di sana memiliki identitasnya sendiri, ditandai dengan bambu betung kokoh yang tak hanya menjadi penanda kepemilikan, namun juga berfungsi sebagai wadah penampung nira yang baru disadap.
Dua kilometer dari ramainya desa, di tengah lembah yang dihiasi aneka tanaman jangka panjang, tersembunyi jejak-jejak tradisi yang masih terjaga. Di sanalah, gubuk-gubuk sederhana menjadi saksi bisu perjuangan para pemuda desa. Pagi buta, bahkan sebelum mentari menyapa, mereka sudah bergegas menuju sumber kehidupan manis itu.
Amar (30), dengan dua buah hati yang menantinya di rumah, adalah salah satu penjaga tradisi itu. Di dalam gubuk berukuran 6×5 meter berdinding papan kayu miliknya, asap pekat menari-nari, hasil dari pembakaran kayu di tungku tanah sederhana. Sesekali, tangannya yang kasar menyeka mata perihnya. Di atas tungku, wajan tua berisi nira mendidih, mengeluarkan aroma manis yang khas. Tangannya tak henti bergerak, mengaduk cairan cokelat itu dengan sabar, sesekali mengipasi bara agar api tetap menyala.
Pekerjaan ini bukan hal baru bagi Amar. Sejak kelas 4 SD, ia sudah akrab dengan aroma dan proses pembuatan gula aren. Ilmu ini diwariskan turun-temurun dari ayahnya, Burhan. “Ini sudah seperti bisnis keluarga,” ujarnya dengan nada bangga.
Gubuk Amar berdiri di pinggir jalan desa, di tengah kebun cengkeh miliknya. Biasanya, ia tak sendiri. Ada Idris dan Gunar, kerabat dekat yang setia menemani. Namun hari itu, ia harus berjibaku sendirian, mengingat rumitnya tahapan pembuatan gula aren. Mulai dari menyadap nira, memasak hingga mencetak, semuanya membutuhkan ketelitian dan tenaga. Tak heran, warga Tangkeno menyiasatinya dengan membentuk kelompok usaha bersama.
Nama Desa Tangkeno harum di seantero Pulau Kabaena. Gula aren yang dihasilkan di sini terkenal dengan cita rasanya yang istimewa. Kualitasnya yang terjaga membuat para pedagang dari Sikeli dan sekitarnya tak ragu memesan. Setidaknya ada sepuluh kelompok usaha gula aren di desa ini, salah satunya milik Amar.
Dalam seminggu, ia mampu menghasilkan 300 kg gula aren, tergantung pada permintaan pasar. Sebongkah kecil gula aren, dicetak apik dalam batok kelapa, dihargai tujuh ribu rupiah.
Namun, di balik aroma manis dan kualitas unggul itu, terselip kekhawatiran. Tradisi membuat gula aren perlahan meredup. Generasi muda Tangkeno tak banyak lagi yang tertarik dengan pekerjaan ini. Gemerlap dunia pertambangan, yang kini hadir di pulau berpenduduk 30 ribu jiwa itu, menawarkan daya tarik yang lebih instan. Pola hidup masyarakat pun bergeser, dari petani yang mandiri menjadi konsumen yang bergantung. Tanah dan kebun, warisan leluhur, kini banyak beralih tangan ke investor tambang, tergiur janji uang cepat.
Kondisi ini merisaukan Sahrul Gelo, seorang penggiat LSM Sagori. Ia geram melihat sikap pemerintah daerah yang terus menerbitkan izin tambang. “Ada 30 Izin Usaha Pertambangan di Pulau Kabaena. Ini telah mengubah perilaku sosial dan budaya masyarakat. Petani kehilangan lahan garapan, mata pencaharian utama mereka,” ungkapnya dengan nada prihatin.
Ancaman hilangnya pangan lokal kini semakin nyata. Penelitian LSM Sagori, yang telah 20 tahun mendampingi masyarakat Kabaena, menemukan fakta mencengangkan: ketergantungan pada pangan impor telah mencapai 90 persen. “Dulu, semua tersedia di sini. Beras merah, sayuran, daging. Bahkan daun kelor saja sekarang harus diimpor. Ini sangat ironis,” lanjut Sahrul Gelo.
Di tengah perubahan zaman dan godaan kemudahan, sosok Amar dan para penjaga tradisi di Tangkeno terus berjuang. Mereka adalah simbol ketahanan lokal, yang mewarisi bukan hanya keahlian membuat gula aren, tetapi juga kearifan menjaga alam dan identitas.
Aroma manis gula aren di lembah Tangkeno adalah pengingat akan kekayaan yang perlahan tergerus, sebuah harapan yang mungkin suatu saat nanti akan kembali merebak kuat, mengalahkan gemerlap yang semu. JS